
Tok, PTBA Kembangkan Gasifikasi Batu Bara di Tanjung Enim!
Anisatul Umah, CNBC Indonesia
23 December 2019 18:29

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Bukit Asam (PTBA) memastikan akan memilih Tanjung Enim sebagai lokasi proyek gasifikasi. Direktur Utama PT Bukit Asam Tbk, (PTBA) Arviyan Arifin mengatakan terkait rencana pembangunan proyek gasifikasi pihaknya sudah melakukan joint venture agreement di Amerika Serikat tahun lalu dan studi kelayakan juga sudah selesai November 2019.
Berdasarkan studi tersebut dari dua lokasi antara Peranap di Indragiri Hulu, Riau dan Tanjung Enim Muara Enim, Sumatra Selatan, hasilnya lebih layak proyek dibangun di Tanjung Enim dengan pertimbangan dukungan infrastruktur dan lainnya. Selain itu dari segi belanja modal (capex) di Tanjung Enim juga lebih efisien.
"Dari hasil studi kita putuskan di Tanjung Enim," ungkapnya di Jakarta, Senin, (23/12/2019).
Untuk menggantikan gasifikasi di Peranab PTBA akan meneruskan proyek PLTU 1 Riau yang sebelumnya digarap PLN. Proyek hilirisasi lain yang akan dikembangkan yakni PLTU Sumsel 8 yang diproyeksikan selesai pada tahun 2021. "Rencana PLTU Riau 1 yang semula digarap PLN, kini PTBA diberi kesempatan kembangkan di sana, saya sudah berkirim surat ke PLN mudah-mudahan ada tangapan baik," harapnya.
Ia mengatakan terkait gasifikasi ada beberapa hal kunci, salah satunya teknologi. Soal teknologi menurutnya sudah teruji, karena di beberapa lokasi China sudah menghasilkan beberapa produk mulai dari gas, sampai dibuat produk yang lebih hilir lagi, bahkan avtur pun dibuat dari batu bara.
Tahap awal dari proyek gasifikasi ini akan diproses produk hilir dari gas menjadi methanol, dimethyl ether (DME), amonia, dan pupuk.
Selama ini, pemanfaatan batu bara hanya dimanfaatkan sebagai bahan bakar pembangkit listrik yang berdampak polusi di level downstream. Namun setelah diolah menjadi gas diharapkan akan lebih rendah emisi, yang artinya lebih ramah lingkungan.
"Kita juga meningkatkan nilai tambah, kalau batu bara nilainya 1, setelah menjadi matanol jadi 7-8 kali, DME 6-9 kali, petrochemical di atas 10 kali," ungkapnya.
Menurutnya nilai investasi dari proyek gasifikasi hingga petrokimia sangat besar, yakni US$ 3,5 miliar dan sudah ada investor yang masuk yakni Air Product dari Amerika Serikat (AS) beserta Pertamina dan PTBA.
Di lokasi Tanjung Enim menurutnya juga masih tersedia 3 miliar ton cadangan batu bara, sehingga tidak ada masalah untuk produksi.
Terkait skala keekonomian menurutnya sudah cukup baik mempertimbangkan harga batu bara. PTBA sudah bisa memasok kebutuhan batu bara. Produk hilir berupa DME atau setara dengan bahan bakar pengganti LPG akan banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia, sehingga akan berdampak ke pengurangan impor LPG.
Dalam joint venture agreement, PTBA dan Pertamina berbagi tugas. Di mana PTBA yang membangun industrinya dan Pertamina yang mengelola. Saat ini menurutnya masih dirundingkan terkait berapa jumlah produksi dan harganya.
"PTBA siap kembangkan industri gasifikasi dan jawab tantangan presiden," tandasnya.
Progres dari proyek gasifikasi saat ini masuk ke tahap Front End Engineering Design (FEED), setelah itu baru akan masuk ke tahap Engineering Procurement Construction (EPC), setelah itu baru beranjak ke tahap konstruksi.
"Semua tahap ini sedang berjalan, feasibility bankable, FS sudah layak dengan yang diharapkan investor dan PTBA," terangnya.
Selain DME sebagai produk hilir dari gasifikasi, produk hilir lain yang kemungkinan akan terserap adalah methanol. Kebutuhannya tinggi seiring dengan program biodiesel yang tengah dikerjakan pemerintah.
"B30 sebanyak 70% nya solar dan 30% nya nabati tapi semua itu perlu methanol. Di negara lain premium juga sudah dicampur dengan methanol dan etanol," jelasnya.
Ia menerangkan, dalam pengerjaan upstream, Air Product akan memiliki mayoritas saham, karena investasi besar dan risiko besar. Di mana dalam hal ini Air Product jauh lebih paham. Kemudian dalam pengerjaan downstream PTBA dan Pertamina akan punya porsi lebih besar, karena terkait teknologi di downstream sudah banyak yang implementasi.
"Downstream yang teknologi lebih banyak, bikin methanol, DME orang bisa. Ada dua Joint Venture (JV) di upstream dan downstream, US$ 3,5 miliar itu di dua-duanya. FS sudah selesai dan layak kita masuk FEED tahun 2020 lanjut EPC, langsung 36 bulan proyek jalan, ya sekitar 2023 atau 2024," paparnya.
(hoi/hoi) Next Article Ekonomi Membaik, Permintaan Batu Bara Diramal Naik di 2021
Berdasarkan studi tersebut dari dua lokasi antara Peranap di Indragiri Hulu, Riau dan Tanjung Enim Muara Enim, Sumatra Selatan, hasilnya lebih layak proyek dibangun di Tanjung Enim dengan pertimbangan dukungan infrastruktur dan lainnya. Selain itu dari segi belanja modal (capex) di Tanjung Enim juga lebih efisien.
"Dari hasil studi kita putuskan di Tanjung Enim," ungkapnya di Jakarta, Senin, (23/12/2019).
Ia mengatakan terkait gasifikasi ada beberapa hal kunci, salah satunya teknologi. Soal teknologi menurutnya sudah teruji, karena di beberapa lokasi China sudah menghasilkan beberapa produk mulai dari gas, sampai dibuat produk yang lebih hilir lagi, bahkan avtur pun dibuat dari batu bara.
Tahap awal dari proyek gasifikasi ini akan diproses produk hilir dari gas menjadi methanol, dimethyl ether (DME), amonia, dan pupuk.
Selama ini, pemanfaatan batu bara hanya dimanfaatkan sebagai bahan bakar pembangkit listrik yang berdampak polusi di level downstream. Namun setelah diolah menjadi gas diharapkan akan lebih rendah emisi, yang artinya lebih ramah lingkungan.
"Kita juga meningkatkan nilai tambah, kalau batu bara nilainya 1, setelah menjadi matanol jadi 7-8 kali, DME 6-9 kali, petrochemical di atas 10 kali," ungkapnya.
Menurutnya nilai investasi dari proyek gasifikasi hingga petrokimia sangat besar, yakni US$ 3,5 miliar dan sudah ada investor yang masuk yakni Air Product dari Amerika Serikat (AS) beserta Pertamina dan PTBA.
Di lokasi Tanjung Enim menurutnya juga masih tersedia 3 miliar ton cadangan batu bara, sehingga tidak ada masalah untuk produksi.
Terkait skala keekonomian menurutnya sudah cukup baik mempertimbangkan harga batu bara. PTBA sudah bisa memasok kebutuhan batu bara. Produk hilir berupa DME atau setara dengan bahan bakar pengganti LPG akan banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia, sehingga akan berdampak ke pengurangan impor LPG.
Dalam joint venture agreement, PTBA dan Pertamina berbagi tugas. Di mana PTBA yang membangun industrinya dan Pertamina yang mengelola. Saat ini menurutnya masih dirundingkan terkait berapa jumlah produksi dan harganya.
"PTBA siap kembangkan industri gasifikasi dan jawab tantangan presiden," tandasnya.
Progres dari proyek gasifikasi saat ini masuk ke tahap Front End Engineering Design (FEED), setelah itu baru akan masuk ke tahap Engineering Procurement Construction (EPC), setelah itu baru beranjak ke tahap konstruksi.
"Semua tahap ini sedang berjalan, feasibility bankable, FS sudah layak dengan yang diharapkan investor dan PTBA," terangnya.
Selain DME sebagai produk hilir dari gasifikasi, produk hilir lain yang kemungkinan akan terserap adalah methanol. Kebutuhannya tinggi seiring dengan program biodiesel yang tengah dikerjakan pemerintah.
"B30 sebanyak 70% nya solar dan 30% nya nabati tapi semua itu perlu methanol. Di negara lain premium juga sudah dicampur dengan methanol dan etanol," jelasnya.
Ia menerangkan, dalam pengerjaan upstream, Air Product akan memiliki mayoritas saham, karena investasi besar dan risiko besar. Di mana dalam hal ini Air Product jauh lebih paham. Kemudian dalam pengerjaan downstream PTBA dan Pertamina akan punya porsi lebih besar, karena terkait teknologi di downstream sudah banyak yang implementasi.
"Downstream yang teknologi lebih banyak, bikin methanol, DME orang bisa. Ada dua Joint Venture (JV) di upstream dan downstream, US$ 3,5 miliar itu di dua-duanya. FS sudah selesai dan layak kita masuk FEED tahun 2020 lanjut EPC, langsung 36 bulan proyek jalan, ya sekitar 2023 atau 2024," paparnya.
(hoi/hoi) Next Article Ekonomi Membaik, Permintaan Batu Bara Diramal Naik di 2021
Most Popular