Jokowi Mau Rombak Sistem Upah, Kerja Dibayar Per Jam Mau?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
24 December 2019 17:35
Jokowi Mau Rombak Sistem Upah, Kerja Dibayar Per Jam Mau?
Ilustrasi Demonstrasi Buruh (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Upah alias gaji menjadi perdebatan yang hampir terjadi setiap tahun di Indonesia. Biasanya debat itu memuncak pada November, saat pemerintah mulai menetapkan upah minimum di berbagai daerah.

Pekerja tentu ingin upah yang layak untuk kehidupan yang lebih baik. Pekerja bukan sekadar faktor produksi.

Namun pengusaha tentu mengedepankan efisiensi. Tanpa efisiensi, yang ada adalah ekonomi biaya tinggi. Mana ada pengusaha yang mau sesuatu yang tidak efisien tetapi dihargai mahal?


Untuk mengatasi friksi pengupahan yang seolah tiada akhir, pemerintah merilis Peraturan Pemerintah No 78/2015 tentang Pengupahan. Beleid tersebut menetapkan formula kenaikan upah adalah inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi. Formula itu masih dipegang sampai sekarang.

Berdasarkan PP 78, Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) No B-M/308/HI.01.00/X/2019 menetapkan Upah Minimum Provinsi pada 2020 naik rata-rata 8,51% secara nasional . Angka 8,51% didapat dari angka inflasi September 2019 yaitu 3,39% year-on-year (YoY) plus pertumbuhan ekonomi 5,12%.

Namun baik buruh maupun dunia usaha tidak terima. Buruh menganggap masih terlalu rendah, sementara pengusaha ya sebaliknya.

Oleh karena itu, pemerintah di bawah pemerintahan Presiden Jokowi melempar wacana untuk memasukkan urusan pengupahan ke undang-undang (UU) sapu jagat Omnibus Law. UU Omnibus Law rencananya akan menjadi payung besar bagi lebih dari 70 peraturan terkait investasi yang sudah ada.

Jadi ke depan, investor tidak perlu pusing membolak-balik ratusan bahkan ribuan halaman dari berbagai aturan. Cukup merujuk ke Omnibus Law, semua pasti beres. Semoga.

Dengan fungsinya sebagai UU segala ada, Omnibus Law tentu belum komplet kalau belum memasukkan urusan pengupahan yang membuat gaduh setiap tahun. Kini, wacana yang berkembang adalah mengubah sistem pengupahan dari bulanan menjadi jam-jaman.



Sistem bulanan adalah pekerja mendapat gaji tetap dengan nilai tertentu (plus tambahan insentif). Pekerja yang tidak tidak masuk seminggu dalam sebulan pun mendapat gaji setara dengan mereka tidak pernah izin, mungkin yang membedakan adalah insentif harian.

Sedangkan upah per jam adalah gaji yang diterima dihitung berdasarkan jam kerja. Misalnya dalam sebulan bekerja 40 jam, maka gaji per jam dikalikan 40 dan itulah upah yang diterima setiap bulan. Jadi mereka yang tidak pernah izin bakal mendapat gaji lebih besar ketimbang yang sering absen.

Di Indonesia, upah per jam adalah barang yang asing. Namun di negara maju seperti AS, upah per jam adalah hal yang lazim, bahkan menjadi indikator utama.

Pada November 2019, upah pekerja non-pertanian di Negeri Paman Sam adalah US$ 28,29 per jam. Naik 0,2% dibandingkan bulan sebelumnya dan 3,1% secara YoY.



Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) begitu memperhatikan data ini. Saat pertumbuhan upah melambat, berarti terlihat bahwa aktivitas produksi sedang lesu. Output berkurang, pertumbuhan ekonomi melambat, dan ini bisa menjadi salah satu pertimbangan dalam pengambilan kebijakan moneter.

Baca: Data Tenaga Kerja AS Bagus, The Fed Batal Turunkan Bunga?

Inilah enaknya sistem upah per jam. Lebih rigid, lebih mudah dibaca, lebih jelas untuk dianalisis.

Kala dunia usaha berniat mengurangi produksi, apakah itu akibat konsolidasi internal perusahaan atau memang permintaan secara umum sedang menurun, maka jam kerja karyawan akan dikurangi. Otomatis upah yang diterima pun lebih sedikit, karena jam kerja yang lebih sedikit.


Secara kasat mata memang sistem penggajian per jam lebih jelas dan lebih adil, baik untuk pengusaha maupun pekerja. Pengusaha bisa menjalankan bisnis dengan lebih efisien, dan pekerja mendapat penghargaan sesuai dengan kontribusinya.

Namun ternyata buat pekerja, sistem ini agak memberatkan. Selama perusahaan terus menurunkan produksi alias output, maka upah yang didapat pekerja akan selalu minim.

Dalam situasi seperti 2019, di mana output industrial terus menurun, maka kesejahteraan karyawan tentu akan ikut terpukul. Pada awal 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan indeks produksi industri Indonesia masih 8,55% YoY. Pada Oktober 2019, pertumbuhannya menyusut menjadi tinggal 4,72% YoY.



Pelambatan pertumbuhan berarti dunia usaha nasional memang sedang dalam tren mengurangi output. Jika Indonesia sudah menerapkan upah jam-jaman, maka ini akan menyebabkan upah ikut turun.

Untungnya Indonesia masih menggunakan sistem upah bulanan, yang setiap tahun naik. Jadi walau produktivitas perusahaan turun, upah karyawan tidak ikut terpangkas bahkan terus naik mengikuti PP 78.

Ini menjadi elemen penting dalam menjaga konsumsi rumah tangga tetap tumbuh. Konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 50% dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.

Saat konsumsi rumah tangga terjaga, pertumbuhan ekonomi tidak akan mengalami hard landing meski perlambatan tidak bisa terelakkan di tengah masalah yang mendera ekspor dan investasi.

 

Sekarang bola ada di kaki pemerintah. Kira-kira mau menendang ke arah mana, tetap bulanan atau berubah ke jam-jaman?

Setiap pilihan tentu ada untung-ruginya. Tinggal ditimbang mana yang lebih banyak mendatangkan manfaat ketimbang mudarat.



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular