
Internasional
Gawat! 40% Negara Dunia Bakal Dilanda 'Kekacauan' di 2020?
Wangi Sinintya Mangkuto, CNBC Indonesia
17 January 2020 12:38

Jakarta, CNBC Indonesia - Protes di kalangan masyarakat sipil terhadap kebijakan negara diprediksi akan terjadi di 2020 ini.
Bahkan dalam penelitian yang dibuat Verisk Maplecroft, sebuah perusahaan konsultan berbasis di Singapura, 40% negara di dunia akan dilanda ketidakstabilan sipil di tahun ini.
Dari 195 negara, termasuk Vatikan dan Palestina, kekacauan setidaknya diklaim akan terjadi di 75 negara. Angka ini naik dari sebelumnya 47 negara di 2019.
Protes di wilayah seperti Hong Kong dan Chile, juga akan berlanjut. Bahkan dalam catatan tersebut, keduanya menjadi wilayah paling riskan protes.
Kerusuhan di Hong Kong telah terjadi selama 7 bulan ini. Kerusuhan terjadi karena penolakan akan RUU Ekstradisi, terkait pemindahan pelaku kriminal ke China, dan berujung ke tuntutan kemerdekaan Hong Kong.
Sementara pemberontakan di Chile terjadi sejak 14 Oktober 2019 lalu, di mana 29 orang tewas. Di kawasan Amerika Latin, Chile dianggap sebagai negara yang paling sejahtera.
"Kita semua harus bekerja keras di 2020," kata Miha Hribernik, Kepala Wawasan Risiko Asia yang berbasis di Singapura untuk Verisk Maplecroft dikutip dari South China Morning Post.
"Kemarahan yang membuat banyak pemerintah lengah tahun lalu tidak akan ke mana-mana (tetap terjadi) dan kita semua (harus) beradaptasi dengan lebih baik."
Selain itu, protes keras juga akan meningkat di Turki, Saudi Arabia, Rusia dan Thailand, Brasil. Menurut penelitian ini akan ada peningkatan eskalasi 12 bulan mendatang.
"Kemarahan terpendam telah meluap menjadi protes jalanan selama setahun terakhir dan mengejutkan sebagian besar pemerintah," tulis laporan itu lagi.
"Sebagian besar keluhan sangat mengakar dan akan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengatasinya."
Masih dalam catatan yang sama, riset ini pun mengidentifikasi 10 negara yang paling berisiko mengalami kerusuhan. Antara lain Venezuela, Iran, Libya, Guinea, Nigeria, Pakistan, Bangladesh, Chili, Palestina, dan Ethiopia.
"Alasan di balik peningkatan ini kompleks dan didorong oleh campuran faktor domestik," kata Hribernik lagi.
"Ini termasuk pendapatan yang mandek dan meningkatnya ketidaksetaraan dalam dekade setelah krisis ekonomi global, hilangnya kepercayaan pada elit politik tradisional, korupsi, dan erosi hak-hak sipil dan politik."
(sef/sef) Next Article Waspada! Demo Marak di Penjuru Dunia, Apa Sebabnya?
Bahkan dalam penelitian yang dibuat Verisk Maplecroft, sebuah perusahaan konsultan berbasis di Singapura, 40% negara di dunia akan dilanda ketidakstabilan sipil di tahun ini.
Dari 195 negara, termasuk Vatikan dan Palestina, kekacauan setidaknya diklaim akan terjadi di 75 negara. Angka ini naik dari sebelumnya 47 negara di 2019.
Kerusuhan di Hong Kong telah terjadi selama 7 bulan ini. Kerusuhan terjadi karena penolakan akan RUU Ekstradisi, terkait pemindahan pelaku kriminal ke China, dan berujung ke tuntutan kemerdekaan Hong Kong.
Sementara pemberontakan di Chile terjadi sejak 14 Oktober 2019 lalu, di mana 29 orang tewas. Di kawasan Amerika Latin, Chile dianggap sebagai negara yang paling sejahtera.
"Kita semua harus bekerja keras di 2020," kata Miha Hribernik, Kepala Wawasan Risiko Asia yang berbasis di Singapura untuk Verisk Maplecroft dikutip dari South China Morning Post.
"Kemarahan yang membuat banyak pemerintah lengah tahun lalu tidak akan ke mana-mana (tetap terjadi) dan kita semua (harus) beradaptasi dengan lebih baik."
Selain itu, protes keras juga akan meningkat di Turki, Saudi Arabia, Rusia dan Thailand, Brasil. Menurut penelitian ini akan ada peningkatan eskalasi 12 bulan mendatang.
"Kemarahan terpendam telah meluap menjadi protes jalanan selama setahun terakhir dan mengejutkan sebagian besar pemerintah," tulis laporan itu lagi.
"Sebagian besar keluhan sangat mengakar dan akan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengatasinya."
Masih dalam catatan yang sama, riset ini pun mengidentifikasi 10 negara yang paling berisiko mengalami kerusuhan. Antara lain Venezuela, Iran, Libya, Guinea, Nigeria, Pakistan, Bangladesh, Chili, Palestina, dan Ethiopia.
"Alasan di balik peningkatan ini kompleks dan didorong oleh campuran faktor domestik," kata Hribernik lagi.
"Ini termasuk pendapatan yang mandek dan meningkatnya ketidaksetaraan dalam dekade setelah krisis ekonomi global, hilangnya kepercayaan pada elit politik tradisional, korupsi, dan erosi hak-hak sipil dan politik."
(sef/sef) Next Article Waspada! Demo Marak di Penjuru Dunia, Apa Sebabnya?
Most Popular