RI Butuh Rp 200 T Setahun Buat Kejar Target Energi Baru 23%

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
24 January 2020 20:19
RI dinilai butuh investasi sebesar Rp 200 triliun setahun jika ingin kejar target energi baru 23%
Foto: Dok. ESDM
Jakarta, CNBC Indonesia - Institute for Essential Services Reform (IESR) menyebut, untuk mencapai target bauran energi 23% di tahun 2025 dibutuhkan investasi sebesar Rp 1.000 triliun enam tahun ke depan Sehingga dalam satu tahun setidaknya dibutuhkan investasi sebesar Rp 150 - 200 triliun.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menerangkan dari kebutuhan tersebut Badan Usaha Milik Negara (BUMN) hanya berkontribusi 20% saja. "Sehingga sisanya 80% berasal dari investor, baik swasta domestik dan asing," ungkapnya, Jumat, (24/01/2020).

Peneliti IESR Marlystia Citraningrum menyayangkan kondisi objektif di Indonesia tidak menarik bagi investor. Tahun 2016 regulasi mengenai tarif listrik energi baru terbarukan (Permen ESDM No. 19/2016 dan Permen ESDM No. 12/2017) membuat investor tertarik berinvestasi.

Lalu di tahun 2017 aturan tersebut dibatalkan dan diganti dengan Permen ESDM No. 50/2017. Tahun 2017-2019 terjadi stagnansi investasi energi baru terbarukan di Indonesia. Lalu tahun 2019 banyak pengembang yang beralih atau berencana beralih ke negara lain, misalnya saja Vietnam.

[Gambas:Video CNBC]




"Dulu tahun 2016 mengenai feed-in-tarif yang PLTS, selang beberapa bulan dengan aturan baru. Selama tiga tahun terakhir tidak naik signifikan, biaya pokok pembangkit disamakan dengan PLN yang batu bara sehingga nggak bisa bersaing," jelasnya.

Lebih lanjut dirinya mengatakan ada tiga hal yang bisa menarik investasi pengembang. Pertama,tarif yang memenuhi keekonomian, termasuk Internal Rate of Return (IRR) yang wajar. Tahap awal melalui feed-in-tariff, bukan ceiling tariff akan menjadi daya tarik untuk investor.

Dirinya menerangkan, penetapan feed-in-tariff sebaiknya diikuti dengan penetapan kuota dan staging dalam periode tertentu. Kedua, kepastian regulasi dan prosedur, termasuk untuk proses pengadaan dan kewajiban PLN sebagai off-taker. Terakhir, konsistensi perjanjian (PPA), termasuk alokasi risiko yang berimbang dan standar PPA yang sesuai dengan standar internasional.

"Yang penting tarif yang wajar, profit bukan yang utama, pengembang mendapatkan IRR 12-15% sudah cukup," imbuhnya.


(gus) Next Article Seperti Eropa, Ini Penampakan Kebun Angin Terbesar Kedua RI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular