Subsidi LPG 3 KG Makin Bikin Pusing, Apa Solusinya?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
31 January 2020 18:11
Subsidi LPG 3 KG Makin Bikin Pusing, Apa Solusinya?
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Tiap tahun konsumsi LPG tanah air terus meningkat dan membuat subsidi jadi bengkak karena masih harus impor. Indonesia harus benar-benar serius menggarap sektor gas yang dimiliki mengingat RI kaya akan sumber daya alam ini dan potensi penggunaannya di berbagai bidang.

Konsumsi LPG dalam negeri terus mencatatkan pertumbuhan. Pada 2016-2017 konsumsi tumbuh 4,8%, tahun 2017-2018 volumenya naik 3,8% dan tahun 2018-2019 jumlahnya kembali naik 4,8%.

Untuk LPG ukuran tiga kilogram yang sering disebut LPG melon, pemerintah menganggarkan subsidi untuk masyarakat dengan daya beli rendah agar mampu membeli LPG melon untuk kebutuhan sehari-hari.

Pada 2017 kuota subsidi LPG mencapai 6,2 juta metrik ton. Pada 2018 kuotanya naik menjadi 6,53 juta metrik ton. Terakhir tahun lalu, kuota subsidi juga naik lagi menjadi 6,97 juta metrik ton.

[Gambas:Video CNBC]


Sepanjang tahun 2019 pemerintah telah mengeluarkan subsidi untuk LPG melon sebesar Rp 42,47 triliun. Beban pemerintah untuk memberikan subsidi jadi meningkat, karena volume konsumsinya terus meningkat.

Beban juga meningkat karena dua faktor lain. Pertama subsidi yang tidak tepat sasaran. Artinya LPG 3 kg tidak hanya dibeli oleh kalangan tak mampu saja, tetapi juga dibeli kalangan yang tergolong mampu.

Kedua, LPG berasal dari minyak. Sementara Indonesia masih mengimpor minyak, baik yang mentah maupun yang sudah diolah. Sampai dengan 2019, Indonesia masih mengimpor 75% dari total kebutuhan LPG.



Dua hal di atas semakin memberatkan pos subsidi pemerintah. Bahkan ada wacana pemerintah akan mencabut subsidi gas 3 kg. Namun hal tersebut langsung ditepis langsung oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif. "Itu tidak sepenuhnya benar" katanya.

Dengan populasi penduduk yang terus tumbuh, lebih dari 260 juta masyarakat Indonesia membutuhkan bahan bakar tiap harinya untuk berbagai aktivitas mulai dari memasak hingga bepergian.

Konsumsi bahan bakar masyarakat Indonesia masih akan terus tumbuh ke depan seiring dengan pertumbuhan populasi dan adanya bonus demografi yang dimiliki Indonesia. Kalau masalah ini tak segera diselesaikan, maka Indonesia bisa benar-benar tekor.

Setidaknya ada dua upaya utama yang perlu dilakukan pemerintah. Pertama, subsidi jangan dicabut karena masih ada masyarakat dengan daya beli lemah yang sangat membutuhkan bantuan.

Subsidi harus tepat sasaran agar dampak ekonomi dari subsidi dapat dirasakan secara optimal. Pemerintah perlu melakukan melakukan seleksi dengan ketat kepada siapa saja yang berhak menerima subsidi gas ini.

Tak sampai di sini saja, pemerintah harus melakukan pemutakhiran pada database, merancang skema distribusi yang efisien dan melakukan fungsi pengawasan secara ketat. Kedua, pemerintah juga perlu mencari alternatif lain pengganti LPG yang lebih efisien secara biaya dan feasible untuk Indonesia. Salah satunya adalah gas.
Jangan lupa bahwa RI juga punya cadangan gas yang besar. Bahkan terbesar kedua setelah China di kawasan Asia Pasifik. Menurut BP Energi Statistics, Indonesia memiliki cadangan gas mencapai 2,8 triliun meter kubik.



