
Internasional
Benang Merah, Mengapa Turki dan Rusia Ribut Suriah?
Sefti Oktarianisa, CNBC Indonesia
28 February 2020 08:56

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang di Suriah sudah terjadi sejak 2011. Artinya sudah sembilan tahun perang berkecambuk di kawasan itu.
Perang yang terjadi di Suriah merupakan situasi yang sangat rumit, tidak sesederhana satu sisi melawan sisi yang lain. Ada tiga pemeran utama dalam konflik Suriah, yakni Tentara Suriah rezim Assad, rezim anti Assad dan (IS).
Namun di sini ada pemain pendukung yang tak kalah penting, yakni seperti Iran, Rusia serta Turki termasuk AS. Namun diantara semuanya, Rusia dan Turki-lah yang terjerumus paling dalam di perang sipil ini.
Rusia mendukung Assad. Sedangkan Turki berada di belakang massa kontra Assad, terutama di daerah Idlib.
Bahkan keduanya tak segan saling serang pernyataan karena konflik Suriah. Kini, Turki dan Rusia pun maju paling depan membahas perdamaian di kawasan itu.
Turki sebenarnya masuk dalam perang sipil di Suriah sejak 2011. Pemerintah Turki mendukung Free Syrian Army, yang menjadi lawan Assad.
Bahkan Turki dengan Organisasi Intelijen Nasional-nya (MIT) melatih khusus tentara FSA. Bukan cuma untuk memerangi tentara Assad, tapi juga memerangi ISIS yang ketika itu tengah jadi musuh bersama di seluruh dunia.
Bergabungnya Turki bukan tanpa alasan. Turki melalui Presidennya Recep Tayyip Erdogan mengatakan Presiden Assad telah melakukan kejahatan perang di wilayah yang berbatasan dengan Turki ini.
Namun sebenarnya, mungkin masalah ini dimulai dari 1999 lalu. Di mana ayah Assad yang memimpin Suriah saat itu mendukung Kurdi untuk masuk dalam pemerintahannya.
Sejak saat itu, kedua negara panas. Bahkan di 2003, Turki menolak untuk bekerja sama dengan koalisi menentang Saddam Hussein, karena ada Suriah di dalamnya.
Sebagaimana dikutip dari Politico, suku kurdi merupakan etnis terbesar di Timur Tengah. Tapi setelah Perang Dunia I, Kurdi tak bisa memiliki negara sendiri, dan tersebar di Turki, Suriah, Irak dan Iran.
Sebagaimana kelompok minoritas, suku ini kerap menghadapi represi. Dengan sokongan dari grup milisi Partai Pekerja Kurdi (PKK), kelompok ini meminta kemerdekaan dari Turki.
Tahun 1980, kekerasan terjadi antara pemerintah Turki dan PKK. Ini membunuh 10 ribu orang. Saat itu PKK disebut sebagai organisasi teroris, baik oleh Ankara, AS maupun Uni Eropa.
Saat perang Suriah terjadi, pemerintah Suriah yang diyakini Turki terafiliasi dengan PKK yakni melalui Unit Proteksi Rakyat (YPG). YPG mengontrol Suriah Barat Laut di kawasan di mana Idlib dan Aleppo berada, yang dekat dengan Turki.
Secara teori, Rusia ada untuk melawan ISIS. Namun dalam praktiknya, mereka juga menyerang pemberontak anti-Assad lainnya, beberapa di antaranya juga didukung oleh Barat.
Awalnya Rusia terlibat dengan Suriah dimulai dari kisah masa Perang Dingin, ketika Uni Soviet mendapat pengaruh di Suriah pada 1970-an, memberikan bantuan dan senjata. Tetapi setelah runtuhnya Uni Soviet pada 1990-an, pengaruhnya di Suriah berkurang.
Pada tahun 2000, Vladimir Putin menjadi presiden Rusia dan Bashar al-Assad menjadi presiden Suriah. Mereka tidak memiliki hubungan dekat, tetapi pada pertengahan 2000-an, Putin mulai memperluas militer Rusia ke Suriah.
"Putin mulai berpikir tentang mengembangkan Rusia sebagai kekuatan besar lagi," kata Richard Reeve, direktur Program Keamanan Berkelanjutan di sebuah think-tank keamanan Oxford Research Group, dikutip dari BBC Internasional.
Hubungan Rusia dengan Suriah mulai menguat karena hubungan Perang Dingin mereka sebelumnya. Dukungan Rusia di Suriah juga meningkat secara dramatis ketika ada serangkaian pemberontakan di Timur Tengah dimulai pada musim semi 2011.
Hubungan makin dekat saat pemimpin Libya Muammar Gaddafi digulingkan pada 2011. Akibatnya, Presiden Putin mulai mencari sekutu di tempat lain di wilayah ini.
(sef/sef) Next Article Kala Putin dan Erdogan Saling Serang di Suriah
Perang yang terjadi di Suriah merupakan situasi yang sangat rumit, tidak sesederhana satu sisi melawan sisi yang lain. Ada tiga pemeran utama dalam konflik Suriah, yakni Tentara Suriah rezim Assad, rezim anti Assad dan (IS).
Bahkan keduanya tak segan saling serang pernyataan karena konflik Suriah. Kini, Turki dan Rusia pun maju paling depan membahas perdamaian di kawasan itu.
Turki sebenarnya masuk dalam perang sipil di Suriah sejak 2011. Pemerintah Turki mendukung Free Syrian Army, yang menjadi lawan Assad.
Bahkan Turki dengan Organisasi Intelijen Nasional-nya (MIT) melatih khusus tentara FSA. Bukan cuma untuk memerangi tentara Assad, tapi juga memerangi ISIS yang ketika itu tengah jadi musuh bersama di seluruh dunia.
Bergabungnya Turki bukan tanpa alasan. Turki melalui Presidennya Recep Tayyip Erdogan mengatakan Presiden Assad telah melakukan kejahatan perang di wilayah yang berbatasan dengan Turki ini.
Namun sebenarnya, mungkin masalah ini dimulai dari 1999 lalu. Di mana ayah Assad yang memimpin Suriah saat itu mendukung Kurdi untuk masuk dalam pemerintahannya.
Sejak saat itu, kedua negara panas. Bahkan di 2003, Turki menolak untuk bekerja sama dengan koalisi menentang Saddam Hussein, karena ada Suriah di dalamnya.
Sebagaimana dikutip dari Politico, suku kurdi merupakan etnis terbesar di Timur Tengah. Tapi setelah Perang Dunia I, Kurdi tak bisa memiliki negara sendiri, dan tersebar di Turki, Suriah, Irak dan Iran.
Sebagaimana kelompok minoritas, suku ini kerap menghadapi represi. Dengan sokongan dari grup milisi Partai Pekerja Kurdi (PKK), kelompok ini meminta kemerdekaan dari Turki.
Tahun 1980, kekerasan terjadi antara pemerintah Turki dan PKK. Ini membunuh 10 ribu orang. Saat itu PKK disebut sebagai organisasi teroris, baik oleh Ankara, AS maupun Uni Eropa.
Saat perang Suriah terjadi, pemerintah Suriah yang diyakini Turki terafiliasi dengan PKK yakni melalui Unit Proteksi Rakyat (YPG). YPG mengontrol Suriah Barat Laut di kawasan di mana Idlib dan Aleppo berada, yang dekat dengan Turki.
Secara teori, Rusia ada untuk melawan ISIS. Namun dalam praktiknya, mereka juga menyerang pemberontak anti-Assad lainnya, beberapa di antaranya juga didukung oleh Barat.
Awalnya Rusia terlibat dengan Suriah dimulai dari kisah masa Perang Dingin, ketika Uni Soviet mendapat pengaruh di Suriah pada 1970-an, memberikan bantuan dan senjata. Tetapi setelah runtuhnya Uni Soviet pada 1990-an, pengaruhnya di Suriah berkurang.
Pada tahun 2000, Vladimir Putin menjadi presiden Rusia dan Bashar al-Assad menjadi presiden Suriah. Mereka tidak memiliki hubungan dekat, tetapi pada pertengahan 2000-an, Putin mulai memperluas militer Rusia ke Suriah.
"Putin mulai berpikir tentang mengembangkan Rusia sebagai kekuatan besar lagi," kata Richard Reeve, direktur Program Keamanan Berkelanjutan di sebuah think-tank keamanan Oxford Research Group, dikutip dari BBC Internasional.
Hubungan Rusia dengan Suriah mulai menguat karena hubungan Perang Dingin mereka sebelumnya. Dukungan Rusia di Suriah juga meningkat secara dramatis ketika ada serangkaian pemberontakan di Timur Tengah dimulai pada musim semi 2011.
Hubungan makin dekat saat pemimpin Libya Muammar Gaddafi digulingkan pada 2011. Akibatnya, Presiden Putin mulai mencari sekutu di tempat lain di wilayah ini.
(sef/sef) Next Article Kala Putin dan Erdogan Saling Serang di Suriah
Most Popular