
Ada Apa di Xinjiang? Ini yang Bikin China Ngotot Bertahan

Wilayah Xinjiang sejak era jalur sutera kuno telah dikenal sebagai penghasil batu mulia. Perut bumi Xinjiang menyimpan lebih dari 70 mineral non-logam, utamanya batu akik (gemstone), permata Khotan, giok (serpentine), dan muscovite.
Pada masa lampau, kawasan ini menjadi nadi perdagangan kekaisaran China menuju Asia Tengah hingga Timur Tengah dan Eropa. Bagi Beijing saat ini, Xinjiang juga merupakan nadi perdagangan mereka untuk memenangkan pasar global sesuai dengan visi New Silk Road.
Menurut catatan bea cukai Urumqi, sebagaimana dilaporkan oleh harian Xinhua (2019) pengiriman kargo melalui kereta (freight train) melonjak hingga 5.743 kali pada 10 bulan pertama 2019, tumbuh hingga 53,68% secara tahunan.
Angka tersebut juga sudah melampaui capaian 12 bulan tahun lalu. Saaat ini Xinjiang memiliki lebih dari 1,8 juta pelaku usaha, termasuk 359.000 korporasi. Angka ini terhitung naik 18% secara tahunan.
Dari kawasan ini, China mengekspor berbagai produk mulai bahan mentah, batu mulia, hingga laptop ke berbagai negara di antaranya Kyrgistan, Australia, Pakistan, Inggris, Argentina, dan Vietnam.
Oleh karena itu, tidak heran jika kita melihat konflik mengemuka menyusul ekspansi besar-besaran Beijing di kawasan tersebut sejak tahun 1980-an, dengan membawa tenaga ahli dan pekerja yang berpengalaman di sektor manufaktur dari China daratan, yang umumnya adalah etnis Han.
Ini menjadikan penduduk minoritas yang mayoritas berbahasa Turki merasa terpinggirkan di wilayahnya sendiri karena mereka secara natural tidak mampu bersaing di pasar tenaga kerja berbasis investasi dari China, yang memerlukan kemampuan berbahasa mandarin.
Menurut sensus pemerintah China pada tahun 1953, etnis Han hanya menyumbang 7% dari populasi Xinjiang. Namun pada tahun 1978 komposisi etnis Han meningkat pesat menjadi 40%, mengekor Uighur sebanyak 46%. Catatan terakhir pada 2000, etnis Uighur turun menjadi 40% dari populasi Xinjiang.
Kebijakan China yang cenderung Beijing-sentris dan menguntungkan suku pendatang (Han) menciptakan resistensi yang berujung pada munculnya Gerakan Turkistan Timur Merdeka. Mereka menggunakan sentimen etnis, agama dan ketimpangan ekonomi di Xinjiang sebagai modal untuk menarik dukungan.
Beijing menuding gerakan itu ditunggangi oleh kelompok muslim garis keras wahabi. Untuk mengatasinya, mereka mengambil kebijakan represif dengan menangkapi para aktivis, menghukum mati beberapa pemimpinnya, dan membangun fasilitas deradikalisasi yang belakangan dituding sebagai “kamp penyiksaan” atau “kamp cuci otak” oleh media Barat.
TIM RISET CNBC INDONESIA(ags/ags)