Selain Indonesia kaya akan sumber daya alam ini, harga gas terutama untuk jenis Liquified Natural Gas (LNG) lebih miring ketimbang harga LPG. Satu alasannya adalah harga LPG sangat bergantung dari harga minyak, sementara harga LNG tergantung pada harga gas alam.

Selain lebih murah dibanding harga minyak, harga gas juga cenderung lebih stabil ketimbang harga minyak yang sering mengalami fluktuasi tajam (volatil). Harga yang lebih murah jadi salah satu keunggulan lain dari penggunaan gas. 
Beban Subsidi LPG Melon Membengkak, Apa Solusinya?

Saat ini, konsumsi gas di tanah air paling banyak diserap untuk sektor industri dan pembangkit listrik. Konsumsi gas di RI paling banyak diserap di industri manufaktur, pupuk dan pembangkit listrik. Jika ditotal serapannya mencapai 76% dari total konsumsi gas RI pada 2018.



Untuk dapat beralih dari LPG ke gas, Indonesia memiliki dua tantangan utama. Pertama, walau kaya akan sumber daya alam berupa gas, produksi gas Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan.

Pada 2014 lifting gas bumi RI per hari mencapai 1.206 mboepd. Tahun lalu lifting gas bumi anjlok menjadi 1.060 mboepd. Artinya dalam kurun waktu lima tahun terakhir lifting minyak tanah air turun 12,8%. Padahal konsumsi gas terus naik. Hal ini harus diwaspadai benar agar jangan sampai Indonesia juga impor gas besar-besaran seperti impor minyak. Makin tekor nanti.



Tantangan kedua terkait dengan jalur distribusinya. Jarak dari sumber gas bumi ke konsumen akhir biasanya jauh, sehingga membutuhkan infrastruktur berupa pipa untuk dapat menyalurkan gas yang diproduksi.

Perusahaan Gas Negara (PGN) merupakan perusahaan plat merah yang bergerak di sektor gas dan saat ini telah menyuplai gas ke lebih dari 170 ribu rumah tangga melalui jaringan yang disebut sebagai jargas.

Namun belum semua wilayah sudah menggunakan pasokan gas ini. Saat ini pelanggan gas bumi PGN tersebar di berbagai wilayah mulai dari Jawa Barat, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, DKI Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Utara dan Sorong, Papua Barat.

Untuk semakin memperluas jangkauan, maka jargas harus terus dibangun. Dari tahun ke tahun sambungan jargas terus bertambah. Kementerian ESDM menargetkan pada 2020 sambungan jargas mencapai 804 ribu sambungan rumah tangga (SR).



Kompor Listrik

Alternatif lain selain gas adalah electric heating atau bahasa simpelnya adalah kompor listrik. Ada setidaknya tiga keuntungan menggunakan kompor listrik. Pertama harganya yang sekarang sudah terjangkau. Satu unit kompor listrik ditawarkan dengan harga yang bervariasi, mulai dari Rp 300.000 hingga jutaan rupiah tergantung kebutuhan.

Keuntungan kedua adalah dari segi keamanan. Jika dibandingkan dengan gas dan LPG kompor listrik dalam keadaan normal relatif lebih aman karena tak perlu takut tejadi kebocoran seperti yang sering ditemukan jika menggunakan gas atau LPG.

Keuntungan ketiga adalah lebih ramah lingkungan karena emisi yang lebih rendah. Memang dalam menggunakan kompor listrik juga memiliki kekurangan seperti membutuhkan daya listrik yang relatif lebih besar dan tak semua piranti rumah tangga cocok dengan kompor ini. Namun yang perlu dicatat adalah komponen utama kompor ini adalah listrik.

Pembangkit listrik di Indonesia kebanyakan adalah pembangkit termal yang menggunakan batu bara. Indonesia sendiri kaya akan sumber daya ini dan menjadi eksportir batu bara global. Jadi keuntungan lainnya yang juga dapat jadi pertimbangan adalah dapat mengurangi impor migas.

Setiap opsi memang memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Namun dua alternatif di atas patut dipertimbangkan sebagai bentuk upaya untuk menurunkan beban subsidi serta beban impor yang selama ini ditanggung pemerintah.





TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular