
Setoran Pajak Tekor, Apa Gara-garanya?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
27 December 2019 11:41

Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun ini sepertinya menjadi momen yang layak dilupakan oleh aparat perpajakan. Bagaimana tidak, kemungkinan kekurangan penerimaan (shortfall) begitu besar sehingga membuat defisit anggaran membengkak.
Hingga November 2019, penerimaan perpajakan tercatat Rp 1.312,4 triliun. Ini tidak sampai 74% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Meski masih November, masih ada sebulan lagi, tetapi hampir penerimaan perpajakan mustahil mencapai target. Bahkan ada kemungkinan shotfall 2019 menjadi yang terparah, setidaknya sejak 2009.
Performa penerimaan perpajakan yang lesu membuat pemerintah terpaksa memperlebar defisit anggaran. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan defisit anggaran 2019 bisa mencapai 2,2% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Target awal defisit anggaran tahun ini adalah 1,84%.
Faktor eksternal sepertinya menjadi penyebab kelesuan kinerja penerimaan perpajakan. Ini terlihat dari kinerja Januari-November per jenis pajak, di mana hampir seluruh komponen mengalami pertumbuhan. Namun, pajak perdagangan internasional justru turun.
Penerimaan dari perdagangan internasional memang di luar kontrol pemerintah. Sepenuhnya tergantung pada bagaimana arus perdagangan global.
Masalahnya, arus perdagangan dunia sedang nyungsep. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memperkirakan pertumbuhan perdagangan global tahun ini hanya 1,2%. Jauh melambat ketimbang proyeksi sebelumnya yaitu 2,6%, apalagi dibandingkan 2018 yang tumbuh 3%.
Data ini menggambarkan bahwa ekspor-impor memang sedang lesu. Kalau ekspor-impor lesu, maka penerimaan negara yang terkait dengan aktivitas itu tentu terpengaruh.
Ini semua gara-gara perang dagang, terutama Amerika Serikat (AS) vs China. Lho, yang 'berkelahi' kan AS dan China tetapi mengapa dampaknya sampai terasa ke Indonesia?
Di sini yang namanya rantai pasok memainkan peran penting. AS adalah pasar ekspor terbesar buat China, sementara China menjadi negara tujuan ekspor ketiga terbesar bagi AS. Saat produk China sulit masuk ke AS dan demikian juga sebaliknya, maka pengusaha di dua negara tersebut terpaksa mengurangi produksi. Buat apa memproduksi banyak-banyak kalau tidak laku?
Kala dunia usaha mengurangi produksi, maka kebutuhan untuk mendatangkan bahan baku dan barang modal ikut berkurang. Nah, bahan baku dan barang modal ini sering kali didatangkan dari negara lain.
Contohnya Indonesia. China adalah mitra dagang utama bagi Indonesia dengan nilai ekspor non-migas mencapai US$ 23,54 miliar selama Januari-November 2019.
Saat permintaan dari China turun karena pengurangan produksi, pasti ekspor Indonesia ikut turun. Inilah yang disebut rantai pasok, yang sekarang kondisinya sedang rusak gara-gara perang dagang.
Namun selain yang terkait ekspor-impor, ternyata Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dalam Negeri pun turun. PPN adalah pajak yang dibayarkan atas seluruh transaksi, tarifnya 10%. Kalau PPN turun, maka berarti ada penurunan transaksi sehingga jelas menggambarkan penurunan konsumsi.
Namun, penurunan konsumsi juga bisa dikaitkan dengan masalah yang menimpa ekspor. Saat ekspor melambat, dunia usaha tentu merespons dengan menurunkan produksi atau output.
Artinya, investasi melambat dan penciptaan lapangan kerja berkurang. Tidak heran konsumsi terpukul sehingga penerimaan PPN terkoreksi.
