Kontroversi Kebijakan di 100 Hari Menteri Nadiem Makarim

Herdaru Purnomo, CNBC Indonesia
03 February 2020 10:55
Tuai Kontroversi
Foto: Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Anwar Makarim, meninjau langsung kondisi sekolah rusak karena angin dan hujan deras di Sekolah Dasar (SD) Negeri Cirimekar 02, Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Senin (6/1/2020). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
CNN Indonesia menulis, pengamat pendidikan dari Center of Education Regulations and Development Analysis (CERDAS) Indra Charismiadji mengungkapkan paket kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim hanya gimik belaka.

Indra mengatakan itu karena paket kebijakan Nadiem, yakni Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka belum menyentuh Sumber Daya Manusia (SDM) sama sekali. Dalam hal ini SDM yang dimaksud adalah guru dan dosen.

"Kalau hanya seperti ini ya nggak akan berjalan. Apa ya, jadi terkesan hanya seperti gimik, bukan kebijakan strategis. Padahal yang kita butuhkan transformasi nyata," tuturnya.

Kata Indra, guru dan dosen menjadi ujung tombak dari pembangunan pendidikan yang lebih baik. Namun hingga kini permasalahan pemerataan kualitas guru dan dosen masih jadi masalah besar di Indonesia.

"Ini butuh sebuah transformasi. Beliau sudah benar menyebut ada guru penggerak dan dosen penggerak. Tapi guru dan dosen ini tidak muncul dengan sendirinya, harus disiapkan dulu. Nah itu yang belum disentuh. Harusnya mulai dari situ," ujarnya.

Merinci pada kebijakan yang dimaksud, terkait kebebasan perguruan tinggi membuat prodi baru misalnya. Dalam kebijakannya Nadiem memberikan fleksibilitas untuk perguruan tinggi berakreditasi A dan B membuat prodi, asalkan punya kerja sama dengan organisasi kelas dunia.

Dengan situasi pendidikan yang belum dibenahi, kebijakan ini justru bisa memunculkan pemikiran komersil. Indra khawatir nantinya ada oknum perguruan tinggi yang mengakali kebijakan ini untuk jualan prodi ke mahasiswa.

"Misalnya ada perusahaan robotic membuat kurikulum pelajaraan robotics dari anak 1 sampai 12. Dia mencari klien karena for profit. Jadi mereka bakal senang-senang saja tanda tangan MoU dengan universitas di Indonesia misalnya. Karena tujuan mereka jualan kurikulum ini, yang sebenarnya ditujukan untuk anak SD sampai SMA," jelas Indra.

"Nah kan kalau ngelihat aturannya begini, si perguruan tinggi ini bisa lihat. Sudah lah kita kerjasama dengan mereka saja. Ternyata dia ngasih nama prodi robotica. Kan orang tertarik, wah kita akan diajari robotic. Ternyata ini buat anak SD. Tujuannya bukan untuk membangun SDM yang unggul tapi malah jualan," tambahnya lagi.

Indra menilai kebijakan Nadiem dalam memerdekakan proses belajar sebenarnya belum bisa diaplikasikan di Indonesia secara bebas. Hal itu karena budaya di Indonesia berbeda dengan di negara barat. Menurut Indra, dua kebijakan ini masih kental dengan nuansa budaya barat.

"Yang dilakukan Mas Nadiem ini tipikal daya berpikir orang barat. Yang memang akan membutuhkan kemerdekaan, kebebasan untuk berkreasi dan berinovasi," tuturnya. (dru)
Next Page
DPR Bingung
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular