
Soal WNI Eks ISIS, Jokowi Diminta Ubah Aturan Kewarganegaraan
Muhammad Iqbal, CNBC Indonesia
12 February 2020 15:01

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketua Program Studi Kajian Terorisme Universitas Indonesia Muhammad Syauqillah menawarkan sejumlah opsi kepada pemerintah dalam menangani WNI eks ISIS. Demikian disampaikan Syauqillah di Jakarta, Selasa (11/2/2020), seperti dilansir CNN Indonesia, Rabu (12/2/2020).
"Jadi pilihannya dua. Bikin peraturan pemerintah yang mengatur keterlibatan WNI di ISIS kehilangan kewarganegaraannya atau direvisi UU-nya yang sudah ada bahwa ada kehilangan kewarganegaraannya. Itu yang harus disiapkan," kata Syauqillah.
Ia menyatakan hal itu mendesak dilakukan pemerintah untuk memastikan soal status ratusan WNI eks ISIS yang kini tinggal di kamp penampungan, baik di Turki maupun Suriah.
Menurut Syauqillah, aturan hukum seperti Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI maupun Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan RI, belum mengatur soal hilangnya kewarganegaraan WNI karena bergabung dengan ISIS.
Dalam UU 12/2006, kata Syauqillah, misalnya tertulis seseorang kehilangan kewarganegaraan karena masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari presiden. Sementara ISIS sendiri bukan sebuah negara, tetapi kelompok terorisme atau unlawful combatan.
Di sisi lain, dalam penjelasan UU itu disebutkan Indonesia tak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Sekadar gambaran, hal ini pernah mengemuka saat Arcandra Tahar ditunjuk Jokowi sebagai Menteri ESDM beberapa tahun lalu. Lantaran sudah berstatus WN Amerika Serikat, Arcandra lantas harus mengurus status WNI-nya kembali.
Selain itu, lanjut Syauqillah, tak diatur pula dalam UU maupun PP tersebut WNI yang membakar paspor otomatis kehilangan kewarganegaraan. Oleh karena itu, Syauqillah meminta Jokowi membuat aturan yang lebih jelas terlebih dahulu soal kehilangan kewarganegaraan.
"Jadi ketika Pak Jokowi menolak jelas, 'saya menolak anda'. Maka dengan telah dibatalkan kewarganegaraan itu di catatan sipil kita dihapus," ujarnya.
Lebih lanjut, Syauqillah menyatakan sikap pemerintah yang menolak memulangkan ratusan WNI eks ISIS itu berpeluang digugat oleh mereka. Menurut dia, peluang itu terbuka karena tak ada aturan hukum yang jelas dalam UU maupun PP tersebut.
"Kemungkinan ada yang gugat. Itu seperti apa nanti skenario hukumnya harus dijelaskan ke publik sehingga sebagai WNI kita enggak bertanya-tanya status hukumnya," katanya.
Syauqillah khawatir karena tak ada aturan hukum yang jelas soal status kewarganegaraan ratusan WNI eks ISIS pemerintah RI dianggap melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM). Ia meminta pemerintah bisa menjelaskan aturan yang dipakai ketika menolak ratusan WNI untuk kembali ke Tanah Air.
Kemarin, pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin memutuskan untuk tidak memulangkan ratusan WNI eks ISIS ke Tanah Air. Keputusan itu diambil dalam rapat kabinet yang digelar tertutup di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa (11/2/2020).
"Pemerintah tidak ada rencana memulangkan teroris, bahkan tidak akan memulangkan foreign terrorist fighter (FTF) ke Indonesia," ujar Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md seperti dikutip cnnindonesia.com, Rabu (12/2/2020).
"Keputusan rapat tadi pemerintah harus beri rasa aman dari ancaman teroris dan virus-virus baru terhadap 267 juta rakyat Indonesia. Karena kalau FTF ini pulang bisa jadi virus baru yang membuat rakyat 267 juta tidak aman," lanjutnya.
Berdasarkan data terbaru, terdapat 689 WNI eks ISIS yang tersebar di sejumlah wilayah seperti Suriah dan Turki. Angka itu lebih tinggi dibandingkan data sebelumnya, yaitu 660 WNI.
Kendati demikian, Mahfud mengatakan pemerintah masih akan mendata jumlah valid WNI eks ISIS dan identitas secara lengkap. Sementara untuk kepulangan anak-anak akan dipertimbangkan kembali.