"Kalau ekspor melambat, maka sudah pasti konsumsi dan investasi akan melambat. Kemudian harga komoditas akan turun. Kemungkinan sampai 2020 ekspor-impor tidak begitu improving," kata Dody Budi Waluyo, Deputi Gubernur Bank Indonesia, kala berbincang dengan awak Detik Network, belum lama ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Wow! Dikejar Pajak, Ada 565.360 Pemilik Saldo Bank Rp 1 M
Hingga November 2019, penerimaan perpajakan tercatat Rp 1.312,4 triliun. Ini tidak sampai 74% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Meski masih November, masih ada sebulan lagi, tetapi hampir penerimaan perpajakan mustahil mencapai target. Bahkan ada kemungkinan shotfall 2019 menjadi yang terparah, setidaknya sejak 2009.
Performa penerimaan perpajakan yang lesu membuat pemerintah terpaksa memperlebar defisit anggaran. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan defisit anggaran 2019 bisa mencapai 2,2% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Target awal defisit anggaran tahun ini adalah 1,84%.
Faktor eksternal sepertinya menjadi penyebab kelesuan kinerja penerimaan perpajakan. Ini terlihat dari kinerja Januari-November per jenis pajak, di mana hampir seluruh komponen mengalami pertumbuhan. Namun, pajak perdagangan internasional justru turun.
Penerimaan dari perdagangan internasional memang di luar kontrol pemerintah. Sepenuhnya tergantung pada bagaimana arus perdagangan global.
Masalahnya, arus perdagangan dunia sedang nyungsep. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memperkirakan pertumbuhan perdagangan global tahun ini hanya 1,2%. Jauh melambat ketimbang proyeksi sebelumnya yaitu 2,6%, apalagi dibandingkan 2018 yang tumbuh 3%.
Data ini menggambarkan bahwa ekspor-impor memang sedang lesu. Kalau ekspor-impor lesu, maka penerimaan negara yang terkait dengan aktivitas itu tentu terpengaruh.
Ini semua gara-gara perang dagang, terutama Amerika Serikat (AS) vs China. Lho, yang 'berkelahi' kan AS dan China tetapi mengapa dampaknya sampai terasa ke Indonesia?
Di sini yang namanya rantai pasok memainkan peran penting. AS adalah pasar ekspor terbesar buat China, sementara China menjadi negara tujuan ekspor ketiga terbesar bagi AS. Saat produk China sulit masuk ke AS dan demikian juga sebaliknya, maka pengusaha di dua negara tersebut terpaksa mengurangi produksi. Buat apa memproduksi banyak-banyak kalau tidak laku?
Kala dunia usaha mengurangi produksi, maka kebutuhan untuk mendatangkan bahan baku dan barang modal ikut berkurang. Nah, bahan baku dan barang modal ini sering kali didatangkan dari negara lain.
Contohnya Indonesia. China adalah mitra dagang utama bagi Indonesia dengan nilai ekspor non-migas mencapai US$ 23,54 miliar selama Januari-November 2019.
Saat permintaan dari China turun karena pengurangan produksi, pasti ekspor Indonesia ikut turun. Inilah yang disebut rantai pasok, yang sekarang kondisinya sedang rusak gara-gara perang dagang.
Namun selain yang terkait ekspor-impor, ternyata Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dalam Negeri pun turun. PPN adalah pajak yang dibayarkan atas seluruh transaksi, tarifnya 10%. Kalau PPN turun, maka berarti ada penurunan transaksi sehingga jelas menggambarkan penurunan konsumsi.
Namun, penurunan konsumsi juga bisa dikaitkan dengan masalah yang menimpa ekspor. Saat ekspor melambat, dunia usaha tentu merespons dengan menurunkan produksi atau output.
Artinya, investasi melambat dan penciptaan lapangan kerja berkurang. Tidak heran konsumsi terpukul sehingga penerimaan PPN terkoreksi.
"Kalau ekspor melambat, maka sudah pasti konsumsi dan investasi akan melambat. Kemudian harga komoditas akan turun. Kemungkinan sampai 2020 ekspor-impor tidak begitu improving," kata Dody Budi Waluyo, Deputi Gubernur Bank Indonesia, kala berbincang dengan awak Detik Network, belum lama ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Wow! Dikejar Pajak, Ada 565.360 Pemilik Saldo Bank Rp 1 M
Most Popular