
30 Tahun & 11 Dirut Pertamina, Tak Ada Kilang Baru di RI
Gustidha Budiartie, CNBC Indonesia
11 December 2019 12:59

Jakarta, CNBC Indonesia- Terakhir kali Indonesia membangun kilang adalah tahun 1995 dengan dibangunnya kilang Balongan . Artinya, sudah hampir 30 tahun atau tepatnya 24 tahun tak ada pembangunan kilang lagi di Indonesia.
Sejak 1995 sampai sekarang, berdasar catatan PT Pertamina (Persero) sudah berganti sampai 11 kali direktur utama definitif atau tetap. Mulai dari Soegianto, Martiono Hadianto, Ari Soemarno, Karen Agustiawan, Dwi Soetjipto, Elia Massa Manik, dan terakhir Nicke Widyawati. Tetap juga Pertamina belum sanggup bangun kilang baru.
Ini bikin Presiden Joko Widodo (Jokowi) geregetan bukan main. "Kenapa 30 tahun lebih kita tidak bangun satu kilang pun, padahal kilang ini ada produk turunannya. Masak sih kita masih impor terus. Ini ada apa? Ini gede banget kalau kita bisa membangun kilang," tutur Jokowi di Istana Negara pada 2 Desember 2019 lalu.
Proyek pengembangan kilang dan pembangunan kilang baru sebenarnya sudah digagas dan masuk dalam proyek strategis nasional sejak Jokowi menjabat sebagai presiden 2014 lalu. Namun 5 tahun berjalan pemerintahannya, rencana pembangunan kilang masih mentok di atas kertas.
Berdasarkan data Pertamina, kapasitas kilang yang ada saat ini hanya 1 juta barel per hari (bph). Jika proyek pengembangan dan pembangunan kilang minyak direalisasikan maka kapasitas tersebut meningkat menjadi 2 juta bph.
Proyek revitalisasi kilang minyak yang tertuang dalam Refinery Development Master Plan menargetkan ada 5 kilang yang diremajakan. Kilang minyak yang ditargetkan untuk peremajaan adalah Cilacap, Jawa Tengah; Balongan, Jawa Barat; Dumai, Riau; Balikpapan, Kalimantan Timur; dan Plaju, Sumatera Selatan.
Proyek ini ditargetkan mulai beroperasi pada 2021 dan menelan biaya Rp 246,2 triliun melalui skema penugasan BUMN dalam hal ini PT Pertamina Persero. Saat ini status proyek revitalisasi ini berada di tahap transaksi berdasarkan keterangan KPPIP.
Jokowi tentu tak sembarangan berkali-kali menekankan pentingnya pembangunan kilang.
Terakhir konsumsi minyak orang Indonesia bisa mencapai 1,5 juta bph sementara kapasitas lifting cuma 750.000 bph. Artinya ada gap di sana. Belum lagi minyak harus diolah untuk menjadi berbagai macam produk salah satunya BBM.
Karena kapasitas kilang cuma 1 juta bph dan masyarakat Indonesia banyak mengkonsumsi BBM maka untuk menambal kekurangan ya harus impor. Impor hasil minyak inilah yang membuat neraca migas tanah air tekor.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan impor hasil minyak periode Januari-Oktober 2019 mencapai US$ 11,2 miliar. Sementara hasil ekspor hasil minyak hanya US$ 1,6 miliar. Artinya negara tekor US$ 9,6 miliar. Nilai yang fantastis tentunya.
Seandainya kilang sudah jadi dari dulu, RI tentunya tak akan setekor ini.
(gus/gus) Next Article Jokowi Curiga: 30 Tahun RI Tak Bangun Kilang Minyak, Ada Apa?
Sejak 1995 sampai sekarang, berdasar catatan PT Pertamina (Persero) sudah berganti sampai 11 kali direktur utama definitif atau tetap. Mulai dari Soegianto, Martiono Hadianto, Ari Soemarno, Karen Agustiawan, Dwi Soetjipto, Elia Massa Manik, dan terakhir Nicke Widyawati. Tetap juga Pertamina belum sanggup bangun kilang baru.
Ini bikin Presiden Joko Widodo (Jokowi) geregetan bukan main. "Kenapa 30 tahun lebih kita tidak bangun satu kilang pun, padahal kilang ini ada produk turunannya. Masak sih kita masih impor terus. Ini ada apa? Ini gede banget kalau kita bisa membangun kilang," tutur Jokowi di Istana Negara pada 2 Desember 2019 lalu.
Berdasarkan data Pertamina, kapasitas kilang yang ada saat ini hanya 1 juta barel per hari (bph). Jika proyek pengembangan dan pembangunan kilang minyak direalisasikan maka kapasitas tersebut meningkat menjadi 2 juta bph.
Proyek revitalisasi kilang minyak yang tertuang dalam Refinery Development Master Plan menargetkan ada 5 kilang yang diremajakan. Kilang minyak yang ditargetkan untuk peremajaan adalah Cilacap, Jawa Tengah; Balongan, Jawa Barat; Dumai, Riau; Balikpapan, Kalimantan Timur; dan Plaju, Sumatera Selatan.
Proyek ini ditargetkan mulai beroperasi pada 2021 dan menelan biaya Rp 246,2 triliun melalui skema penugasan BUMN dalam hal ini PT Pertamina Persero. Saat ini status proyek revitalisasi ini berada di tahap transaksi berdasarkan keterangan KPPIP.
Jokowi tentu tak sembarangan berkali-kali menekankan pentingnya pembangunan kilang.
Terakhir konsumsi minyak orang Indonesia bisa mencapai 1,5 juta bph sementara kapasitas lifting cuma 750.000 bph. Artinya ada gap di sana. Belum lagi minyak harus diolah untuk menjadi berbagai macam produk salah satunya BBM.
Karena kapasitas kilang cuma 1 juta bph dan masyarakat Indonesia banyak mengkonsumsi BBM maka untuk menambal kekurangan ya harus impor. Impor hasil minyak inilah yang membuat neraca migas tanah air tekor.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan impor hasil minyak periode Januari-Oktober 2019 mencapai US$ 11,2 miliar. Sementara hasil ekspor hasil minyak hanya US$ 1,6 miliar. Artinya negara tekor US$ 9,6 miliar. Nilai yang fantastis tentunya.
Seandainya kilang sudah jadi dari dulu, RI tentunya tak akan setekor ini.
(gus/gus) Next Article Jokowi Curiga: 30 Tahun RI Tak Bangun Kilang Minyak, Ada Apa?
Most Popular