Kontroversi Kebijakan di 100 Hari Menteri Nadiem Makarim

Herdaru Purnomo, CNBC Indonesia
03 February 2020 10:55
Kontroversi Kebijakan di 100 Hari Menteri Nadiem Makarim
Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim menjelaskan dua paket kebijakan di bidang pendidikan yang telah dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Kebijakan pertama dikenal dengan Merdeka Belajar. Sedangkan kebijakan yang baru saja diluncurkan beberapa waktu lalu dikenal dengan Kampus Merdeka.

Kebijakan pertama yaitu berupa pembenahan terhadap sistem pendidikan dasar dan menengah, salah satunya adalah menghapus sistem Ujian Nasional (UN) dan menggantinya dengan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter. Selanjutnya, pada kebijakan kedua memberikan berbagai keleluasaan pada perguruan tinggi tanpa harus berkoordinasi dengan begitu banyak instansi atau kementerian lainnya.

"Jadi seratus hari ini, semua kita analisis mana yang bisa dilakukan sekarang, untuk mulai memotong rantai-rantai sekat-sekat regulasi yang menghalangi proses inovasi di dalam unit pendidikan kita. Lebih lanjut lagi masuk ke peningkatan kualitas guru, kurikulum dan lain-lain, itu masih butuh waktu lebih lama untuk mematangkan konsep merdeka belajar ini," kata Nadiem seperti dikutip, Senin (3/2/2020).

Kontroversi Kebijakan 100 Hari Menteri Nadiem MakarimFoto: Kemitraan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dan Netflix (CNBC Indonesia/Arif Budiansyah)


Strategi Merdeka Belajar merupakan strategi untuk memerdekakan berbagai hal dalam penyelenggaraan pendidikan seperti regulasi yang membebani guru-guru untuk bisa melakukan tugas utama mereka yaitu melaksanakan pembelajaran. Demikian juga dengan Ujian Nasional (UN) yang sifatnya per subjek dan begitu banyak materi sehingga terpaksa melalui metode hafalan.

"Itu bukan salahnya guru melainkan salah kontennya yang begitu banyak. Jadi di sana kita lepas biar sekarang kita fokus ke asesmen kompetensi sehingga tidak ada materi yang harus dihafal melainkan daya analisis," ungkap Nadiem.

Ada empat kebijakan Kampus Merdeka yang disebut Nadiem memberi kemudahan dan keleluasaan kampus.

Pertama, kebebasan untuk membuka program studi (prodi) baru dan membebaskan kemitraan kampus dengan pihak ketiga yang masuk kategori kelas dunia.

Kedua, kemudahan proses reakreditasi yang selama ini begitu rumit dan mengambil waktu para dosen dan rektor sehingga tidak fokus kepada mahasiswanya.

Ketiga, kemudahan bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) untuk "naik kelas" menjadi Perguruan Tinggi Negeri-Badan Hukum (PTN-BH) sehingga memiliki keleluasaan untuk melakukan kerja sama.

"Yang terakhir yang favorit saya dari kampus merdeka adalah upaya pembebasan SKS mahasiswa, di mana tiga dari delapan semester diambil di luar program studi," katanya.


CNN Indonesia menulis, pengamat pendidikan dari Center of Education Regulations and Development Analysis (CERDAS) Indra Charismiadji mengungkapkan paket kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim hanya gimik belaka.

Indra mengatakan itu karena paket kebijakan Nadiem, yakni Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka belum menyentuh Sumber Daya Manusia (SDM) sama sekali. Dalam hal ini SDM yang dimaksud adalah guru dan dosen.

"Kalau hanya seperti ini ya nggak akan berjalan. Apa ya, jadi terkesan hanya seperti gimik, bukan kebijakan strategis. Padahal yang kita butuhkan transformasi nyata," tuturnya.

Kata Indra, guru dan dosen menjadi ujung tombak dari pembangunan pendidikan yang lebih baik. Namun hingga kini permasalahan pemerataan kualitas guru dan dosen masih jadi masalah besar di Indonesia.

"Ini butuh sebuah transformasi. Beliau sudah benar menyebut ada guru penggerak dan dosen penggerak. Tapi guru dan dosen ini tidak muncul dengan sendirinya, harus disiapkan dulu. Nah itu yang belum disentuh. Harusnya mulai dari situ," ujarnya.

Merinci pada kebijakan yang dimaksud, terkait kebebasan perguruan tinggi membuat prodi baru misalnya. Dalam kebijakannya Nadiem memberikan fleksibilitas untuk perguruan tinggi berakreditasi A dan B membuat prodi, asalkan punya kerja sama dengan organisasi kelas dunia.

Dengan situasi pendidikan yang belum dibenahi, kebijakan ini justru bisa memunculkan pemikiran komersil. Indra khawatir nantinya ada oknum perguruan tinggi yang mengakali kebijakan ini untuk jualan prodi ke mahasiswa.

"Misalnya ada perusahaan robotic membuat kurikulum pelajaraan robotics dari anak 1 sampai 12. Dia mencari klien karena for profit. Jadi mereka bakal senang-senang saja tanda tangan MoU dengan universitas di Indonesia misalnya. Karena tujuan mereka jualan kurikulum ini, yang sebenarnya ditujukan untuk anak SD sampai SMA," jelas Indra.

"Nah kan kalau ngelihat aturannya begini, si perguruan tinggi ini bisa lihat. Sudah lah kita kerjasama dengan mereka saja. Ternyata dia ngasih nama prodi robotica. Kan orang tertarik, wah kita akan diajari robotic. Ternyata ini buat anak SD. Tujuannya bukan untuk membangun SDM yang unggul tapi malah jualan," tambahnya lagi.

Indra menilai kebijakan Nadiem dalam memerdekakan proses belajar sebenarnya belum bisa diaplikasikan di Indonesia secara bebas. Hal itu karena budaya di Indonesia berbeda dengan di negara barat. Menurut Indra, dua kebijakan ini masih kental dengan nuansa budaya barat.

"Yang dilakukan Mas Nadiem ini tipikal daya berpikir orang barat. Yang memang akan membutuhkan kemerdekaan, kebebasan untuk berkreasi dan berinovasi," tuturnya. Salah satu kritik juga disampaikan anggota DPR Fraksi Gerindra Sudewo. Masih dilansir dari CNN Indonesia, Ia berpendapat Nadiem seharusnya jangan terburu-buru menghapuskan UN.

"Kenapa? Karena apa yang dirancang bahwa UN akan diubah jadi asesmen ini sesuatu yang belum teruji. Jangan sampai ada satu gagasan yang seolah-olah bagus tapi implementasinya justru lebih buruk dari UN," kata Sudewo.

Sudewo mempertanyakan, jika UN dihapuskan sistem yang mengatur seleksi sekolah lanjutan akan seperti apa?

Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter yang akan menggantikan UN juga dinilai harus bebas dari subjektivitas. Jika tidak jelas, ia khawatir akan muncul tindakan anarkis di lingkungan masyarakat.

"Masyarakat jadi curigaan kepada sekolah, menimbulkan anarkis. Kecemburuan ini bisa saja terjadi karena merasa anaknya pintar, baik, tapi nilai yang didapat tidak sesuai, tidak masuk sekolah favorit," kata Sudewo.

Dia mengatakan kritiknya ini bukan tidak berdasar. Ia menceritakan kisahnya ketika masih duduk di bangku SMP. Kala itu merupakan tahun pertama Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) dilangsungkan.

Sudewo mengatakan jika tidak ada Ebtanas, ia tidak mungkin bisa masuk ke SMA favorit di wilayah tempat tinggalnya dulu.

"Sebelum 1985 [sebelum ada Ebtanas] di tengah lingkungan saya, [dikatakan] anak ini bisa masuk SMA [favorit] karena unsur apa? Karena unsur uang. Karena ada akses. Bukan karena ini [otak]," cerita Sudewo.

Ia juga menyebutkan sejumlah permasalahan konkret yang masih dialami sekolah-sekolah di Indonesia. Seperti jumlah guru yang kurang hingga akses pendidikan yang belum rata.

"Jumlah guru saja kurang kok. Sesuatu yang tidak masuk akal. Jangan buat mimpi tapi susah dilaksanakan. Sumber daya manusia tidak memadai. Jangan buat kecemasan," tambahnya.



[Gambas:Video CNBC]




Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular