
Minyak AS Murah, Erick Ingin Pertamina Beli Lebih Banyak
Lidya Julita Sembiring, CNBC Indonesia
13 December 2019 15:10

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri BUMN, Erick Thohir, mengungkapkanĀ PT Pertamina (Persero) baru saja memutuskan membeli minyak mentah dari Amerika Serikat (AS) pada tender yang baru saja dilakukan.
Minyak dari AS ini, ujar Erick, lebih murah US$ 5-US$ 6/barel dibandingkan minyak mentah yang biasa dibeli Pertamina.
"Jadi kemarin tender di Pertamina. Kita lihat juga crude oil dari AS. Alhamdulillah harganya lebih murah US$ 5-6. Jadi itu ada penghematan hampir Rp 280 miliar," ujar Erick di Jakarta, Jumat (13/12/2019).
"Bisa saja kalau kita pembelian minyak dari AS kita besarkan. Bukan berarti semua ya, nanti bisa jadi KKN baru. Itu bisa menghemat Rp 1 triliun," imbuh Erick.
Erick ingin, ke depan Pertamina bisa mencari sumber minyak yang harganya murah, dan pembelian dilakukan tanpa trader alias makelar. "Harus langsung ke produsen, kan juga menguntungkan," ungkap Erick.
Pada kesempatan itu, Erick juga mengatakan dirinya ingin Pertamina bisa menekan angka impor minyak dan gas seperti yang ditugaskan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dalam data Badan Pusat Statistik (BPS), pada periode Januari-Oktober 2019 angka impor migas Indonesia mencapai US$ 17,617 miliar atau Rp 246,6 triliun turun tipis dari periode yang sama tahun lalu US$ 24,97 miliar. Sementara ekspor migas Indonesia pada periode yang sama tercatat US$ 10,347 miliar, turun dari periode yang sama tahun lalu US$ 14,152 miliar.
Impor minyak mentah Januari-Oktober 2019 tercatat US$ 4,343 miliar, turun dari periode yang sama tahun lalu US$ 7,832 miliar. Sementara impor hasil minyak termasuk BBM tercatat US$ 11,195 miliar atau sekitar Rp 156,7 triliun, turun dari periode yang sama tahun lalu US$ 14,575 miliar.
Sejak 2011 Indonesia mengidap penyakit kronis yang bernama defisit transaksi berjalan (CAD). Defisit paling parah tercatat di 2018 yang mencapai 3% dari produk domestik bruto (PDB).
Penyebab penyakit tersebut apalagi kalau bukan impor minyak yang jor-joran. Keran impor minyak yang terbuka lebar membuat neraca migas Indonesia terus mencatatkan defisit.
Pemerintah harus serius menangani masalah ini. Pasalnya lifting minyak terus mengalami penurunan sedangkan konsumsi minyak terus meningkat. Umur sumur dan lapangan minyak serta infrastruktur yang semakin tua menyebabkan lifting menjadi semakin kecil.
Lifting atau produksi minyak Indonesia tercatat terus turun. Dari rata-rata 829 ribu barel per hari di 2016 menjadi 745 ribu barel per hari di 2019. Lifting tertinggi tercatat di 2010 sebesar 953,9 ribu barel per hari.
(wed/wed) Next Article PR Ahok di Pertamina Berat, Beresin Impor hingga Mafia Migas
Minyak dari AS ini, ujar Erick, lebih murah US$ 5-US$ 6/barel dibandingkan minyak mentah yang biasa dibeli Pertamina.
"Jadi kemarin tender di Pertamina. Kita lihat juga crude oil dari AS. Alhamdulillah harganya lebih murah US$ 5-6. Jadi itu ada penghematan hampir Rp 280 miliar," ujar Erick di Jakarta, Jumat (13/12/2019).
Erick ingin, ke depan Pertamina bisa mencari sumber minyak yang harganya murah, dan pembelian dilakukan tanpa trader alias makelar. "Harus langsung ke produsen, kan juga menguntungkan," ungkap Erick.
Pada kesempatan itu, Erick juga mengatakan dirinya ingin Pertamina bisa menekan angka impor minyak dan gas seperti yang ditugaskan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dalam data Badan Pusat Statistik (BPS), pada periode Januari-Oktober 2019 angka impor migas Indonesia mencapai US$ 17,617 miliar atau Rp 246,6 triliun turun tipis dari periode yang sama tahun lalu US$ 24,97 miliar. Sementara ekspor migas Indonesia pada periode yang sama tercatat US$ 10,347 miliar, turun dari periode yang sama tahun lalu US$ 14,152 miliar.
Impor minyak mentah Januari-Oktober 2019 tercatat US$ 4,343 miliar, turun dari periode yang sama tahun lalu US$ 7,832 miliar. Sementara impor hasil minyak termasuk BBM tercatat US$ 11,195 miliar atau sekitar Rp 156,7 triliun, turun dari periode yang sama tahun lalu US$ 14,575 miliar.
Sejak 2011 Indonesia mengidap penyakit kronis yang bernama defisit transaksi berjalan (CAD). Defisit paling parah tercatat di 2018 yang mencapai 3% dari produk domestik bruto (PDB).
Penyebab penyakit tersebut apalagi kalau bukan impor minyak yang jor-joran. Keran impor minyak yang terbuka lebar membuat neraca migas Indonesia terus mencatatkan defisit.
Pemerintah harus serius menangani masalah ini. Pasalnya lifting minyak terus mengalami penurunan sedangkan konsumsi minyak terus meningkat. Umur sumur dan lapangan minyak serta infrastruktur yang semakin tua menyebabkan lifting menjadi semakin kecil.
Lifting atau produksi minyak Indonesia tercatat terus turun. Dari rata-rata 829 ribu barel per hari di 2016 menjadi 745 ribu barel per hari di 2019. Lifting tertinggi tercatat di 2010 sebesar 953,9 ribu barel per hari.
(wed/wed) Next Article PR Ahok di Pertamina Berat, Beresin Impor hingga Mafia Migas
Most Popular