
Dapat Cap Negara Maju, RI Bukan Untung Malah Buntung
Ferry Sandi, CNBC Indonesia
24 February 2020 13:31

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia secara resmi sudah dihapus dari daftar yang masuk ke dalam negara berkembang. Kini, Indonesia dinilai sebagai negara maju versi US Trade Representative (USTR).
Namun, bukannya keuntungan yang didapat dari pengakuan ini, namun justru sebaliknya. Dampaknya segala bentuk kemudahan seperti potongan bunga, atau subsidi dari perdagangan antarnegara dapat dikurangi karena Indonesia sudah dianggap lebih mampu oleh AS.
Ekonom The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira, menyebut dampak yang dirasa Indonesia bukan didominasi hal positif.
"Dampaknya justru rugi, belum ada untungnya. Lebih banyak negatif," sebut Bhima kepada CNBC Indonesia, Senin (24/2).
Adapun dampak negatif yang dimaksud adalah dikeluarkannya Indonesia sebagai negara penerima fasilitas GSP (Generalized System of Preferences) yang selama ini banyak pelaku usaha menikmati fasilitas bea masuk yang rendah untuk ekspor tujuan AS. Sehingga produk ekspor Indonesia berdaya saing di pasar AS.
"Kita akan kehilangan daya saing pada ribuan jenis produk. Ekspor ke pasar AS terancam menurun, khususnya sektor tekstil dan pakaian jadi. Ini ujungnya memperlebar defisit neraca dagang setelah sebelumnya pada Januari 2020 defisit mencapai US$ 864 juta," sebutnya.
Saat ini, produk Indonesia memang mendapatkan banyak manfaat dari fasilitas GSP. Total ada 3.572 produk Indonesia yang mendapat fasilitas tersebut.
Dengan status ini, Indonesia harus bersiap-siap. Setidaknya Indonesia memiliki waktu beberapa bulan ke depan, karena Bhima menilai kebijakan ini baru efektif di tahun 2021 mendatang. Salah satu upaya yang bisa dilakukan yakni meningkatkan nilai ekspor di negara selain AS.
"Utamanya mempercepat perluasan pasar ke negara non tradisional di luar AS atau bisa juga tingkatkan daya saing produk dan inovasi agar konsumen AS tetap membeli barang Indonesia meskipun harganya relatif lebih mahal, terakhir lebih banyak serap kelebihan ekspor ke pasar domestik meskipun ini butuh waktu," ujarnya.
Dalam pernyataan yang disampaikan USTR pada Senin (10/2/2020), ada berbagai faktor yang menjadi pertimbangan mengapa negara-negara itu dihapuskan dari daftar, di antaranya yaitu ambang batas yang ditetapkan Bank Dunia untuk memisahkan negara-negara 'berpenghasilan tinggi' dari negara-negara dengan Pendapatan Nasional Bruto (GNI) per kapita yang lebih rendah.
Selain itu, faktor pangsa perdagangan globalnya juga menjadi pertimbangan.
"USTR juga mempertimbangkan apakah negara-negara memiliki bagian yang signifikan dari perdagangan dunia dan, dengan demikian, harus diperlakukan sebagai tidak memenuhi syarat untuk standar minimal 2% de minimis," tulis USTR.
Selain itu, USTR juga mempertimbangkan faktor-faktor tambahan seperti keanggotaan Uni Eropa (UE), keanggotaan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), serta keanggotaan G20
(hoi/hoi) Next Article Dicap Sebagai Negara Maju, Indonesia Malah Rugi
Namun, bukannya keuntungan yang didapat dari pengakuan ini, namun justru sebaliknya. Dampaknya segala bentuk kemudahan seperti potongan bunga, atau subsidi dari perdagangan antarnegara dapat dikurangi karena Indonesia sudah dianggap lebih mampu oleh AS.
Ekonom The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira, menyebut dampak yang dirasa Indonesia bukan didominasi hal positif.
Adapun dampak negatif yang dimaksud adalah dikeluarkannya Indonesia sebagai negara penerima fasilitas GSP (Generalized System of Preferences) yang selama ini banyak pelaku usaha menikmati fasilitas bea masuk yang rendah untuk ekspor tujuan AS. Sehingga produk ekspor Indonesia berdaya saing di pasar AS.
"Kita akan kehilangan daya saing pada ribuan jenis produk. Ekspor ke pasar AS terancam menurun, khususnya sektor tekstil dan pakaian jadi. Ini ujungnya memperlebar defisit neraca dagang setelah sebelumnya pada Januari 2020 defisit mencapai US$ 864 juta," sebutnya.
Saat ini, produk Indonesia memang mendapatkan banyak manfaat dari fasilitas GSP. Total ada 3.572 produk Indonesia yang mendapat fasilitas tersebut.
Dengan status ini, Indonesia harus bersiap-siap. Setidaknya Indonesia memiliki waktu beberapa bulan ke depan, karena Bhima menilai kebijakan ini baru efektif di tahun 2021 mendatang. Salah satu upaya yang bisa dilakukan yakni meningkatkan nilai ekspor di negara selain AS.
"Utamanya mempercepat perluasan pasar ke negara non tradisional di luar AS atau bisa juga tingkatkan daya saing produk dan inovasi agar konsumen AS tetap membeli barang Indonesia meskipun harganya relatif lebih mahal, terakhir lebih banyak serap kelebihan ekspor ke pasar domestik meskipun ini butuh waktu," ujarnya.
Dalam pernyataan yang disampaikan USTR pada Senin (10/2/2020), ada berbagai faktor yang menjadi pertimbangan mengapa negara-negara itu dihapuskan dari daftar, di antaranya yaitu ambang batas yang ditetapkan Bank Dunia untuk memisahkan negara-negara 'berpenghasilan tinggi' dari negara-negara dengan Pendapatan Nasional Bruto (GNI) per kapita yang lebih rendah.
Selain itu, faktor pangsa perdagangan globalnya juga menjadi pertimbangan.
"USTR juga mempertimbangkan apakah negara-negara memiliki bagian yang signifikan dari perdagangan dunia dan, dengan demikian, harus diperlakukan sebagai tidak memenuhi syarat untuk standar minimal 2% de minimis," tulis USTR.
Selain itu, USTR juga mempertimbangkan faktor-faktor tambahan seperti keanggotaan Uni Eropa (UE), keanggotaan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), serta keanggotaan G20
(hoi/hoi) Next Article Dicap Sebagai Negara Maju, Indonesia Malah Rugi
Most Popular