
Arab Ngambek & Harga Minyak Ambrol, RI Untung atau Buntung?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
10 March 2020 07:11

Risiko Perang Dunia III bagi Indonesia hanya sebatas mempengaruhi persepsi pasar, tidak ada yang riil. Berbeda dengan virus corona, yang bisa mempengaruhi perekonomian nasional karena gangguan rantai pasok.
Lalu bagaimana dengan fluktuasi harga minyak? Bagaimana dampaknya terhadap Indonesia?
Ada positif dan negatifnya. Berita baiknya dulu ya.
Penurunan harga minyak akan menguntungkan bagi negara net importir seperti Indonesia. Biaya impor minyak akan berkurang sehingga mengurangi beban neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Fondasi penopang rupiah akan lebih kuat.
Kemudian, penurunan harga minyak juga bisa membantu 'menjinakkan' inflasi. Apalagi kalau dibarengi dengan penurunan harga jual Bahan Bakar Minyak (BBM) domestik.
Namun ada kabar buruknya. Volatilitas harga minyak akan membuat ketidakpastian di pasar keuangan bertambah. Saat ketidakpastian meningkat, maka aset-aset berisiko di pasar keuangan negara berkembang akan dijauhi, termasuk di Indonesia.
Ini sudah terjadi pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 6,58% dan nilai tukar rupiah melemah 1,16% di hadapan dolar AS. Perang harga minyak menjadi salah satu penyebab koreksi yang parah tersebut.
Lalu, penurunan harga minyak juga bisa berdampak negatif terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam APBN 2020, pemerintah mengasumsikan rata-rata harga minyak Indonesia (ICP) di US$ 63/barel.
ICP lebih dekat ke brent dibandingkan light sweet. Secara year-to-date, rata-rata harga brent adalah US$ 58,28/barel. Ada selisih US$ 4,72/barel dari asumsi makro di APBN 2020.
Dalam analisis sensitivitas asumsi makro 2020, setiap penurunan ICP sebesar US$ 1/barel akan mengurangi belanja negara sebesar Rp 3,1-3,9 triliun. Namun penerimaan negara berkurang lebih dalam yaitu Rp 3,6-4,2 triliun. Ada tekor Rp 0,3-0,5 triliun.
Jadi andai selisih US$ 4,72/barel bertahan sampai akhir tahun, maka secara neto APBN akan merugi Rp 1,42-2,36 triliun (ceteris paribus, diasumsikan faktor lain tidak berubah). Defisit APBN akan membengkak sehingga pembiayaan utang bertambah.
Dalam hal ini Indonesia tidak bisa memilih karena harga minyak berada di luar kontrol pemerintah. Hal yang terpenting adalah para pembuat kebijakan harus bersiap dengan berbagai langkah mitigasi untuk membendung dampak negatif dari perang harga minyak.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/sef)
Lalu bagaimana dengan fluktuasi harga minyak? Bagaimana dampaknya terhadap Indonesia?
Ada positif dan negatifnya. Berita baiknya dulu ya.
Kemudian, penurunan harga minyak juga bisa membantu 'menjinakkan' inflasi. Apalagi kalau dibarengi dengan penurunan harga jual Bahan Bakar Minyak (BBM) domestik.
Namun ada kabar buruknya. Volatilitas harga minyak akan membuat ketidakpastian di pasar keuangan bertambah. Saat ketidakpastian meningkat, maka aset-aset berisiko di pasar keuangan negara berkembang akan dijauhi, termasuk di Indonesia.
Ini sudah terjadi pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 6,58% dan nilai tukar rupiah melemah 1,16% di hadapan dolar AS. Perang harga minyak menjadi salah satu penyebab koreksi yang parah tersebut.
Lalu, penurunan harga minyak juga bisa berdampak negatif terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam APBN 2020, pemerintah mengasumsikan rata-rata harga minyak Indonesia (ICP) di US$ 63/barel.
ICP lebih dekat ke brent dibandingkan light sweet. Secara year-to-date, rata-rata harga brent adalah US$ 58,28/barel. Ada selisih US$ 4,72/barel dari asumsi makro di APBN 2020.
Dalam analisis sensitivitas asumsi makro 2020, setiap penurunan ICP sebesar US$ 1/barel akan mengurangi belanja negara sebesar Rp 3,1-3,9 triliun. Namun penerimaan negara berkurang lebih dalam yaitu Rp 3,6-4,2 triliun. Ada tekor Rp 0,3-0,5 triliun.
Jadi andai selisih US$ 4,72/barel bertahan sampai akhir tahun, maka secara neto APBN akan merugi Rp 1,42-2,36 triliun (ceteris paribus, diasumsikan faktor lain tidak berubah). Defisit APBN akan membengkak sehingga pembiayaan utang bertambah.
Dalam hal ini Indonesia tidak bisa memilih karena harga minyak berada di luar kontrol pemerintah. Hal yang terpenting adalah para pembuat kebijakan harus bersiap dengan berbagai langkah mitigasi untuk membendung dampak negatif dari perang harga minyak.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/sef)
Pages
Most Popular