Panas Dingin Indonesia dan China di Natuna

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
03 January 2020 11:20
Panas Dingin Indonesia dan China di Natuna
Ilustrasi Laut Natuna Utara (Dok: Koarmada I)
Jakarta, CNBC Indonesia - Laut China Selatan panas lagi. Perairan yang mencakup banyak negara tersebut memang kerap memicu konflik.

Teranyar, jadi gesekan antara Indonesia dengan China. Patroli keamanan laut China memasuki wilayah Natuna.

Negeri Tirai Bambu memang mengklaim wilayah tersebut sebagai teritori mereka. Pemerintah Indonesia meradang. Kementerian Luar Negeri melontarkan protes karena menilai China melakukan pelanggaran batas wilayah.

"Pada hari Senin (30/12/19) hasil rapat antar Kementerian di Kemlu mengkonfirmasi terjadinya pelanggaran ZEE Indonesia, termasuk kegiatan IUU fishing, dan pelanggaran kedaulatan oleh Coast Guard RRT di perairan Natuna. Kemlu telah memanggil Dubes RRT di Jakarta dan menyampaikan protes keras terhadap kejadian tersebut. Nota diplomatik protes juga telah disampaikan," demikian bunyi siaran tertulis Kementerian Luar Negeri tertanggal 30 September 2019.


Indonesia juga menegaskan menolak klaim sepihak China terkait Semibilan Garis Putus (Nine Dash Line) yang digunakan China sebagai pembenaran. Berdasarkan peta Nine Dash Line, terlihat bahwa klaim China mencakup 90% atau hampir seluruh wilayah perairan Laut China Selatan.

Radio Free Asia

China mengklaim wilayah tersebut berdasarkan fakta sejarah sejak era Dinasti Han pada tahun 110 Sebelum Masehi. Pada era itu, dilakukan ekspedisi laut ke Kepulauan Spratly dan para nelayan serta pedagang Tiongkok sudah bekerja dan menetap di wilayah tersebut. Klaim Tiongkok ini diperkuat dengan mengeluarkan peta sembilan garis putus pada tahun 1947 dan Mei 2009.

[Gambas:Video CNBC]



"Klaim historis RRT atas ZEEI dengan alasan bahwa para nelayan China telah lama beraktivitas di perairan dimaksud bersifat unilateral, tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982. Argumen ini telah dibahas dan dimentahkan oleh Keputusan SCS Tribunal 2016. Indonesia juga menolak istilah "relevant waters" yang diklaim oleh RRT karena istilah ini tidak dikenal dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982. Indonesia mendesak RRT untuk menjelaskan dasar hukum dan batas-batas yang jelas perihal klaim RRT di ZEEI berdasarkan UNCLOS 1982," sebut keterangan tertulis Kementerian Luar Negeri tertanggal 1 Januari 2020.



Di kawasan ASEAN, klaim Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan mencakup wilayah sejumlah negara yaitu Indonesia, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Filipina. Negara-negara tersebut tentunya menolak klaim China dan mencoba mempertahankan kedaulatan masing-masing.

Bahkan Filipina telah memenangkan gugatan di Mahkamah Arbitrase PBB, yang menyatakan China tidak memiliki dasar hukum untuk mengklaim wilayah perairan di Laut China Selatan. Mahkamah Arbitrase menyatakan tidak ada bukti sejarah bahwa China menguasai dan mengendalikan sumber daya secara eksklusif di wilayah Laut China Selatan. Meski demikian, Tiongkok menegaskan tidak menerima keputusan tersebut.

Filipina (juga Vietnam, Brunei Darussalam, dan Malaysia) menganggap klaim Tiongkok atas wilayahnya di Laut Tiongkok Selatan tidak berdasar karena hanya mengacu kepada faktor sejarah dan tidak ada persetujuan tertulis. Ini membuat klaim tersebut sangat subjektif dan tidak sesuai dengan tata pergaulan internasional.

Dalam United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982), kedaulatan atas wilayah laut ditentukan oleh jarak dari titik atau pulau terluar suatu negara. Berdasarkan UNCLOS 1982, pulau-pulau di Laut Natuna adalah daerah daratan yang dibentuk secara alamiah yang dikelilingi oleh air dan yang ada di atas permukaan air pada waktu air pasang.

Pulau-pulau di Laut Natuna bukan batu karang dan dapat mendukung kediaman manusia atau kehidupan ekonomi tersendiri. Oleh karena itu, pulau-pulau di Laut Natuna berhak atas:
1. Laut teritorial (maksimum 12 mil-laut).
2. Zona tambahan (maksimum 24 mil-laut).
3. Zona Ekonomi Eksklusif (maksimum 200 mil-laut).
3. Landas kontinen (maksimum 350 mil-laut/ 100 mil dari isobath 2.500 meter).


Insiden Indonesia-China di Laut Natuna bukan barang baru. Misalnya pada Juni 2016 lalu, kapal penangkap ikan asal China ditembak oleh kapal TNI AL dan para awak kapal penangkap ikan tersebut juga ditahan.

Beijing telah membuat nota protes kepada pemerintah Indonesia atas insiden penembakan dan penangkapan awak kapal tersebut. Namun pihak Indonesia menegaskan bahwa aparat keamanan telah melakukan prosedur yang benar.

China menilai bahwa para nelayan sudah lama mencari ikan di wilayah tersebut, sehingga dianggap sebagai wilayah tradisional nelayan (traditional fishing area). Namun Indonesia bersikukuh bahwa area yang dimasuki kapal Tiongkok itu merupakan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia sehingga merupakan wilayah kedaulatan Indonesia.

Natuna memiliki sumber daya alam yang cukup melimpah, terutama energi. Total produksi minyak dari blok-blok yang berada di Natuna adalah 25.447 barel per hari. Sementara produksi gas bumi tercatat sebesar 489,21 MMSCFD.

Tak hanya menyimpan potensi migas yang besar, kawasan Laut Natuna juga menyimpan kekayaan perikanan yang berlimpah yaitu ikan pelagis kecil (621,5 ribu ton/tahun), demersal (334,8 ribu ton/tahun), pelagis besar (66,1 ribu ton/tahun), ikan karang (21,7 ribu ton/tahun), udang (11,9 ribu ton/tahun), cumi-cumi (2,7 ribu ton/tahun), hingga lobster (500 ton/tahun).


Sementara dari sisi letak geografis, Natuna juga berada di posisi strategis. Natuna berada di jalur pelayaran internasional Hong Kong, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.

Sejak dahulu, perairan Natuna telah menjadi jalur perdagangan antar negara yang strategis. Pada April 2015, lima artefak kapal dari abad ke-10 hingga ke-19 Masehi ditemukan di wilayah perairan Natuna. Temuan tersebut menguatkan bahwa Natuna merupakan titik penting dalam jalur pelayaran perdagangan internasional yang menghubungkan Tiongkok dengan kawasan Asia Tenggara.

Klaim Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan yang bersentuhan dengan wilayah kedaulatan Indonesia tentunya mempengaruhi ketahanan nasional. Bila tidak ada penyelesaian yang komprehensif, maka konflik akan terus terjadi. Konflik-konflik ini akan terus bereskalasi dan bisa saja berujung pada konfrontasi fisik (perang).



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular