
Ckck..Ada BUMN Ngos-ngosan di Balik Turunnya Subsidi Energi
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
10 January 2020 11:15

Sementara pada 2018, PLN mencatatkan piutang kompensasi sebesar Rp 23,17 triliun. Mengutip laporan keterangan laporan keuangan PLN, Piutang kompensasi merupakan piutang atas kompensasi dari Pemerintah atas penggantian Biaya Pokok Penyediaan (“BPP”) tenaga listrik beberapa golongan pelanggan yang tarif penjualan tenaga listriknya lebih rendah di bandingkan BPP, dan belum diperhitungkan dalam subsidi yang diakui sebagai pendapatan atas dasar akrual.
Kalau pemerintah utang ke BUMN otomatis bayarnya lewat APBN periode berikutnya. Di sini lah letak potensi masalahnya. Jika kinerja APBN tak baik, maka pembayaran utang pemerintah ke BUMN tak menutup kemungkinan juga jadi seret.
Mari ambil contoh realisasi APBN 2019. Penerimaan pajak anjlok dan hanya mencapai level 84% saja dari target APBN. Padahal penerimaan pajak sendiri menyumbang lebih dari 60% total penerimaan negara.
Hal tersebut membuat defisit anggaran menjadi melebar ke angka 2,2%. Defisit anggaran membuat ruang gerak fiskal menjadi terbatas. Artinya utang akan dibayar berapa dan kapan akan sangat tergantung dari kondisi fiskal negara.
Jika pemerintah tak membayar utang, maka tetap akan dicatat sebagai piutang di neraca perseroan.
Baik Pertamina maupun PLN menegaskan tak ada gangguan di keuangannya sampai saat ini. EVP Corporate Finance PLN Sulistyo Biantoro mengatakan memang ada dampak ke kekuangan, tapi mengingat selisih antara tarif tidak naik untuk pelanggan non subsidi ditanggung oleh pemerintah lewat kompensasi. "Sesuai UU 19/2003 akan ditanggung oleh Pemerintah melalui pemberian Kompensasi ke PLN maka dampaknya akan sangat minimal,"ujarnya.
Walau Pertamina dan PLN menegaskan keuangannya tak akan terganggu apabila pemerintah tak segera melunasi utang, tetap saja bahwa BUMN merupakan entitas bisnis yang berorientasi pada laba.
Masalah pembayaran utang atas PSO ini harus benar-benar dipikirkan oleh Pemerintah. Sekarang boleh jadi keuangan perusahaan tak terganggu. Namun jika piutang terus menumpuk dan pembayaran yang dilakukan tak signifikan ujung-ujungnya juga akan membebani.
Poin lain yang juga perlu disoroti adalah klaim pemerintah bahwa subsidi dipangkas dan dialihkan untuk belanja yang lebih produktif. Benarkah?
Well, kalau menyoal belanja negara produktif atau tidak harus lihat lagi realisasi APBN 2019. Nyatanya Kementerian dan Lembaga (K/L) masih banyak mengalokasikan anggaran untuk belanja yang sifatnya konsumtif seperti belanja pegawai dan belanja barang untuk operasional institusi. Porsi keduanya dari tahun ke tahun lebih dari 60% dari total anggaran belanja K/L.
Sementara belanja modal yang sifatnya produktif porsinya masih di bawah belanja pegawai dan belanja barang. Bahkan dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi dan cenderung turun.
Bukan berarti belanja pegawai dan belanja barang tak memiliki kontribusi positif untuk ekonomi. Ketika pegawai diikutsertakan dalam pelatihan dan workshop sehingga dapat meng-upgrade skillnya dan produktivitas naik memang berkontribusi positif.
Memang ada harapan dengan belanja tersebut terjadi trickle down effect. Misal seorang abdi negara yang melakukan perjalanan dinas dapat menggerakkan sektor transportasi, restoran dan perhotelan. Namun dampak langsungnya masih lebih kecil dibanding belanja modal.
Menurut kajian Bank Indonesia (BI), setiap 1% tambahan pengeluaran pemerintah berbasis konsumsi akan meningkatkan output perekonomian sebesar 0,03% dalam jangka panjang. Sementara untuk pengeluaran berbasis investasi seperti belanja modal, setiap peningkatan 1% akan menambah output ekonomi 0,2% dalam jangka panjang. Jadi dampak belanja negara akan lebih besar dirasakan oleh rakyat jika pemerintah lebih rajin berinvestasi, bukan cuma mengonsumsi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(gus/gus)
Kalau pemerintah utang ke BUMN otomatis bayarnya lewat APBN periode berikutnya. Di sini lah letak potensi masalahnya. Jika kinerja APBN tak baik, maka pembayaran utang pemerintah ke BUMN tak menutup kemungkinan juga jadi seret.
Mari ambil contoh realisasi APBN 2019. Penerimaan pajak anjlok dan hanya mencapai level 84% saja dari target APBN. Padahal penerimaan pajak sendiri menyumbang lebih dari 60% total penerimaan negara.
Jika pemerintah tak membayar utang, maka tetap akan dicatat sebagai piutang di neraca perseroan.
Baik Pertamina maupun PLN menegaskan tak ada gangguan di keuangannya sampai saat ini. EVP Corporate Finance PLN Sulistyo Biantoro mengatakan memang ada dampak ke kekuangan, tapi mengingat selisih antara tarif tidak naik untuk pelanggan non subsidi ditanggung oleh pemerintah lewat kompensasi. "Sesuai UU 19/2003 akan ditanggung oleh Pemerintah melalui pemberian Kompensasi ke PLN maka dampaknya akan sangat minimal,"ujarnya.
Walau Pertamina dan PLN menegaskan keuangannya tak akan terganggu apabila pemerintah tak segera melunasi utang, tetap saja bahwa BUMN merupakan entitas bisnis yang berorientasi pada laba.
Masalah pembayaran utang atas PSO ini harus benar-benar dipikirkan oleh Pemerintah. Sekarang boleh jadi keuangan perusahaan tak terganggu. Namun jika piutang terus menumpuk dan pembayaran yang dilakukan tak signifikan ujung-ujungnya juga akan membebani.
Poin lain yang juga perlu disoroti adalah klaim pemerintah bahwa subsidi dipangkas dan dialihkan untuk belanja yang lebih produktif. Benarkah?
Well, kalau menyoal belanja negara produktif atau tidak harus lihat lagi realisasi APBN 2019. Nyatanya Kementerian dan Lembaga (K/L) masih banyak mengalokasikan anggaran untuk belanja yang sifatnya konsumtif seperti belanja pegawai dan belanja barang untuk operasional institusi. Porsi keduanya dari tahun ke tahun lebih dari 60% dari total anggaran belanja K/L.
Sementara belanja modal yang sifatnya produktif porsinya masih di bawah belanja pegawai dan belanja barang. Bahkan dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi dan cenderung turun.
Bukan berarti belanja pegawai dan belanja barang tak memiliki kontribusi positif untuk ekonomi. Ketika pegawai diikutsertakan dalam pelatihan dan workshop sehingga dapat meng-upgrade skillnya dan produktivitas naik memang berkontribusi positif.
Memang ada harapan dengan belanja tersebut terjadi trickle down effect. Misal seorang abdi negara yang melakukan perjalanan dinas dapat menggerakkan sektor transportasi, restoran dan perhotelan. Namun dampak langsungnya masih lebih kecil dibanding belanja modal.
Menurut kajian Bank Indonesia (BI), setiap 1% tambahan pengeluaran pemerintah berbasis konsumsi akan meningkatkan output perekonomian sebesar 0,03% dalam jangka panjang. Sementara untuk pengeluaran berbasis investasi seperti belanja modal, setiap peningkatan 1% akan menambah output ekonomi 0,2% dalam jangka panjang. Jadi dampak belanja negara akan lebih besar dirasakan oleh rakyat jika pemerintah lebih rajin berinvestasi, bukan cuma mengonsumsi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(gus/gus)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular