
Apakah Indonesia Bisa Lepas Dari 'Kecanduan' Garam Impor?
Efrem Siregar, CNBC Indonesia
14 January 2020 11:36

Jakarta, CNBC Indonesia - Impor garam menjadi sebuah rutinitas di Tanah Air. Khusus untuk tahun ini, pemerintah sudah menetapkan alokasi kuota impor garam industri sebesar 2,92 juta ton atau naik 6% dari alokasi tahun lalu.
Garam impor selama ini dipakai industri sebagai bahan baku yang disyaratkan berspesifikasi tinggi. Industri makanan dan minuman misalnya butuh garam NaCl dengan kadar di atas 97%. Selain itu, garam impor digunakan juga oleh industri pulp dan kertas, farmasi, dan lain-lain.
Direktur Industri Kimia Hulu Kementerian Perindustrian Fridy Juwono mengatakan kualitas garam lokal saat ini rata-rata masih di bawah spesifikasi industri. Ini juga yang menyebabkan Indonesia masih ketergantungan dengan garam impor.
Menurut Fridy, industri tak mungkin dipaksa memakai garam di bawah spesifikasi untuk menjaga mutu produksi, terutama industri yang berorientasi ekspor seperti industri kertas dan makanan dan minuman (mamin).
"Ini yang masalah di proses produksi. Contoh mi instan, kalau makan mi instan, itu bumbunya lengket, menggumpal, itu nggak boleh. Itu nggak diinginkan," kata Fridy kepada CNBC Indonesia, Senin (13/1/2020).
Rakortas di Kemenko Perekonomian sudah menyetujui usulan Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Mamin) untuk impor garam industri sebanyak 543 ribu ton dari semula 595 ribu ton.
Namun, rencana impor garam industri menimbulkan polemik di kalangan petani garam lokal. Sekretaris Jenderal Aliansi Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (Sekjen A2PGRI) Faisal Badawi mengatakan produksi garam dalam negeri saat ini belum terserap penuh oleh industri.
"Sekarang harga garam lokal hancur-hancuran. Nggak ada harganya. Nggak laku, kasarannya. HPP (Harga Pokok Produksi) hitungan teman-teman sekitar Rp 900-an per kg, sekarang harga jual ada yang Rp 200 per kg, ada yang Rp 300 per kg," ungkap Faisal.
Menurut dia, ada 1,1 juta ton stok produksi garam lokal yang menunggu pembeli. Ia khawatir bila terlalu lama disimpan di gudang maka stok akan makin melimpah, dan harga makin menukik turun.
Namun, soal keberpihakan terhadap petani, Fridy mengatakan pemerintah sudah menyerap sekitar 700 ribu ton garam petani dalam waktu 5 bulan terakhir sejak MoU pada Agustus 2019 lalu. MoU itu menyepakati pemerintah menyerap 1,1 juta ton garam petani dari bulan Agustus 2019 hingga musim panen berikutnya yang jatuh pada Juli 2020.
Ketua Umum Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Tony Tanduk menegaskan, pengusaha tak mempersoalkan apakah harus memakai garam impor atau lokal.
Menurut Tony, selama harga garam lokal bersaing dan berkualitas baik, industri akan memakainya. Di sisi lain, ketersediaan garam lokal yang belum mencukupi sehingga impor tak terelakkan.
"Melimpah di mana? Makanya perlu dicek dimana barangnya. Nanti kasih tahu aja," kata Tony kepada CNBC Indonesia ketika dikonfirmasi besarnya stok produksi garam dalam lokal.
"Yang dibutuhkan itu kualitas sama harga. Kalau lokal memenuhi, ya lokal, tapi sementara ini masih diimpor," sebut Tony.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang mengatakan, impor garam terpaksa dilakukan karena industri dalam negeri memang membutuhkan. Impor menjadi pilihan untuk menjaga pasokan bahan baku industri.
"Selama pasokan garam dan gula untuk industri yang mempunyai requirement (persyaratan) tinggi untuk produk produknya mau tidak mau terpaksa kita harus impor karena kita tidak boleh mematikan industri itu sendiri hanya karena tidak mempunyai bahan baku," kata Agus di kantornya, kemarin.
Tudingan garam lokal kurang berkualitas dibantah oleh Faisal. Menurut dia, tak tertutup kemungkinan hal ini berkaitan dengan isu kartel garam impor.
"Ini apa hanya sebagai alibi [alasan], bahwa ini nggak masuk spesifikasi? [Atau] ini nggak masuk spesifikasi, untuk mengejar margin dan lainnya? Itu gak ngerti," kata Faisal.
Ia menilai alasan tersebut seperti sudah menjadi tameng dan selalu digunakan ketika impor garam akan dilakukan. Sehingga, impor garam seolah menjadi kebiasaan yang sulit dihentikan.
(miq/miq) Next Article Ternyata RI Impor Garam 2,6 Juta Ton di 2019
Garam impor selama ini dipakai industri sebagai bahan baku yang disyaratkan berspesifikasi tinggi. Industri makanan dan minuman misalnya butuh garam NaCl dengan kadar di atas 97%. Selain itu, garam impor digunakan juga oleh industri pulp dan kertas, farmasi, dan lain-lain.
Direktur Industri Kimia Hulu Kementerian Perindustrian Fridy Juwono mengatakan kualitas garam lokal saat ini rata-rata masih di bawah spesifikasi industri. Ini juga yang menyebabkan Indonesia masih ketergantungan dengan garam impor.
"Ini yang masalah di proses produksi. Contoh mi instan, kalau makan mi instan, itu bumbunya lengket, menggumpal, itu nggak boleh. Itu nggak diinginkan," kata Fridy kepada CNBC Indonesia, Senin (13/1/2020).
Rakortas di Kemenko Perekonomian sudah menyetujui usulan Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Mamin) untuk impor garam industri sebanyak 543 ribu ton dari semula 595 ribu ton.
Namun, rencana impor garam industri menimbulkan polemik di kalangan petani garam lokal. Sekretaris Jenderal Aliansi Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (Sekjen A2PGRI) Faisal Badawi mengatakan produksi garam dalam negeri saat ini belum terserap penuh oleh industri.
"Sekarang harga garam lokal hancur-hancuran. Nggak ada harganya. Nggak laku, kasarannya. HPP (Harga Pokok Produksi) hitungan teman-teman sekitar Rp 900-an per kg, sekarang harga jual ada yang Rp 200 per kg, ada yang Rp 300 per kg," ungkap Faisal.
Menurut dia, ada 1,1 juta ton stok produksi garam lokal yang menunggu pembeli. Ia khawatir bila terlalu lama disimpan di gudang maka stok akan makin melimpah, dan harga makin menukik turun.
Namun, soal keberpihakan terhadap petani, Fridy mengatakan pemerintah sudah menyerap sekitar 700 ribu ton garam petani dalam waktu 5 bulan terakhir sejak MoU pada Agustus 2019 lalu. MoU itu menyepakati pemerintah menyerap 1,1 juta ton garam petani dari bulan Agustus 2019 hingga musim panen berikutnya yang jatuh pada Juli 2020.
Ketua Umum Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Tony Tanduk menegaskan, pengusaha tak mempersoalkan apakah harus memakai garam impor atau lokal.
Menurut Tony, selama harga garam lokal bersaing dan berkualitas baik, industri akan memakainya. Di sisi lain, ketersediaan garam lokal yang belum mencukupi sehingga impor tak terelakkan.
"Melimpah di mana? Makanya perlu dicek dimana barangnya. Nanti kasih tahu aja," kata Tony kepada CNBC Indonesia ketika dikonfirmasi besarnya stok produksi garam dalam lokal.
"Yang dibutuhkan itu kualitas sama harga. Kalau lokal memenuhi, ya lokal, tapi sementara ini masih diimpor," sebut Tony.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang mengatakan, impor garam terpaksa dilakukan karena industri dalam negeri memang membutuhkan. Impor menjadi pilihan untuk menjaga pasokan bahan baku industri.
"Selama pasokan garam dan gula untuk industri yang mempunyai requirement (persyaratan) tinggi untuk produk produknya mau tidak mau terpaksa kita harus impor karena kita tidak boleh mematikan industri itu sendiri hanya karena tidak mempunyai bahan baku," kata Agus di kantornya, kemarin.
Tudingan garam lokal kurang berkualitas dibantah oleh Faisal. Menurut dia, tak tertutup kemungkinan hal ini berkaitan dengan isu kartel garam impor.
"Ini apa hanya sebagai alibi [alasan], bahwa ini nggak masuk spesifikasi? [Atau] ini nggak masuk spesifikasi, untuk mengejar margin dan lainnya? Itu gak ngerti," kata Faisal.
Ia menilai alasan tersebut seperti sudah menjadi tameng dan selalu digunakan ketika impor garam akan dilakukan. Sehingga, impor garam seolah menjadi kebiasaan yang sulit dihentikan.
(miq/miq) Next Article Ternyata RI Impor Garam 2,6 Juta Ton di 2019
Most Popular