
AS Cap RI Naik Kelas Jadi Negara Maju, Ternyata Ini Risikonya
Ferry Sandi, CNBC Indonesia
25 February 2020 14:20

Jakarta, CNBC Indonesia - Setiap perubahan tentu akan ada implikasinya. Hal ini juga yang terjadi dengan status Indonesia yang dicoret dari daftar negara berkembang oleh AS dalam hal perdagangan. Apa perlu khawatir?
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Industri (Kadin) Bidang Hubungan Internasional Shinta W Kamdani menyebut berubahnya status Indonesia dari negara berkembang ke negara maju tidak akan memengaruhi fasilitas GSP (Generalized System of Preferences). Pasalnya, perubahan status tersebut hanya berlaku di World Trade Organization (WTO). GSP merupakan fasilitas keringanan bea masuk saat produk pasar negara berkembang masuk AS agar bisa berdaya saing.
Shinta menjelaskan dampaknya berimbas pada bea masuk anti-subsidi atau countervailing duties (CVD) yang diterapkan oleh AS. Namun, karena CVD Law ini diadopsi dari WTO Agreement, AS punya kewajiban untuk memberikan sikapnya.
"Yakni special & differential treatment kepada anggota WTO yang mengaku sebagai developing country (negara berkembang)," sebutnya kepada CNBC Indonesia, Selasa (25/2).
Dalam UU tersebut, special & differential treatment diinterpretasikan sebagai pembedaan pada toleransi yang diberikan AS terhadap negara-negara yang melakukan subsidi perdagangan dengan AS. Negara berkembang akan diberikan toleransi 2%, sementara negara maju toleransinya akan lebih rendah yaitu 1%. Artinya ruangnya lebih terbatas.
"Artinya negara berkembang boleh mensubsidi harga barang yang mereka jual ke AS sebesar 2%, dan negara maju hanya boleh mensubsidi maksimal 1% lebih murah dari pada harga pasar yang berlaku," sebut Shinta.
Karena Indonesia sudah dikategorikan sebagai negara maju, maka subsidi yang diberikan kepada produknya akan mengecil. Akibatnya, harga jual produk di AS akan meningkat dan berpotensi ditinggalkan konsumen di sana alias kurang berdaya saing.
Jika sampai ditemukan pelanggaran oleh trade investigator AS melalui market price cross check, bisa saja Indonesia terkena dampak lebih besar.
"Kalau persentase lebih besar dari batas ini, AS akan mengenakan tarif tambahan kepada impor produk-produk dari negara tersebut," sebut Shinta.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati juga sempat mengatakan, perubahan status tersebut tidak terpengaruh signifikan ke Indonesia. Sebab, selama ini hanya 5 komoditas dalam negeri yang bebas kena bea masuk tambahan atau Countervailing Duty (CVD).
"Selama ini di Indonesia hanya 5 komoditas yang menikmati itu (pembebasan bea masuk tambahan) itu, jadi sebetulnya nggak terlalu besar sekali pengaruhnya kepada perdagangan kita dan CVD ini berbeda dengan GSP. Jadi dan nggak ada hubungannya dengan berbagai hal yang lain. Jadi nggak ada hubungannya itu sama sekali," ujarnya.
Ia menilai memang sudah sewajarnya RI keluar dari negara berkembang, karena Indonesia sudah dianggap negara berpendapatan menengah ke bawah (lower middle income). Jadi, yang perlu ditingkatkan saat ini adalah daya saing untuk bisa meningkatkan status saat ini.
"Itu (meningkatkan daya saing) kan yang selama ini menjadi pusat perhatian presiden. Produktivitas, competitiveness, connectivity, itu semua yang akan menciptakan cost of production yang lebih efisien. Jadi untuk CVD saya rasa dan harap hanya spesifik mengenai CVD," jelasnya.
Selain Indonesia, USTR juga membuat daftar negara-negara yang dikeluarkan dari daftar negara berkembang. Di antaranya adalah Albania, Argentina, Armenia, Brazil, Bulgaria, dan China.
Selain itu ada Kolombia, Kosta Rika, Georgia, Hong Kong, India, Kazakhstan, dan Republik Kirgis. Selanjutnya ada Malaysia, Moldova, Montenegro, Makedonia Utara, Romania, Singapura, Afrika Selatan, Korea Selatan, Thailand, Ukraina, dan Vietnam.
Menurut USTR, keputusan untuk merevisi metodologi terkait negara berkembang untuk investigasi tarif perdagangan penting untuk dilakukan. Sebab, pedoman yang digunakan sebelumnya sudah usang lantaran dibuat tahun 1988. Pembaruan ini pun menandai langkah penting kebijakan AS yang sudah berlangsung selama dua dekade terkait negara-negara berkembang.
(hoi/hoi) Next Article Dicap Sebagai Negara Maju, Indonesia Malah Rugi
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Industri (Kadin) Bidang Hubungan Internasional Shinta W Kamdani menyebut berubahnya status Indonesia dari negara berkembang ke negara maju tidak akan memengaruhi fasilitas GSP (Generalized System of Preferences). Pasalnya, perubahan status tersebut hanya berlaku di World Trade Organization (WTO). GSP merupakan fasilitas keringanan bea masuk saat produk pasar negara berkembang masuk AS agar bisa berdaya saing.
Shinta menjelaskan dampaknya berimbas pada bea masuk anti-subsidi atau countervailing duties (CVD) yang diterapkan oleh AS. Namun, karena CVD Law ini diadopsi dari WTO Agreement, AS punya kewajiban untuk memberikan sikapnya.
"Yakni special & differential treatment kepada anggota WTO yang mengaku sebagai developing country (negara berkembang)," sebutnya kepada CNBC Indonesia, Selasa (25/2).
Dalam UU tersebut, special & differential treatment diinterpretasikan sebagai pembedaan pada toleransi yang diberikan AS terhadap negara-negara yang melakukan subsidi perdagangan dengan AS. Negara berkembang akan diberikan toleransi 2%, sementara negara maju toleransinya akan lebih rendah yaitu 1%. Artinya ruangnya lebih terbatas.
"Artinya negara berkembang boleh mensubsidi harga barang yang mereka jual ke AS sebesar 2%, dan negara maju hanya boleh mensubsidi maksimal 1% lebih murah dari pada harga pasar yang berlaku," sebut Shinta.
Karena Indonesia sudah dikategorikan sebagai negara maju, maka subsidi yang diberikan kepada produknya akan mengecil. Akibatnya, harga jual produk di AS akan meningkat dan berpotensi ditinggalkan konsumen di sana alias kurang berdaya saing.
Jika sampai ditemukan pelanggaran oleh trade investigator AS melalui market price cross check, bisa saja Indonesia terkena dampak lebih besar.
"Kalau persentase lebih besar dari batas ini, AS akan mengenakan tarif tambahan kepada impor produk-produk dari negara tersebut," sebut Shinta.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati juga sempat mengatakan, perubahan status tersebut tidak terpengaruh signifikan ke Indonesia. Sebab, selama ini hanya 5 komoditas dalam negeri yang bebas kena bea masuk tambahan atau Countervailing Duty (CVD).
"Selama ini di Indonesia hanya 5 komoditas yang menikmati itu (pembebasan bea masuk tambahan) itu, jadi sebetulnya nggak terlalu besar sekali pengaruhnya kepada perdagangan kita dan CVD ini berbeda dengan GSP. Jadi dan nggak ada hubungannya dengan berbagai hal yang lain. Jadi nggak ada hubungannya itu sama sekali," ujarnya.
Ia menilai memang sudah sewajarnya RI keluar dari negara berkembang, karena Indonesia sudah dianggap negara berpendapatan menengah ke bawah (lower middle income). Jadi, yang perlu ditingkatkan saat ini adalah daya saing untuk bisa meningkatkan status saat ini.
"Itu (meningkatkan daya saing) kan yang selama ini menjadi pusat perhatian presiden. Produktivitas, competitiveness, connectivity, itu semua yang akan menciptakan cost of production yang lebih efisien. Jadi untuk CVD saya rasa dan harap hanya spesifik mengenai CVD," jelasnya.
Selain Indonesia, USTR juga membuat daftar negara-negara yang dikeluarkan dari daftar negara berkembang. Di antaranya adalah Albania, Argentina, Armenia, Brazil, Bulgaria, dan China.
Selain itu ada Kolombia, Kosta Rika, Georgia, Hong Kong, India, Kazakhstan, dan Republik Kirgis. Selanjutnya ada Malaysia, Moldova, Montenegro, Makedonia Utara, Romania, Singapura, Afrika Selatan, Korea Selatan, Thailand, Ukraina, dan Vietnam.
Menurut USTR, keputusan untuk merevisi metodologi terkait negara berkembang untuk investigasi tarif perdagangan penting untuk dilakukan. Sebab, pedoman yang digunakan sebelumnya sudah usang lantaran dibuat tahun 1988. Pembaruan ini pun menandai langkah penting kebijakan AS yang sudah berlangsung selama dua dekade terkait negara-negara berkembang.
(hoi/hoi) Next Article Dicap Sebagai Negara Maju, Indonesia Malah Rugi
Most Popular