
UMP Mau Diganti dengan Upah Per Jam, Setuju Nggak?
Muhamad Iqbal, CNBC Indonesia
27 December 2019 13:47

Jakarta, CNBC Indonesia - Serikat buruh kembali menegaskan sikap penolakan terhadap rencana perubahan sistem pengupahan yang masuk dalam RUU omnibus law cipta lapangan kerja. Salah satu yang akan diubah adalah soal upah berbasis produktivitas yaitu perhitungan upah per jam.
Presiden KSPI, Said Iqbal menegaskan perubahan sistem upah menjadi upah per jam ditolak KSPI karena beberapa alasan.
Pertama, ia bilang prinsip upah minimum (UMP/UMK) adalah safety net atau jaring pengaman agar buruh tidak absolut miskin. Hal Itu yang terkandung dalam konvensi ILO dan UU No 13/2003.
"Jadi kalau sistem upah per jam, boleh jadi buruh menerima upah dalam sebulan di bawah nilai upah minimum akibat pengusaha membayar upah sesuai dengan jumlah jam dimana buruh bekerja," katanya seperti dikutip dari keterangan resminya, Jumat (27/12).
Said Iqbal mengatakan jika sistem upah per jam diterapkan, maka pengusaha bisa seenaknya secara sepihak menentukan jumlah jam bekerja buruh.
"Kalau bekerja dibayar sesuai jumlah jam, bisa saja buruh tidak dikasih jam kerja. Sehingga dia tidak dibayar. Akibatnya total pendapatan yang didapat dalam sebulan upahnya di bawah upah minimum," katanya.
Ia bilang dengan rencana sistem upah per jam, maka tak ada perlindungan jaring pengaman untuk buruh bisa hidup minimum.
"Kalau begitu, buat apa ada investasi bila menyengsarakan buruh?" katanya.
Kedua, sistem ini akan menciptakan diskriminasi terhadap pekerja perempuan yang sedang haid, dua hari pertama upahnya akan terpotong. Padahal selama ini bila cuti haid upahnya tidak dipotong. Begitupun buruh yang sedang sakit, cuti melahirkan, menjalankan ibadah haji, dan yang lainnya, maka upahnya terpotong.
"Jelas ini akan merugikan buruh," katanya.
Said Iqbal menambahkan, selain itu supply dan demand tenaga kerja di Indonesia gap nya masih tinggi. Termasuk angka pengangguran masih tinggi dibanding negara maju yang sudah menerapkan upah per jam.
"Akibatnya daya tawar upah buruh kepada pengusaha menjadi lemah. Bisa saja pengusaha mengatakan, hanya ingin mempekerjakan buruhnya selama dua jam per hari dengan sistem upah per jam tersebut."
Ketiga, tingkat pendidikan buruh Indonesia dalam angkatan kerja 70% adalah lulusan SMP ke bawah. Berarti banyak/mayoritas unskill workers, yang dengan sistem upah per jam bisa dipastikan mereka akan absolut miskin.
Oleh karena itu tugas pemerintah adalah meng up grade dulu agar pendidikan buruh di angkatan kerja menjadi 80% pendidikan nya SMA ke atas dan ketersediaan lapangan kerja yang melimpah, baru kita diskusi upah per jam.
"Intinya buruh menolak sistim upah per jam yang absolut memiskinkan kaum buruh. KSPI juga menolak seluruh isi omnibus law cluster ketenagakerjaan yang merugikan buruh. Sebab sejauh ini UU No 13/2003 sudah cukup memberikan keseimbangan kepentingan buruh dan pengusaha," tegasnya.
(hoi/hoi) Next Article UMP 2020: Pengusaha Keberatan, Buruh Tidak Puas
Presiden KSPI, Said Iqbal menegaskan perubahan sistem upah menjadi upah per jam ditolak KSPI karena beberapa alasan.
Pertama, ia bilang prinsip upah minimum (UMP/UMK) adalah safety net atau jaring pengaman agar buruh tidak absolut miskin. Hal Itu yang terkandung dalam konvensi ILO dan UU No 13/2003.
"Jadi kalau sistem upah per jam, boleh jadi buruh menerima upah dalam sebulan di bawah nilai upah minimum akibat pengusaha membayar upah sesuai dengan jumlah jam dimana buruh bekerja," katanya seperti dikutip dari keterangan resminya, Jumat (27/12).
Said Iqbal mengatakan jika sistem upah per jam diterapkan, maka pengusaha bisa seenaknya secara sepihak menentukan jumlah jam bekerja buruh.
"Kalau bekerja dibayar sesuai jumlah jam, bisa saja buruh tidak dikasih jam kerja. Sehingga dia tidak dibayar. Akibatnya total pendapatan yang didapat dalam sebulan upahnya di bawah upah minimum," katanya.
Ia bilang dengan rencana sistem upah per jam, maka tak ada perlindungan jaring pengaman untuk buruh bisa hidup minimum.
"Kalau begitu, buat apa ada investasi bila menyengsarakan buruh?" katanya.
Kedua, sistem ini akan menciptakan diskriminasi terhadap pekerja perempuan yang sedang haid, dua hari pertama upahnya akan terpotong. Padahal selama ini bila cuti haid upahnya tidak dipotong. Begitupun buruh yang sedang sakit, cuti melahirkan, menjalankan ibadah haji, dan yang lainnya, maka upahnya terpotong.
"Jelas ini akan merugikan buruh," katanya.
Said Iqbal menambahkan, selain itu supply dan demand tenaga kerja di Indonesia gap nya masih tinggi. Termasuk angka pengangguran masih tinggi dibanding negara maju yang sudah menerapkan upah per jam.
"Akibatnya daya tawar upah buruh kepada pengusaha menjadi lemah. Bisa saja pengusaha mengatakan, hanya ingin mempekerjakan buruhnya selama dua jam per hari dengan sistem upah per jam tersebut."
Ketiga, tingkat pendidikan buruh Indonesia dalam angkatan kerja 70% adalah lulusan SMP ke bawah. Berarti banyak/mayoritas unskill workers, yang dengan sistem upah per jam bisa dipastikan mereka akan absolut miskin.
Oleh karena itu tugas pemerintah adalah meng up grade dulu agar pendidikan buruh di angkatan kerja menjadi 80% pendidikan nya SMA ke atas dan ketersediaan lapangan kerja yang melimpah, baru kita diskusi upah per jam.
"Intinya buruh menolak sistim upah per jam yang absolut memiskinkan kaum buruh. KSPI juga menolak seluruh isi omnibus law cluster ketenagakerjaan yang merugikan buruh. Sebab sejauh ini UU No 13/2003 sudah cukup memberikan keseimbangan kepentingan buruh dan pengusaha," tegasnya.
(hoi/hoi) Next Article UMP 2020: Pengusaha Keberatan, Buruh Tidak Puas
Most Popular