
AS Masukkan RI Jadi Negara Maju, INDEF: Tolak!
Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
27 February 2020 18:03

Jakarta, CNBC Indonesia - Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) telah mengajukan ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk merevisi daftar negara yang mereka nilai sudah tidak lagi berkembang. Indonesia salah satunya.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani mengatakan, nilai ekspor Indonesia ke AS terbilang besar, pada 2019 saja nilai ekspor ke AS sebesar US$ 17,7 miliar atau setara dengan total 11 % ekspor Indonesia.
Sementara, penghapusan label sebagai negara berkembang terhadap Indonesia bisa berdampak terhadap penghapusan beberapa keringanan tarif Countervailing Duties (CVD), Generalized System of Preferences (GSP), potongan bunga, dan de minimis margin subsidi perdagangan turun menjadi 1% terutama ke AS.
Padahal, lanjut Aviliani, berdasarkan IMD World Competitiveness Yearbook (WCY), daya saing Indonesia pada tingkat perdagangan internasional masih di peringkat 59.
"Sehingga produk-produk Indonesia menyebabkan kurang kompetitif di pasar global," jelas Aviliani.
Di sektor keuangan, Indonesia akan hilang kesempatannya untuk mendapat pinjaman atau bantuan dengan keringanan bunga dan angsuran dari lembaga internasional seperti IMF dan World Bank, serta negara-negara lain seperti Tiongkok dan Jepang.
Selain Indonesia, USTR juga mencoret China, Brazil, India dan Afrika Selatan sebagai negara berkembang. China dalam hal ini sudah menolak. Karena China menganggap, apabila label 'negara maju' itu melekat dalam negaranya, akan memudahkan AS dalam menggelar investigasi apabila USTR menganggap ada praktik perdagangan yang tidak fair.
China juga menolak karena mereka tidak ingin ada pengurangan dan pemotongan subsidi dan pemotongan bunga perdagangan. Di samping itu, 'Negara Maju' versi USTR mencerminkan ketidakpercayaan AS terhadap sistem perdagangan internasional saat ini.
Pemerintah, menurut Aviliani harus melakukan langkah yang serupa, seperti yang dilakukan oleh China dengan cepat. Di samping itu juga, Indonesia harus meningkatkan daya saing industri, guna pengurangan impor.
Kalau pemerintah tidak cepat melakukan penolakan, pada akhirnya neraca perdagangan Indonesia akan terkontrasi. Karena ekspor akan menurun drastis, sementara Indonesia juga belum mampu untuk mesubtitusi kebutuhan impor bahan baku di dalam negeri.
"Pemerintah harus segera melakukan diplomasi bilateral dagang dengan AS agar fasilitas dagang khususnya GSP masih tetap berlaku. Sehingga kinerja ekspor dan neraca dagang Inonesia tidak terganggu dalam jangka pendek yang berdampak pada perekonomian nasional," jelas Aviliani.
(gus/gus) Next Article Penelitian: PSBB Dilonggarkan, Kematian Bakal Melonjak 61%
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani mengatakan, nilai ekspor Indonesia ke AS terbilang besar, pada 2019 saja nilai ekspor ke AS sebesar US$ 17,7 miliar atau setara dengan total 11 % ekspor Indonesia.
Sementara, penghapusan label sebagai negara berkembang terhadap Indonesia bisa berdampak terhadap penghapusan beberapa keringanan tarif Countervailing Duties (CVD), Generalized System of Preferences (GSP), potongan bunga, dan de minimis margin subsidi perdagangan turun menjadi 1% terutama ke AS.
"Sehingga produk-produk Indonesia menyebabkan kurang kompetitif di pasar global," jelas Aviliani.
Di sektor keuangan, Indonesia akan hilang kesempatannya untuk mendapat pinjaman atau bantuan dengan keringanan bunga dan angsuran dari lembaga internasional seperti IMF dan World Bank, serta negara-negara lain seperti Tiongkok dan Jepang.
Selain Indonesia, USTR juga mencoret China, Brazil, India dan Afrika Selatan sebagai negara berkembang. China dalam hal ini sudah menolak. Karena China menganggap, apabila label 'negara maju' itu melekat dalam negaranya, akan memudahkan AS dalam menggelar investigasi apabila USTR menganggap ada praktik perdagangan yang tidak fair.
China juga menolak karena mereka tidak ingin ada pengurangan dan pemotongan subsidi dan pemotongan bunga perdagangan. Di samping itu, 'Negara Maju' versi USTR mencerminkan ketidakpercayaan AS terhadap sistem perdagangan internasional saat ini.
Pemerintah, menurut Aviliani harus melakukan langkah yang serupa, seperti yang dilakukan oleh China dengan cepat. Di samping itu juga, Indonesia harus meningkatkan daya saing industri, guna pengurangan impor.
Kalau pemerintah tidak cepat melakukan penolakan, pada akhirnya neraca perdagangan Indonesia akan terkontrasi. Karena ekspor akan menurun drastis, sementara Indonesia juga belum mampu untuk mesubtitusi kebutuhan impor bahan baku di dalam negeri.
"Pemerintah harus segera melakukan diplomasi bilateral dagang dengan AS agar fasilitas dagang khususnya GSP masih tetap berlaku. Sehingga kinerja ekspor dan neraca dagang Inonesia tidak terganggu dalam jangka pendek yang berdampak pada perekonomian nasional," jelas Aviliani.
(gus/gus) Next Article Penelitian: PSBB Dilonggarkan, Kematian Bakal Melonjak 61%
Most Popular