
Irfan Setiaputra Ogah Garuda Jadi Maskapai Murahan
Muhammad Choirul Anwar, CNBC Indonesia
22 January 2020 20:31

Jakarta, CNBC Indonesia - Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Irfan Setiaputra menanggapi isu harga tiket pesawat mahal. Dia mengakui, ada banyak tekanan dari stakeholder soal harga.
"Harga tinggi atau rendah itu mohon dipahami itu pasti manajemen siapapun punya justifikasi, ya kan," kata Irfan ketika dihubungi awak media di Jakarta, Rabu (22/1/20).
Ia tak memungkiri bahwa mahalnya harga pesawat akan menimbulkan korban, dalam hal ini memberatkan masyarakat. Tetapi di sisi lain, jika harga terlalu murah, Garuda yang akan jadi korban.
"Kalau perseroan minus dan berdarah-darah terus apakah perusahaan akan jalan? Saya enggak ngomong ini saya nggak dapat tantiem, tapi nanti bisa mengorbankan segala macam termasuk layanan," urainya.
Yang paling mengerikan, menurutnya adalah jika sampai harga tiket yang dipatok murah berdampak pada kompromi terhadap aspek keamanan dan keselamatan. Padahal, dia menegaskan bahwa yang harus diutamakan dalam industri penerbangan adalah safety.
"Mau ceritanya apapun, safety. Kita tahu Garuda adalah sebuah perusahaan penerbangan yang menekankan itu dan ketika saya dapat amanah ini, saya tetap bertahan sama itu," tuturnya.
Karenanya, dia cenderung menginginkan harga yang masuk akal.
"Jadi kita musti ketemu satu titik harga itu harus reasonable. Reasonable ini, nggak semua orang bisa naik Garuda, tapi buat kita perusahaan ini bisa untung, mengurangi cicilan, dan mengembangkan usaha," katanya.
Sebagai seorang bos di BUMN, dia mengaku malu kalau sampai keuangan Garuda kembang kempis. Apalagi jika harus disuntik modal terus menerus oleh negara.
Ia menilai saat ini mulai banyak penumpang yang tak mempedulikan harga. Segmentasi tersebut yang jadi sasaran Garuda Indonesia.
"Terutama yang dibayarin kantor. Ya saya akan bicara juga dengan corporate-corporate yang untung di ratusan juta dolar. Kok ngotot bener naik Garuda murahan," katanya.
Irfan enggan banyak berkomentar mengenai perkara pemutusan hubungan kerja sama manajemen (KSM) dengan Sriwijaya Air.
(hoi/hoi) Next Article Sowan ke Menhub, Bos Baru Garuda Bahas Harga Tiket Pesawat
"Harga tinggi atau rendah itu mohon dipahami itu pasti manajemen siapapun punya justifikasi, ya kan," kata Irfan ketika dihubungi awak media di Jakarta, Rabu (22/1/20).
Ia tak memungkiri bahwa mahalnya harga pesawat akan menimbulkan korban, dalam hal ini memberatkan masyarakat. Tetapi di sisi lain, jika harga terlalu murah, Garuda yang akan jadi korban.
Yang paling mengerikan, menurutnya adalah jika sampai harga tiket yang dipatok murah berdampak pada kompromi terhadap aspek keamanan dan keselamatan. Padahal, dia menegaskan bahwa yang harus diutamakan dalam industri penerbangan adalah safety.
"Mau ceritanya apapun, safety. Kita tahu Garuda adalah sebuah perusahaan penerbangan yang menekankan itu dan ketika saya dapat amanah ini, saya tetap bertahan sama itu," tuturnya.
Karenanya, dia cenderung menginginkan harga yang masuk akal.
"Jadi kita musti ketemu satu titik harga itu harus reasonable. Reasonable ini, nggak semua orang bisa naik Garuda, tapi buat kita perusahaan ini bisa untung, mengurangi cicilan, dan mengembangkan usaha," katanya.
Sebagai seorang bos di BUMN, dia mengaku malu kalau sampai keuangan Garuda kembang kempis. Apalagi jika harus disuntik modal terus menerus oleh negara.
Ia menilai saat ini mulai banyak penumpang yang tak mempedulikan harga. Segmentasi tersebut yang jadi sasaran Garuda Indonesia.
"Terutama yang dibayarin kantor. Ya saya akan bicara juga dengan corporate-corporate yang untung di ratusan juta dolar. Kok ngotot bener naik Garuda murahan," katanya.
Garuda Cerai dengan Sriwijaya
Irfan enggan banyak berkomentar mengenai perkara pemutusan hubungan kerja sama manajemen (KSM) dengan Sriwijaya Air.
"Saya minta maaf, khusus soal Sriwijaya saya tidak mendalami. Tapi dengan maskapai lain ini kita berkompetisi lah ya, tapi mustinya di banyak sisi kita bisa kerja sama," ungkap Irfan.
Kompetisi yang dimaksud pun harus merupakan kompetisi sehat. Artinya, persaingan tidak bisa dilakukan dengan cara saling menggembosi kekuatan para pesaingnya.
"Kalau semata-mata kompetisi, nanti akan saling makan satu sama lain. Sehingga yang dikhawatirkan kompetisi begitu ketat, jadinya komoditasisasi dari jasa ini," katanya.
Sehingga ia khawatir akan ada dampak pada layanan dan aspek safety. Bisnis penerbangan, dia menegaskan, beda dengan menjual teh atau cashing handphone.
"Saya kan nggak ajarkan orang berantem. Kapan naik Garuda itu boleh-boleh saja, sehat kan," urainya.
Jadi rasanya nggak perlu berantem, terutama dengan maskapai lokal itu menurut saya perlu berkompetisi dan berkolaborasi. Saya tidak terlalu setuju dengan adanya kartel," katanya.
Di sisi lain, secara internal dia juga akan memetakan potensi pengembangan bisnis agar dapat penghasilan tambahan di luar tiket.
"Ke depan, pasarnya pesawat pertama tentu saja revenue dapat dari tiket, tapi kan Anda kan juga tahu di balik tempat duduk ada bagasi, apakah memungkinkan, apakah hari ini kondisi kargo sudah optimum atau masih belum, jadi ada pendapatan kargo," kata Irfan.
Peluang lain seperti iklan dan dukungan terhadap pariwisata juga akan dimaksimalkan. Dia mengaku ingin menjadikan Garuda sebagai ujung tombak pariwisata Indonesia.
"Misalnya gini, dulu ada airline yang mendapatkan tambahan penghasilan dengan menuliskan badan pesawatnya ditulis promosi soal Piala Dunia. Saya nggak tahu apa secara regulasi itu diperbolehkan, tapi kita mesti terus memikirkan cara-cara baru untuk mendapatkan penghasilan lain," katanya..
(hoi/hoi) Next Article Sowan ke Menhub, Bos Baru Garuda Bahas Harga Tiket Pesawat
Most Popular