Data Manufaktur Bantu Dolar AS Kurangi Tekanan Operasi Repo

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
04 February 2020 20:37
Pada pukul 19:32 WIB, indeks dolar AS menguat 0,08% ke level 97,88, melanjutkan reli pada Senin kemarin sebesar 0,42%.
Foto: Foto ilustrasi dolar amerika dan yuan china. REUTERS/Thomas White/Illustration/File Photo
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks dolar Amerika Serikat (AS) melanjutkan penguatan pada perdagangan Selasa (4/2/2020) berkat rilis data sektor manufaktur AS yang menunjukkan ekspansi. Pada pukul 19:32 WIB, indeks dolar AS menguat 0,08% ke level 97,88, melanjutkan reli Senin kemarin sebesar 0,42%.

Indeks dolar dibentuk dari enam mata uang yakni euro, yen, poundsterling, dolar Kanada, krona Swedia, dan franc Swiss. Indeks ini juga dijadikan tolak ukur kekuatan dolar AS terhadap mata uang lainnya.

Dari enam mata uang tersebut, dolar terpantau menguat melawan euro sebesar 0,12%, yen 0,39%, dan franc 0,34%. Sementara melawan poundsterling, the greenback melemah 0,12%, dan melawan dolar Kanada serta krona melemah 0,09% dan 0,23%. 



Dolar AS mendapat momentum penguatan setelah Institute for Supply Management (ISM) Senin kemarin melaporkan aktivitas manufaktur di Negeri Paman Sam berekspansi untuk pertama kalinya dalam enam bulan terakhir Januari lalu.

ISM melaporkan purchasing managers' index (ISM) bulan Januari naik menjadi 50,9 dari bulan sebelumnya 47,2. PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di atas 50 berarti ekspansi, sementara di bawah berarti kontraksi.

Rilis data tersebut terbilang mengejutkan mengingat polling Reuters memprediksi kenaikan hanya ke 48,5 atau masih berkontraksi. Ekspansi sektor manufaktur tentunya menjadi kabar bagus bagi ekonomi AS memasuki tahun 2020, yang tentunya mengecilkan peluang suku bunga di AS kembali dipangkas.

Pada Kamis (30/1/2020) dini hari, The Fed mengumumkan suku bunga tetap ditahan 1,5-1,75% di tahun ini, agar mencapai target inflasi 2%. Selain itu, The Fed juga masih mempertahankan program repurchase agreement (repo) senilai US$ 60 miliar per bulan, guna menambah likuiditas di pasar.

Pimpinan The Fed, Jerome Powell, menyatakan program repo baru akan dikurangi sekitar bulan April sampai Juni. Program repo tersebut diluncurkan setelah pasar uang antar bank (PUAB) di AS sedang mengalami pengetatan pada bulan September 2019, bahkan suku bunga overnight mencapai 10%, sebagaimana dilansir nasdaq.com.

Caranya, The Fed membeli surat-surat berharga seperti obligasi pemerintah AS jangka pendek (Treasury Bill), efek beragun aset (EBA), dan surat berharga lain dari bank konvensional. Selanjutnya, bank konvensional bisa kembali membeli surat berharga itu beberapa hari atau minggu kemudian, dengan bunga lebih rendah.



Program tersebut mirip dengan quantitative easing (QE) yang dilakukan The Fed saat krisis finansial 2008 hingga akhir 2014, yang membuat pasar dibanjiri likuiditas. Efek yang ditimbulkan program repo juga mirip dengan efek QE. 

Hal tersebut diakui oleh Presiden The Fed wilayah Dallas, Robert Kaplan, yang menyatakan kebijakan repo kemungkinan menyebabkan beberapa konsekuensi yang tidak disengaja. "Di satu sisi ini bukan QE, tapi saya pikir ini memiliki beberapa efek seperti QE," kata Kaplan sebagaimana dilansir Finansial Times, Senin (20/1/2020) pekan lalu.

Salah satu efek QE adalah pelemahan dolar AS akibat banjir likuiditas. Sejak The Fed melakukan operasi repo, indeks dolar AS sempat anjlok lebih dari 3% pada periode Oktober sampai Desember 2019, dan baru perlahan bangkit di tahun2020. Meski demikian, sejak awal Oktober hingga hari ini, indeks dolar masih melemah 1,5%

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap) Next Article Jadi Korban Keganasan Dolar AS, Euro Anjlok 2% Lebih

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular