10 Tahun Lagi Uang Sekolah Rp 1 M? Nih Cara Cari Duitnya...

Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
04 February 2020 15:29
10 Tahun Lagi Uang Sekolah Rp 1 M? Nih Cara Cari Duitnya...
Jakarta, CNBC Indonesia - Untuk mendapatkan angka investasi yang cukup besar yaitu Rp 1 miliar untuk anak, tentu kita sangat berharap pada hasil investasi khususnya di pasar modal.

Apalagi, mengingat imbal hasil (return) pasar saham tahun lalu sedang tidak menarik. Masih positif memang Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sepanjang 2019, tetapi tipis saja yaitu 1,7%.

Di instrumen lain yaitu obligasi justru memberi peluang lebih baik tahun ini. Berkaca kinerja 2019, pasar SUN dapat memberi return investasi hingga 13%.

Meskipun tahun ini diprediksi tidak akan 'segila' tahun lalu, pasar obligasi jelas menawarkan return yang lebih baik dan lebih jelas di 2020 dibanding pasar saham yang volatilitasnya lebih tinggi daripada efek surat utang.



Tb. Farash Farich, Head of Investment PT Avrist Asset Management, menilai untuk investasi dengan tujuan pendidikan yang nilai pertumbuhannya sangat tinggi, investasi obligasi memiliki ruang yang lebih jelas meskipun sangat tidak disarankan berinvestasi sepenuh kantong (all out) di instrumen efek utang.

Saran tidak seluruh portofolio, lanjutnya, disebabkan sifat obligasi sebagai pelengkap dari portofolio dan sifatnya yang lebih cocok untuk jangka menengah sedangkan saham memang pasti disarankan untuk investasi jangka panjang.

[Gambas:Video CNBC]




"Pasnya untuk diversifikasi kalau obligasi. Kalau ingin memperbesar portofolio boleh, tetapi dengan tujuan diversifikasi tentu investasi di saham juga jangan sampai nol sama sekali, khususnya untuk pendidikan."

Dia mengatakan dengan kebutuhan dana pendidikan yang tinggi dan dengan berkaca pada return investasi di pasar modal di 2019 yang membuat publik berdecak khawatir, dia menyarankan investor untuk memulai lebih awal investasinya untuk pendidikan dan sekaligus menambah modal awal (capital) di seluruh penjuru portofolionya.

(NEXT)

Untuk diversifikasi investasi, lanjutnya, adalah ke pasar SUN konvensional atau instrumen SBN ritel.

SUN konvensional yang dia maksud adalah pasar reguler, yang biasa dimanfaatkan investor institusi atau berpenghasilan tinggi serta mewajibkan minimal investasi atau skala ekonomis dari setiap aksi jual-beli sebesar Rp 5 miliar per transaksi.

Meskipun dengan minimum 'ticket' masuk yang tinggi, dia mengatakan sejak tahun lalu sudah ada instrumen reksa dana yang dapat ditransaksikan di bursa (exchange traded fund/ETF) berbasis SUN tenor 5 tahun yaitu FR0081 yang dikelola Farash.

Dengan 'diritelkan' melalui instrumen ETF, SUN menjadi lebih terjangkau dengan nilai pembelian minimal hanya 1 lot atau 1 basket ETF tersebut. Dalam 1 lot ETF terdapat 100 unit, yang jika unitnya berada pada harga pasar Rp 1.029, maka nilai minimal investasinya atau 100 unitnya adalah Rp 102.900 ditambah biaya transaksi beli di sekuritas pada umumnya di bursa.

Biaya sekuritas itu berkisar pada rentang 0,15%-0,2% dari nilai transaksi atau paling rendah Rp 5.000, tergantung dari masing-masing sekuritasnya. Dia menambahkan bahwa keuntungan lain membeli SUN melalui instrumen reksa dana -termasuk ETF- adalah potongan pajak kupon yang lebih rendah yaitu 5% dibanding 15% untuk kepemilikan langsung.

Untuk SBN ritel, tahun ini pemerintah sudah memprogramkan penerbitan enam seri efek utangnya untuk ritel publik, yaitu dua kali penerbitan surat utang tabungan ritel (saving bond retail/SBR), dua kali penerbitan sukuk tabungan (ST), satu kali sukuk ritel (SR), dan sekali obligasi negara ritel (ORI). Terdekat, pemerintah akan menawarkan SBR-009 dengan kupon 6,3% per tahun gross mulai 27 Februari dengan tenor 2 tahun.

Kuponnya belum dipotong pajak 15%, yang artinya setiap tahun investor akan menerima kupon 5,355% per tahunnya dan akan dibagikan setiap bulan.

Lain dengan Farash, Sari Insaniwati, perencana keuangan dari PT Mitra Rencana Edukasi, menilai penting bagi orang tua untuk memikirkan tidak hanya uang sekolah yang kebutuhannya relatif kecil, yaitu PAUD, TK, SD, dan SMP.

"Untuk itu, jangan hanya memikirkan pendidikan PAUD, TK, tetapi yang paling penting adalah untuk kuliah. Bukan hanya karena jumlahnya yang besar, tetapi nilai ke depannya juga akan tinggi," ujar Sari di CNBC Indonesia beberapa waktu lalu.

Dia juga menyarankan bagi orang tua untuk segera berhitung dan berinvestasi sedini mungkin, bahkan sejak baru menikah sehingga jangan menunggu sampai si jabang bayi lahir.

Selain memulai, Sari mengingatkan nilai inflasi biaya pendidikan yang tinggi yaitu 15% tentu hanya dapat dikalahkan oleh instrumen investasi yang bisa di atas angka itu, dengan risiko yang terukur juga.

Karena itu, dia menyarankan bagi pasangan muda atau yang baru ingin memulai investasi dengan tujuan pendidikan anak untuk memiliki investasi jangka panjang pada instrumen saham blue chips atau reksa dana saham yang lebih terkelola risikonya dibanding jenis reksa dana saham yang fluktuatif.

Pasar saham atau Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), secara historis memiliki pertumbuhan tahunan majemuk (compounded annual growth rate, CAGR) sejak 2008-2018 atau dari 1.355 pada 2008-6.194 pada 2018 sebesar 16,41%, di atas inflasi biaya pendidikan.

Semakin muda seseorang atau pasangan, maka waktu yang dimiliki untuk mengumpulkan dan menginvestasikan dananya untuk masa depan akan semakin panjang, sehingga alokasikan investasi jangka panjang dalam jumlah yang lebih besar.


TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular