
Selain Perang Dunia 3, Ini Tiga Risiko Lain Bagi Ekonomi 2020

Meski potensi perang berpeluang terjadi, kemajuan negosiasi dagang jilid kedua juga perlu diperhatikan sebagai risiko terbesar kedua. Sebagaimana diketahui, AS dan China telah saling mengenakan tarif selama setahun, dan bersepakat untuk meneken kesepakatan pada 15 Januari ini.
Keduanya juga sepakat mengurangi kenaikan tarif yang semula diberlakukan. Namun harap dicatat, yang terjadi adalah diskon kenaikan tarif. Trump bakal membatalkan tarif tambahan sebesar 15% yang semula bakal diterapkan pada Desember 2019.
Di sisi lain, tarif yang diberlakukan sejak 2018 bakal dipangkas 50%-nya. Artinya, tarif lebih tinggi yang berlaku untuk produk kedua negara masih akan terus berjalan. Efek buruknya terhadap perekonomian masih berlangsung, dan sejauh ini telah menekan aktivitas manufaktur kedua negara.
![]() |
Survei Institute of Supply Management (ISM) AS mencatat indeks manufaktur turun menjadi 47,2% (Desember 2019), atau berkontraksi untuk kelima kali. Angka di bawah 50 mengindikasikan kontraksi aktivitas manufaktur, sebaliknya di atas 50 mengindikasikan ekspansi.
Sementara itu, indeks serupa di China yang dirilis Caixin tercatat di angka 51,5 pada Desember atau melambat dibanding posisi sebulan sebelumnya di level 51,8 dan juga di bawah ekspektasi pasar yang memperkirakan di angka 51,7.
Bank Dunia dalam laporannya berjudul “Heightened Tensions, Subdued Investment” (2019) menyebutkan bahwa perang dagang memiliki kontribusi besar atas perlambatan dunia. IMF juga memangkas prediksi pertumbuhan dunia pada 2019 dari semula 3,2% menjadi hanya 3% karena morat-maritnya aktivitas manufaktur dan perdagangan dunia.
“Pelemahan pertumbuhan ini didorong penurunan tajam aktivitas manufaktur dan perdagangan dunia, dengan tarif lebih tinggi dan ketakpastian kebijakan perdagangan merusak iklim investasi dan permintaan barang modal,” ujar Ekonom Kepala IMF Gita Gopinath dalam pernyataan resminya sebagaimana dikutip CNBC International, Selasa (15/11/2019).
Kenaikan ketegangan politik terkait dengan Hong Kong, Laut China Selatan, dan juga latihan perang antara China, Rusia, dan Iran, membuat prospek damai dagang kedua negara masih bakal jauh panggang dari api. Terlebih, China memiliki opsi memundurkan kesepakatan fase kedua, sembari menunggu hasil pemilihan presiden pada November 2020. (ags)