
Ckck..Ada BUMN Ngos-ngosan di Balik Turunnya Subsidi Energi
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
10 January 2020 11:15

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah mengklaim subsidi energi makin tepat sasaran dan dialihkan untuk belanja yang lebih produktif. Pos subsidi memang dipangkas, tapi berubah jadi utang ke BUMN tatkala belanja negara pun tak bisa dibilang produktif.
Energi listrik dan bahan bakar memang kebutuhan sehari-hari bagi semua orang. Energi memiliki peranan penting dalam aktivitas ekonomi. Agar masyarakat Indonesia dapat memperoleh energi dengan terjangkau, maka pemerintah tiap tahunnya menganggarkan subsidi untuk BBM dan listrik.
Ratusan triliun dikeluarkan pemerintah untuk memberikan subsidi. Namun subsidi tersebut masih bisa dibilang belum tepat sasaran. Subsidi tak sepenuhnya menjangkau masyarakat yang layak untuk menerimanya. Sebagian orang memanfaatkan adanya subsidi dari pemerintah ini untuk meraup keuntungan.
Padahal tiap tahunnya pemerintah harus mengeluarkan dana hingga ratusan triliun untuk subsidi saja. Pada periode 2011-2014, total subsidi energi yang dikeluarkan oleh pemerintah mencapai Rp 1.214 triliun.
Namun pada periode 2015-2019, anggaran untuk subsidi benar-benar dipangkas. Pada periode tersebut pemerintah merogoh kocek sebesar Rp 612 triliun saja untuk subsidi energi.
Dengan capaian tersebut pemerintah mengklaim subsidi semakin tepat sasaran dan uang yang tadinya harus digunakan untuk subsidi dialokasikan untuk belanja produktif. Namun benarkah subsidi tepat sasaran dan belanja jadi lebih produktif?
Saat ini pemerintah memberikan subsidi BBM seperti premium, minyak tanah dan bahkan LPG serta listrik. Pemerintah memberikan penugasan kepada BUMN melalui Public Service Obligation (PSO).
Adanya PSO di Indonesia ini dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan harga penjualan BUMN/Swasta dengan harga yang ditetapkan oleh pemerintah. Agar pelayanan produk dan atau jasa terjamin dan terjangkau oleh publik, maka pemerintah menunjuk BUMN untuk menjalankan fungsi tersebut.
Dua contoh BUMN yang mendapat PSO adalah PT Pertamina Persero dan PT PLN Persero.
Misal pemerintah menunjuk Pertamina untuk mendistribusikan BBM subsidi seperti premium, LPG dan minyak tanah. Sementara PLN ditugasi pemerintah untuk menyediakan akses listrik yang lebih murah ke masyarakat yang kurang mampu.
Jika setelah melakukan kajian finansial ternyata fungsi tersebut tak memungkinkan, maka pemerintah memberikan kompensasi atas semua biaya yang dikeluarkan oleh BUMN itu termasuk margin yang diinginkan.
Pada praktiknya, BUMN dalam hal ini Pertamina dan PLN diminta untuk menalangi terlebih dahulu. Artinya pemerintah jadi ngutang dulu ke BUMN. Dan ujung-ujungnya utang pemerintah ke BUMN pun tak sedikit.
Posisi utang pemerintah ke Pertamina pada akhir 2018 mencapai US$ 2,92 miliar atau setara dengan Rp 41,6 triliun dengan asumsi kurs Rp 14.246/US$. Jumlah tersebut kemudian naik menjadi US$ 3,11 miliar setara dengan Rp 44,3 triliun pada posisi 30 Juni 2019.
Utang pemerintah ke Pertamina pada 2016 dan 2017 memang sudah dilunasi. Utang yang tercatat tersebut merupakan saldo dari utang di tahun 2018 dan 2019 yang belum dibayar.
Utang tersebut merupakan belanja yang masih harus dibayar dan merupakan kewajiban yang harus segera diselesaikan kepada pihak terutang dalam waktu kurang dari 12 bulan.
Itu artinya pemerintah masih punya anggaran untuk mensubsidi Premium, meskipun dalam APBN 2018 tidak disebutkan dengan eksplisit.
Maka dari itu, anggapan bahwa sebenarnya pemerintah masih terus menggelontorkan subsidi energi cukup banyak agaknya bisa diterima.
Energi listrik dan bahan bakar memang kebutuhan sehari-hari bagi semua orang. Energi memiliki peranan penting dalam aktivitas ekonomi. Agar masyarakat Indonesia dapat memperoleh energi dengan terjangkau, maka pemerintah tiap tahunnya menganggarkan subsidi untuk BBM dan listrik.
Ratusan triliun dikeluarkan pemerintah untuk memberikan subsidi. Namun subsidi tersebut masih bisa dibilang belum tepat sasaran. Subsidi tak sepenuhnya menjangkau masyarakat yang layak untuk menerimanya. Sebagian orang memanfaatkan adanya subsidi dari pemerintah ini untuk meraup keuntungan.
Namun pada periode 2015-2019, anggaran untuk subsidi benar-benar dipangkas. Pada periode tersebut pemerintah merogoh kocek sebesar Rp 612 triliun saja untuk subsidi energi.
Realisasi Subsidi Energi ![]() |
Dengan capaian tersebut pemerintah mengklaim subsidi semakin tepat sasaran dan uang yang tadinya harus digunakan untuk subsidi dialokasikan untuk belanja produktif. Namun benarkah subsidi tepat sasaran dan belanja jadi lebih produktif?
Saat ini pemerintah memberikan subsidi BBM seperti premium, minyak tanah dan bahkan LPG serta listrik. Pemerintah memberikan penugasan kepada BUMN melalui Public Service Obligation (PSO).
Adanya PSO di Indonesia ini dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan harga penjualan BUMN/Swasta dengan harga yang ditetapkan oleh pemerintah. Agar pelayanan produk dan atau jasa terjamin dan terjangkau oleh publik, maka pemerintah menunjuk BUMN untuk menjalankan fungsi tersebut.
Dua contoh BUMN yang mendapat PSO adalah PT Pertamina Persero dan PT PLN Persero.
Misal pemerintah menunjuk Pertamina untuk mendistribusikan BBM subsidi seperti premium, LPG dan minyak tanah. Sementara PLN ditugasi pemerintah untuk menyediakan akses listrik yang lebih murah ke masyarakat yang kurang mampu.
Jika setelah melakukan kajian finansial ternyata fungsi tersebut tak memungkinkan, maka pemerintah memberikan kompensasi atas semua biaya yang dikeluarkan oleh BUMN itu termasuk margin yang diinginkan.
Pada praktiknya, BUMN dalam hal ini Pertamina dan PLN diminta untuk menalangi terlebih dahulu. Artinya pemerintah jadi ngutang dulu ke BUMN. Dan ujung-ujungnya utang pemerintah ke BUMN pun tak sedikit.
Posisi utang pemerintah ke Pertamina pada akhir 2018 mencapai US$ 2,92 miliar atau setara dengan Rp 41,6 triliun dengan asumsi kurs Rp 14.246/US$. Jumlah tersebut kemudian naik menjadi US$ 3,11 miliar setara dengan Rp 44,3 triliun pada posisi 30 Juni 2019.
Utang pemerintah ke Pertamina pada 2016 dan 2017 memang sudah dilunasi. Utang yang tercatat tersebut merupakan saldo dari utang di tahun 2018 dan 2019 yang belum dibayar.
Utang tersebut merupakan belanja yang masih harus dibayar dan merupakan kewajiban yang harus segera diselesaikan kepada pihak terutang dalam waktu kurang dari 12 bulan.
Itu artinya pemerintah masih punya anggaran untuk mensubsidi Premium, meskipun dalam APBN 2018 tidak disebutkan dengan eksplisit.
Maka dari itu, anggapan bahwa sebenarnya pemerintah masih terus menggelontorkan subsidi energi cukup banyak agaknya bisa diterima.
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular