Awas, Pertumbuhan Ekonomi Q I-2020 Bisa di Bawah 5% Lagi

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 February 2020 14:28
Awas, Pertumbuhan Ekonomi Q I-2020 Bisa di Bawah 5% Lagi
Ilustrasi Aktivitas di Pelabuhan (REUTERS/Darren Whiteside)
Jakarta, CNBC Indonesia - Realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2019 boleh dibilang mengecewakan, laju paling lemah sejak 2016. Memasuki 2020, bukan tidak mungkin situasinya memburuk.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2019 sebesar 4,97% year-on-year (YoY). Sebelumnya, Indonesia tidak pernah mengalami pertumbuhan ekonomi di bawah 5% dalam 11 kuartal.



Pencapaian pertumbuhan ekonomi periode Oktober-Desember 2019 jauh dari harapan. Pasalnya, banyak pihak yang menilai pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019 yang 5,02% itu adalah kerak neraka, titik nadir. Selepas itu, pertumbuhan ekonomi Tanah Air bakal rebound.

Namun kenyataannya tidak demikian. Realitasnya adalah pertumbuhan ekonomi semakin melambat.

Pada kuartal IV-2019, konsumsi rumah tangga agak lesu dengan mencatatkan pertumbuhan 4,97%. Melambat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 5,08% dan menjadi catatan terlemah sejak kuartal III-2017.

Kemudian investasi atau Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB) tumbuh 4,06% pada kuartal IV-2019, jauh melambat ketimbang kuartal IV-2018 yang sebesar 6,01%. Lalu belanja pemerintah hanya tumbuh minimal di 0,48%. Juga jauh melambat dibandingkan kuartal IV-2019 yakni 4,56%.


Oke, catatan itu biar menjadi sejarah. Sekarang kita menatap ke depan saja. Apakah prospek pertumbuhan ekonomi kuartal I-2010 bakal lebih baik?

[Gambas:Video CNBC]



Agak sulit untuk menjawabnya. Masih sangat abu-abu, karena ada sentimen positif dan negatif yang datang bersamaan.

Positifnya, ekspor yang pada kuartal IV-2019 terkontraksi (tumbuh negatif) 0,39% berpeluang membaik pada kuartal I-2020. Kinerja ekspor Indonesia akan terimbas dampak positif damai dagang Amerika Serikat (AS)-China.

Setelah menjalani perang dagang selama nyaris dua tahun, akhirnya Washington dan Beijing meneken perjanjian damai dagang Fase I pertengahan bulan lalu. AS menurunkan bea masuk untuk sejumlah importasi produk China yang awalnya 15% menjadi 7,5% sementara China berkomitmen untuk membeli lebih banyak produk made in USA. Keduanya sudah lebih membuka diri, tidak lagi saling hambat.

Kala produk China lebih lancar masuk ke AS dan demikian pula sebaliknya, maka dunia usaha di dua negara itu akan bersemangat meningkatkan produksi. Di AS, pemesanan produk manufaktur di AS pada Desember 2019 naik 1,8% dibandingkan bulan sebelumnya. Jauh membaik ketimbang November 2019 yang turun 1,2%. Pertumbuhan Desember 2019 menjadi yang terbaik sejak Agustus 2018.

Kemudian angka Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur AS pada Januari 2020 tercatat di 50,9. Naik dibandingkan Desember 2019 yang sebesar 47,8 dan menjadi yang tertinggi sejak Juni. Ini juga menjadi kali pertama PMI AS berada di atas 50.

PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Kalau di atas 50, maka dunia usaha sedang ekspansif.


Artinya, permintaan bahan baku dan barang modal dari negara lain akan meningkat. Ada harapan ekspor Indonesia bakal membaik. Kala ekspor membaik, investasi bakal mengikuti. Kalau ekspor dan investasi pulih, biasanya konsumsi rumah tangga ikut terkerek.


Namun ada risiko yang bisa membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin melambat. Risiko itu bernama virus Corona.

Virus yang menyebabkan gejala seperti influenza ini berawal dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China. Seiring libur panjang Tahun Baru Imlek, virus Corona menyebar dengan luas dan cepat karena tingginya mobilitas masyarakat. Imlek memang momen puncak pergerakan warga China, baik antar-kota maupun antar-negara.

Mengutip data satelit pemetaan ArcGis pukul 13:48 WIB, jumlah kasus virus Corona mencapai 24.551 di seluruh dunia di mana 24.338 terjadi di Negeri Tirai Bambu. Korban jiwa semakin bertambah, kini berjumlah 493 orang.


Berdasarkan catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) biaya pengobatan untuk virus Corona di seluruh dunia sudah mencapai US$ 675 juta (Rp 890,41 miliar dengan kurs saat ini). Angka ini belum termasuk dampak sosial dan ekonomi.

Ya, dampak ekonomi akibat penyebaran (outbreak) virus Corona memang tidak bisa dianggap remeh. Pasalnya, virus ini membuat aktivitas ekonomi di Negeri Tirai Bambu seret.

Kalau ada virus mematikan sedang bergentayangan, tentu masyarakat berpikir ribuan kali untuk beraktivitas di luar rumah. Akibatnya, aktivitas produksi dan konsumsi pasti berkurang drastis.


"Awalnya pemerintah China menambah masa libur Imlek selama tiga hari. Namun sesudah itu, jumlah pabrik yang tidak berproduksi semakin banyak. Berbagai provinsi di China menunda aktivitas bisnis," sebut laporan IHS Markit yang dirilis 31 Januari lalu.

Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi China hampir pasti melambat. Berdasarkan riset Morgan Stanley, pertumbuhan ekonomi China bisa terpangkas 0,5-1 poin persentase pada kuartal I-2020 jika virus Corona memuncak pada Februari-Maret.

Menurut kajian Bank Dunia, setiap perlambatan ekonomi China sebesar 1 poin persentase akan membuat ekonomi Indonesia terpangkas 0,3 poin persentase. Jadi kalau ekonomi China melambat 0,5-1 poin persentase, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia berisiko berkurang 0,15-0,3 poin persentase.

Median pertumbuhan ekonomi kuartal I selama 2011-2019 adalah 5,07%. Asumsikan itu adalah proyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal I-2020. Jadi kalau ekonomi Indonesia tergerus 0,15-0,3 poin persentase, maka pertumbuhan ekonomi kuartal I-2020 lagi-lagi bisa di bawah 5% yaitu 4,07-4,92%.

Kuartal I-2020 memang baru sepertiga jalan, masih banyak waktu untuk perbaikan dan mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan terburuk akibat penyebaran virus Corona. Waktu yang masih tersisa harus dimanfaatkan dengan baik, jangan sampai menyesal kemudian.




TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/wed) Next Article Kenali Ciri & Gejala Virus Corona, Ini Penjelasan IDI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular