Pasokan Sampai Kilang, Jalan Panjang Pertamina ke Green BBM

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
30 January 2020 12:19
Pertamina menuju BBM lebih hijau, namun tantangannya tak semudah membalik tangan.
Foto: REUTERS/Darren Whiteside
Jakarta, CNBC Indonesia - PT Pertamina (Persero) tengah berupaya beralih menuju penggunaan bahan bakar ramah lingkungan, mulai dari implementasi biodesel, green refinery, hingga pembangunan kilang ramah lingkungan. Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan banyak kendala yang Pertamina hadapi untuk menuju energi bersih.

Akhir tahun lalu pemerintah sudah mulai menjalankan implementasi biodiesel (B30). Meksi baru dimuali, namun Presiden sudah memerintahkan agar segera dikembangkan menjadi B50 pada tahun 2021. Program biodiesel akan terus dikembangkan hingga ke B100.

Melalui mandatori biodiesel, pemerintah bisa menekan impor bahan bakar minyak (BBM) sehingga defisit neraca perdagangan bisa membaik. Penghematan devisa dari implementasi B20 dan B30 yakni di tahun 2018 sebesar Rp 26,67 triliun, tahun 2019 sebesar 43,81 triliun, dan tahun ini diperkirakan mencapai Rp 63,39 triliun.

Sayangnya menurut Nicke, pasokan minyak sawit mentah atau CPO hanya cukup sampai ke B50. "Passokan CPO hanya mencukupi sampai B50, untuk memenuhi kebutuhan harus dilakukan re-planting dari CPO. Pertamina berencana sampai ke B100," ungkap Nicke di Komisi VII DPR RI, Rabu, (29/01/2020).


[Gambas:Video CNBC]




Demi keberlangsungan green diesel, Pertamina meminta dukungan dalam bentuk domestic market obligation (DMO), baik dalam volume maupun harga. Menurut Nicke, kebutuhan minyak sawit untuk B100 seperti halnya Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang tengah mengerjakan proyek 35.000 MW yang membutuhkan banyak pasokan batu bara. Proyek ini mendapat dukungan dalam bentuk DMO batu bara.

Lebih lanjut dirinya menerangkan batas bawah yang terdiri dari biaya produksi dan margin akan terus menjaga keberlangsungan produsen crude palm oil (CPO). Lalu batas atas sesuai dengan harga pasar untuk menjaga keberlangsungan bisnis Pertamina.""Suport komisi VII untuk aturan DMO," terangnya.



Sawit Diboikot, Pertamina Putus dengan ENI
Penggunaan minyak sawit untuk kebutuhan bahan bakar minyak ternyata tidak mulus-mulus saja. Eropa memboikot minyak sawit karena dianggap merusak lingkungan. Akibatnya kerjasama dengan raksasa migas Italia, Eni S.p.A untuk mengembangkan kilang bahan bakar ramah lingkungan di Indonesia sudah putus alias tidak dilanjut.

"Dalam perjalanannya ada penolakan di Eropa, karena ada keharusan sertifikasi produsen CPO dan kita belum bisa memenuhi," ujar Nicke Widyawati.

Untuk pengembangan Green Refinery di Indonesia, semula direncanakan untuk dikembangkan di kilang Plaju dan memproduksi 100% biodiesel CPO. Rencananya, Pertamina menggandeng Eni karena perusahaan migas Italia ini sudah teruji dan berpengalaman sejak 2004.

Sempat ada tarik menarik apakah semua proyek ditarik ke Indonesia untuk mengatasi protes, namun Eni mendapat teguran dari pemerintahnya. Padahal, kata Nicke, secara logika jika proyek berjalan di Indonesia dan diolah di sini maka segala aspeknya akan ditanggung Indonesia.

Akhirnya, terpaksa kerja sama diputuskan dan kini Pertamina menggandeng UOP dari Amerika Serikat. Nicke menjelaskan melalui kerjasama dengan migas Amerika UOP kapasitas CPO yang akan diolah sebesar 20.000 barel/hari atau 1 juta ton/tahun. Menghasilkan produk green diesel 1 juta kilo liter per tahun sehingga bisa menambah produksi BBM nasional.


(gus) Next Article Tolonglah Bu Sri Mulyani, Beri Sawit Insentif 20 T

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular