
Belum Sembuh, Belanja Pemerintah Masih Lambat
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
19 December 2019 14:01

Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam situasi yang tidak biasa, seharusnya kita bersikap luar biasa. Ketika ekonomi melambat, sudah semestinya para pengambil kebijakan mengambil langkah-langkah yang tidak business as usual. Harus ada extra effort.
Namun di sisi kebijakan fiskal, sepertinya pola kerja business as usual masih dipertahankan. Ini bisa dilihat dari realisasi belanja negara.
Pada Januari-November 2019, realisasi belanja negara adalah Rp 2.046 triliun. Waktu yang tersisa tinggal sebulan, tetapi realisasi belanja negara masih 83,1% dari target.
Dibandingkan periode yang sama tahun lalu, secara nominal memang naik karena pada Januari-November 2018 total belanja negara adalah Rp 1.942,6 triliun. Namun secara persentase lebih rendah karena tahun lalu pencapaiannya adalah 87,5%.
Sangat disayangkan, karena kebijakan fiskal seharusnya lebih agresif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Meski peran konsumsi pemerintah tidak sampai 10% dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), tetapi pemerintah bisa menjadi penentu arah dan pembuka jalan masuknya pemain swasta. Kalau pemerintah seadanya, dunia usaha juga alakadarnya.
Dikuliti lebih dalam, penyerapan belanja negara pun kurang menggembirakan. Pertama belanja pegawai yang tercatat Rp 223,8 triliun atau 99,7%. Tidak ada isu di sini, belanja pegawai adalah pengeluaran rutin bagi para Aparatur Sipil Negara.
Kedua belanja barang. Pada Januari-November 2019 belanja barang tercatat Rp 258,8 triliun atau 78% dari target. Not bad lah, secara persentase pun hanya sedikit turun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 78,2%.
Masalahnya ada di poin ketiga yaitu belanja modal. Dalam 10 bulan pertama 2019, realisasi penyerapan belanja modal adalah Rp 119,5 triliun. Hanya 63,1% dari target dan turun 6,8% dibandingkan periode yang sama pada 2018.
Belanja modal adalah pengeluaran yang menggerakkan roda perekonomian, punya efek ikutan (multiplier effect) yang menciptakan aktivitas ekonomi baru. Namun belanja yang seperti ini malah turun.
Padahal kalau digenjot bisa menjadi stimulus yang merangsang pertumbuhan ekonomi. Lebih disayangkan lagi, rata-rata pertumbuhan belanja modal dalam empat tahun terakhir negatif 2%.
Tahun ini Indonesia menghadapi situasi yang tidak mudah. Ekspor terpukul gara-gara perang dagang Amerika Serikat (AS)-China yang merusak rantai pasok dunia. Sudah 13 bulan beruntun ekspor Indonesia tumbuh negatif (terkontraksi).
Kala ekspor terpukul, maka investasi akan lesu. Sebab namanya pengusaha tentu tidak bisa mengandalkan pasar dalam negeri saja, harus menjual barang ke luar negeri.
Namun sekarang melepas produk ke pasar ekspor sedang susah, jadi dunia usaha memilih untuk menahan diri. Tidak ada investasi baru, yang ada malah mengurangi produksi.
Ketika investasi lesu, rentetan berikutnya adalah konsumsi. Jika keuntungan korporasi turun dan tidak ada investasi baru, maka sulit bagi pekerja untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Pembukaan lapangan kerja baru pun berkurang. Akibatnya, konsumsi rumah tangga pasti terpengaruh.
Jadi sebenarnya hanya satu sumber pertumbuhan ekonomi yang bisa diandalkan yaitu konsumsi pemerintah. Namun ternyata pada kuartal III-2019 konsumsi pemerintah hanya tumbuh 0,98% year-on-year (YoY).
Sekarang 2019 sudah hampir selesai, lupakan saja. Tahun depan situasinya masih penuh tantangan. Apalagi kalau Presiden AS Donald Trump sampai benar-benar dilengserkan, maka ketidakpastian di perekonomian global semakin besar.