"Untuk anak-anak di bawah 10 tahun akan dipertimbangkan tapi case by case. Ya lihat aja apakah ada orang tuanya atau tidak, yatim piatu," ujar Mahfud.
[Gambas:Video CNBC]
(miq/sef) Next Article Bagaimana Nasib 689 WNI eks ISIS, Mahfud: Ya Dibiarin Aja!
"Jadi pilihannya dua. Bikin peraturan pemerintah yang mengatur keterlibatan WNI di ISIS kehilangan kewarganegaraannya atau direvisi UU-nya yang sudah ada bahwa ada kehilangan kewarganegaraannya. Itu yang harus disiapkan," kata Syauqillah.
Ia menyatakan hal itu mendesak dilakukan pemerintah untuk memastikan soal status ratusan WNI eks ISIS yang kini tinggal di kamp penampungan, baik di Turki maupun Suriah.
Dalam UU 12/2006, kata Syauqillah, misalnya tertulis seseorang kehilangan kewarganegaraan karena masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari presiden. Sementara ISIS sendiri bukan sebuah negara, tetapi kelompok terorisme atau unlawful combatan.
Di sisi lain, dalam penjelasan UU itu disebutkan Indonesia tak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Sekadar gambaran, hal ini pernah mengemuka saat Arcandra Tahar ditunjuk Jokowi sebagai Menteri ESDM beberapa tahun lalu. Lantaran sudah berstatus WN Amerika Serikat, Arcandra lantas harus mengurus status WNI-nya kembali.
Selain itu, lanjut Syauqillah, tak diatur pula dalam UU maupun PP tersebut WNI yang membakar paspor otomatis kehilangan kewarganegaraan. Oleh karena itu, Syauqillah meminta Jokowi membuat aturan yang lebih jelas terlebih dahulu soal kehilangan kewarganegaraan.
"Jadi ketika Pak Jokowi menolak jelas, 'saya menolak anda'. Maka dengan telah dibatalkan kewarganegaraan itu di catatan sipil kita dihapus," ujarnya.
Lebih lanjut, Syauqillah menyatakan sikap pemerintah yang menolak memulangkan ratusan WNI eks ISIS itu berpeluang digugat oleh mereka. Menurut dia, peluang itu terbuka karena tak ada aturan hukum yang jelas dalam UU maupun PP tersebut.
"Kemungkinan ada yang gugat. Itu seperti apa nanti skenario hukumnya harus dijelaskan ke publik sehingga sebagai WNI kita enggak bertanya-tanya status hukumnya," katanya.
Syauqillah khawatir karena tak ada aturan hukum yang jelas soal status kewarganegaraan ratusan WNI eks ISIS pemerintah RI dianggap melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM). Ia meminta pemerintah bisa menjelaskan aturan yang dipakai ketika menolak ratusan WNI untuk kembali ke Tanah Air.
Kemarin, pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin memutuskan untuk tidak memulangkan ratusan WNI eks ISIS ke Tanah Air. Keputusan itu diambil dalam rapat kabinet yang digelar tertutup di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa (11/2/2020).
"Pemerintah tidak ada rencana memulangkan teroris, bahkan tidak akan memulangkan foreign terrorist fighter (FTF) ke Indonesia," ujar Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md seperti dikutip cnnindonesia.com, Rabu (12/2/2020).
"Keputusan rapat tadi pemerintah harus beri rasa aman dari ancaman teroris dan virus-virus baru terhadap 267 juta rakyat Indonesia. Karena kalau FTF ini pulang bisa jadi virus baru yang membuat rakyat 267 juta tidak aman," lanjutnya.
Berdasarkan data terbaru, terdapat 689 WNI eks ISIS yang tersebar di sejumlah wilayah seperti Suriah dan Turki. Angka itu lebih tinggi dibandingkan data sebelumnya, yaitu 660 WNI.
Kendati demikian, Mahfud mengatakan pemerintah masih akan mendata jumlah valid WNI eks ISIS dan identitas secara lengkap. Sementara untuk kepulangan anak-anak akan dipertimbangkan kembali.
"Untuk anak-anak di bawah 10 tahun akan dipertimbangkan tapi case by case. Ya lihat aja apakah ada orang tuanya atau tidak, yatim piatu," ujar Mahfud.
[Gambas:Video CNBC]
(miq/sef) Next Article Bagaimana Nasib 689 WNI eks ISIS, Mahfud: Ya Dibiarin Aja!
Most Popular