
Ada Apa di Xinjiang? Ini yang Bikin China Ngotot Bertahan

Jakarta, CNBC Indonesia - Xinjiang, rumah bagi kaum minoritas muslim Uighur, tengah menjadi sorotan menyusul laporan dugaan "kamp penyiksaan" China di kawasan berstatus otonomi tersebut. China mati-matian membela diri.
Berlokasi di Barat Laut China, kawasan seluas 1,7 juta kilometer ini merupakan kombinasi antara gurun dan danau yang tak bersentuhan langsung dengan laut (land-locked region). Namun, hanya 10% dari wilayah itu yang dihuni oleh masyarakat etnis Uighur, Hui, Kazakh, dan Han.
Kurang dari separuh, atau hanya 41,2% dari, wilayah Xinjiang yang bisa dikembangkan untuk pertanian, perkebunan, dan peternakan. Sisanya adalah padang gersang, tak memiliki pasokan air, dan tak berpenghuni.
Namun, justru di situlah letak kekayaan Xinjiang sebenarnya. Tanah-tanah tak bertuan ini justru menyimpan kekayaan alam yang sangat besar di perut buminya. Ini yang menjadikan China mati-matian mempertahankan cengkeramannya atas wilayah tersebut di tengah pemberitaan negatif atas operasi mereka di wilayah otonom tersebut.
Mengutip China.org, Xinjiang menyumbang 38% cadangan batu bara nasional, sedangkan minyak-gas menyumbang lebih dari seperempat total cadangan nasional. China.org merupakan situs informasi yang beroperasi di bawah Kantor Dewan Informasi Negara dan Grup Penerbit Internasional China (CPIG) di Beijing.
Pemerintah China sendiri mengestimasikan cadangan minyak di Xinjiang mencapai 21 miliar ton, setara dengan seperlima total cadangan nasional Negeri Panda. Produksi minyak pada tahun depan diperkirakan mencapai 35 juta metrik ton setahun.
Di luar itu, ada temuan sebanyak 122 mineral yang beberapa di antaranya menjadi penyumbang terbesar cadangan nasional, di antaranya beryllium yang merupakan bahan baku katoda untuk alat-alat elektronik, muscovite yang menjadi bahan baku kosmetik, dan mineral tahan api asbetos.
Demikian juga temuan cadangan bijih besi 730 juta ton, cadangan garam 318 juta ton, kristal mirabilite 170 juta ton and potassium nitrat sebanyak 2 juta ton. Potassium nitrat secara tradisional merupakan bahan baku peledak, dan kini digunakan sebagai bahan bakar roket.
Mayoritas mineral tersebut merupakan bahan baku penting untuk membangun industri elektronik dan juga pertahanan di masa mendatang. Tidak heran, pemerintah China sejak tahun 1970 menggenjot eksploitasi sumber daya alam di Xinjiang.
Mengutip The New York Times, sebanyak 53 BUMN China mulai dari energi, konstruksi, hingga teknologi telah menginvestasikan sebanyak US$300 miliar di 685 proyek di Xinjiang pada tahun 2014.Wilayah Xinjiang sejak era jalur sutera kuno telah dikenal sebagai penghasil batu mulia. Perut bumi Xinjiang menyimpan lebih dari 70 mineral non-logam, utamanya batu akik (gemstone), permata Khotan, giok (serpentine), dan muscovite.
Pada masa lampau, kawasan ini menjadi nadi perdagangan kekaisaran China menuju Asia Tengah hingga Timur Tengah dan Eropa. Bagi Beijing saat ini, Xinjiang juga merupakan nadi perdagangan mereka untuk memenangkan pasar global sesuai dengan visi New Silk Road.
Menurut catatan bea cukai Urumqi, sebagaimana dilaporkan oleh harian Xinhua (2019) pengiriman kargo melalui kereta (freight train) melonjak hingga 5.743 kali pada 10 bulan pertama 2019, tumbuh hingga 53,68% secara tahunan.
Angka tersebut juga sudah melampaui capaian 12 bulan tahun lalu. Saaat ini Xinjiang memiliki lebih dari 1,8 juta pelaku usaha, termasuk 359.000 korporasi. Angka ini terhitung naik 18% secara tahunan.
Dari kawasan ini, China mengekspor berbagai produk mulai bahan mentah, batu mulia, hingga laptop ke berbagai negara di antaranya Kyrgistan, Australia, Pakistan, Inggris, Argentina, dan Vietnam.
Oleh karena itu, tidak heran jika kita melihat konflik mengemuka menyusul ekspansi besar-besaran Beijing di kawasan tersebut sejak tahun 1980-an, dengan membawa tenaga ahli dan pekerja yang berpengalaman di sektor manufaktur dari China daratan, yang umumnya adalah etnis Han.
Ini menjadikan penduduk minoritas yang mayoritas berbahasa Turki merasa terpinggirkan di wilayahnya sendiri karena mereka secara natural tidak mampu bersaing di pasar tenaga kerja berbasis investasi dari China, yang memerlukan kemampuan berbahasa mandarin.
Menurut sensus pemerintah China pada tahun 1953, etnis Han hanya menyumbang 7% dari populasi Xinjiang. Namun pada tahun 1978 komposisi etnis Han meningkat pesat menjadi 40%, mengekor Uighur sebanyak 46%. Catatan terakhir pada 2000, etnis Uighur turun menjadi 40% dari populasi Xinjiang.
Kebijakan China yang cenderung Beijing-sentris dan menguntungkan suku pendatang (Han) menciptakan resistensi yang berujung pada munculnya Gerakan Turkistan Timur Merdeka. Mereka menggunakan sentimen etnis, agama dan ketimpangan ekonomi di Xinjiang sebagai modal untuk menarik dukungan.
Beijing menuding gerakan itu ditunggangi oleh kelompok muslim garis keras wahabi. Untuk mengatasinya, mereka mengambil kebijakan represif dengan menangkapi para aktivis, menghukum mati beberapa pemimpinnya, dan membangun fasilitas deradikalisasi yang belakangan dituding sebagai “kamp penyiksaan” atau “kamp cuci otak” oleh media Barat.
TIM RISET CNBC INDONESIA(ags/ags) Next Article Ini Komentar Resmi China Soal Kontroversi Muslim Uighur