Oleh karena itu, pemerintah tidak bisa lagi bersikap sama. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus betul-betul menjadi instrumen pendorong pertumbuhan ekonomi. Penyerapan anggaran tidak boleh lambat, harus lebih cepat tanpa mengabaikan kualitas.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Belanja Modal Baru 33% Jadi Perhatian Sri Mulyani
Namun di sisi kebijakan fiskal, sepertinya pola kerja business as usual masih dipertahankan. Ini bisa dilihat dari realisasi belanja negara.
Pada Januari-November 2019, realisasi belanja negara adalah Rp 2.046 triliun. Waktu yang tersisa tinggal sebulan, tetapi realisasi belanja negara masih 83,1% dari target.
Sangat disayangkan, karena kebijakan fiskal seharusnya lebih agresif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Meski peran konsumsi pemerintah tidak sampai 10% dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), tetapi pemerintah bisa menjadi penentu arah dan pembuka jalan masuknya pemain swasta. Kalau pemerintah seadanya, dunia usaha juga alakadarnya.
Dikuliti lebih dalam, penyerapan belanja negara pun kurang menggembirakan. Pertama belanja pegawai yang tercatat Rp 223,8 triliun atau 99,7%. Tidak ada isu di sini, belanja pegawai adalah pengeluaran rutin bagi para Aparatur Sipil Negara.
Kedua belanja barang. Pada Januari-November 2019 belanja barang tercatat Rp 258,8 triliun atau 78% dari target. Not bad lah, secara persentase pun hanya sedikit turun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 78,2%.
Masalahnya ada di poin ketiga yaitu belanja modal. Dalam 10 bulan pertama 2019, realisasi penyerapan belanja modal adalah Rp 119,5 triliun. Hanya 63,1% dari target dan turun 6,8% dibandingkan periode yang sama pada 2018.
Belanja modal adalah pengeluaran yang menggerakkan roda perekonomian, punya efek ikutan (multiplier effect) yang menciptakan aktivitas ekonomi baru. Namun belanja yang seperti ini malah turun.
Padahal kalau digenjot bisa menjadi stimulus yang merangsang pertumbuhan ekonomi. Lebih disayangkan lagi, rata-rata pertumbuhan belanja modal dalam empat tahun terakhir negatif 2%.
Tahun ini Indonesia menghadapi situasi yang tidak mudah. Ekspor terpukul gara-gara perang dagang Amerika Serikat (AS)-China yang merusak rantai pasok dunia. Sudah 13 bulan beruntun ekspor Indonesia tumbuh negatif (terkontraksi).
Kala ekspor terpukul, maka investasi akan lesu. Sebab namanya pengusaha tentu tidak bisa mengandalkan pasar dalam negeri saja, harus menjual barang ke luar negeri.
Namun sekarang melepas produk ke pasar ekspor sedang susah, jadi dunia usaha memilih untuk menahan diri. Tidak ada investasi baru, yang ada malah mengurangi produksi.
Ketika investasi lesu, rentetan berikutnya adalah konsumsi. Jika keuntungan korporasi turun dan tidak ada investasi baru, maka sulit bagi pekerja untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Pembukaan lapangan kerja baru pun berkurang. Akibatnya, konsumsi rumah tangga pasti terpengaruh.
Jadi sebenarnya hanya satu sumber pertumbuhan ekonomi yang bisa diandalkan yaitu konsumsi pemerintah. Namun ternyata pada kuartal III-2019 konsumsi pemerintah hanya tumbuh 0,98% year-on-year (YoY).
Sekarang 2019 sudah hampir selesai, lupakan saja. Tahun depan situasinya masih penuh tantangan. Apalagi kalau Presiden AS Donald Trump sampai benar-benar dilengserkan, maka ketidakpastian di perekonomian global semakin besar.
Oleh karena itu, pemerintah tidak bisa lagi bersikap sama. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus betul-betul menjadi instrumen pendorong pertumbuhan ekonomi. Penyerapan anggaran tidak boleh lambat, harus lebih cepat tanpa mengabaikan kualitas.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Belanja Modal Baru 33% Jadi Perhatian Sri Mulyani
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular