Afrika Selatan Kan Anggota G20, Bisa Resesi Juga Ya?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 March 2020 06:44
Afrika Selatan Kan Anggota G20, Bisa Resesi Juga Ya?
Presiden Africa Selatan Cyril Ramaphosa (Lintao Zhang/Pool via REUTERS)
Jakarta, CNBC Indonesia - Afrika Selatan (Afsel) resmi masuk ke jurang resesi. Ekonomi Negeri Nelson Mandela mengalami kontraksi alias tumbuh negatif alias mengkerut dalam dua kuartal beruntun dalam tahun yang sama.

Pada kuartal IV-2019, ekonomi Afsel terkontraksi -1,4% secara kuartalan yang disetahunkan (annualized). Pada kuartal sebelumnya, ekonomi sudah mengalami kontraksi -0,8%. Definisi resesi sudah bisa disematkan, karena kontraksi ekonomi terjadi dua kuartal berturut-turut pada 2019.




Untuk keseluruhan 2019, ekonomi Afsel masih tumbuh 0,2%. Namun ini adalah laju pertumbuhan paling lemah sejak 2009 kala ekonomi global dilanda krisis keuangan.



Padahal Afsel adalah salah satu anggota G20, sekumpulan negara besar yang menguasai sekitar 85% Produk Domestik Bruto (PDB) dunia. Ternyata status sebagai negara besar tidak menjamin bisa terhindar dari resesi.

Ternyata Afsel lumayan 'akrab' dengan resesi. Belum lama ini Afsel juga sempat terjerumus ke jurang resesi pada awal 2018.

Tahun lalu, masalah domestik menjadi momok bagi perekonomian Afsel. Salah satu negara paling makmur di Benua Afrika itu dilanda pemutusan hubungan listrik massal.

Curah hujan yang tinggi menyebabkan banjir yang merusak generator dan transmisi listrik Eskom, perusahaan listrik milik negara Afrika Selatan. Banjir juga membuat pembangkit listrik di Afsel kesulitan mendapat pasokan batu bara.


Eskom pun terpaksa menempuh kebijakan pengurangan beban (load-shedding). Akibatnya, pemadaman listrik bergilir menjadi pemandangan yang biasa. Dunia usaha dan rumah tangga jadi sulit untuk melakukan ekspansi sehingga hasil akhirnya adalah kontraksi ekonomi.

"Kebijakan load-shedding membuat negara ini bersedih. Menyebabkan ekonomi terluka dan mengganggu aktivitas rakyat. Kemarahan dan rasa frustrasi sangat dimengerti," tegas Cyril Ramaphosa, Presiden Afsel, seperti diberitakan oleh Reuters.

Pemadaman listrik terbesar dalam sejarah Afsel itu menyebabkan sejumlah sektor ekonomi mengalami kontraksi dalam. Pada kuartal IV-2019, sektor transportasi, pergudangan, dan komunikasi terkontraksi -7,2%. Kemudian sektor perdagangan, katering, dan akomodasi terkontraksi -3,8%, konstruksi -5,9%, utilitas -4%, manufaktur -1,8%, agrikultur, kehutanan, dan perikanan -7,6%, serta layanan pemerintah -0,4%.


[Gambas:Video CNBC]




Ternyata masalah Afsel bukan cuma kebanyakan air yang menyebabkan banjir, 2019 juga diwarnai kekeringan. Sebenarnya musim hujan di Afsel datang terlambat, bahkan sempat terjadi gelombang panas (heat wave) yang membuat produksi pertanian menyusut.

Gelombang panas juga membuat persediaan air di berbagai bendungan berkurang signifikan. Situasi ini membuat rakyat Afsel harus menerima kenyataan pahit berupa pemutusan pasokan air secara berkala. Sudah listrik padam, air seret pula...

Dari sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga Afsel tercatat masih tumbuh 1,4% pada kuartal IV-2019. Ekspor juga masih tumbuh 2,3%.

Namun pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan ekspor tidak bisa menutup kontraksi di pos lainnya. Konsumsi pemerintah terkontraksi -0,2% dan Penanaman Modal Tetap Bruto atau investasi -10%.

"Konsumsi rumah tangga masih tumbuh ditopang oleh pembelian sandang dan alas kaki (tumbuh 8,5%), perlengkapan rumah tangga (3,5%), dan lain-lain (3,6%). Sedangkan pertumbuhan ekspor disebabkan oleh peningkatan perdagangan logam mulia dan bebatuan.

Konsumsi pemerintah turun karena pengurangan jumlah pegawai pemerintah pada kuartal IV-2019. Sementara investasi terkontraksi di sisi mesin dan perlengkapan, transportasi, bangunan non-residensial, serta aset lainnya. Lemahnya impor mesin dan perlengkapan tercermin dari penurunan investasi," jelas keterangan tertulis Statistics South Africa.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/sef) Next Article IMF Sudah Sentil Afsel, Indonesia Masih Aman Nih?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular