Jokowi Kesal RI Tak Bangun Kilang, Pertamina-Arab belum Deal
Gustidha Budiartie, CNBC Indonesia
11 December 2019 12:27

Jakarta, CNBC Indonesia- Presiden Joko Widodo (Jokowi) kesal bukan main karena tak ada pembangunan kilang di Indonesia dalam hampir 30 tahun terakhir. Kilang terakhir dibangun pada tahun 1995.
"Kenapa 30 tahun lebih kita tidak bangun satu kilang pun, padahal kilang ini ada produk turunannya. Masak sih kita masih impor terus. Ini ada apa? Ini gede banget kalau kita bisa membangun kilang," tutur Jokowi di Istana Negara pada 2 Desember 2019 lalu.
Proyek pengembangan kilang dan pembangunan kilang baru sebenarnya sudah digagas dan masuk dalam proyek strategis nasional sejak Jokowi menjabat sebagai presiden 2014 lalu. Namun 5 tahun berjalan pemerintahannya, rencana pembangunan kilang masih mentok di atas kertas.
Salah satu proyek yang diandalkan untuk bisa dimulai cepet adalah pengembangan Kilang Cilacap. Pembangunan kilang ini bahkan ditargetkan oleh Jokowi untuk segera ditentukan nasibnya tahun ini. Menjadi salah satu amanat urgent yang harus dijalankan oleh Menteri BUMN Erick Thohir dan Direktur Utama PT Pertamina (Persero).
Dengan revitalisasi ini, kilang Cilacap akan naik kapasitasnya menjadi 400 ribu barel per hari. Saudi Aramco, perusahaan minyak raksasa asal Arab, sudah berniat dan melirik investasi di proyek ini sejak 2014 lalu. Tapi, masih tarik ulur sampai saat ini.
Investasi kilang Cilacap memang masih menanti hitungan pasti yang sedang diaudit oleh lembaga audit. Ada selisih nilai valuasi antara PT Pertamina (Persero) dan calon investor raksasa Saudi Aramco. Nilai awal, investasi diperkirakan bisa mencapai US$ 5,6 miliar atau setara Rp 78,4 triliun dengan asumsi kurs Rp 14.000/US$.
Selisih ini artinya ada kemajuan di lobi beberapa waktu ini. Semula valuasi nilai yang diajukan adalah US$ 5,6 miliar lalu ditawar oleh Saudi Aramco menjadi US$ 2,8 miliar, artinya ada perbedaan nilai 2 kali lipat. Jika tersisa selisih US$ 1,5 miliar dari valuasi, artinya lobi sudah digenjot ke angka US$ 4,1 miliar.
Tapi, angka ini masih belum juga memuaskan Pertamina dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan.
Menurut Luhut, selisih US$ 1,5 miliar ini sangat disayangkan. "Kan sayang, Pertamina sudah masuk US$ 1 miliar ya udah nanti Pertamina dengan siapa saja kerjainnya. Nanti Aramco proyek yang lain," ujar Luhut di kantornya kemarin.
Kalau memang diskusi ini harus berakhir buntu dan Pertamina harus jalan sendiri tentu sangat disayangkan dan tentunya memberatkan. Risiko yang ditanggung Pertamina ketika berjalan sendiri bukanlah risiko yang kecil, baik dari segi risiko finansial maupun risiko lainnya. Potensi risiko yang ditanggung Pertamina itu harus jadi poin pertimbangannya.
Kerja sama yang ditawarkan ke Aramco merupakan metode pembiayaan berbasis ekuitas Joint Venture Development Agreement (JVDA). Pembiayaan dengan JVDA memungkinkan adanya risk sharing antara kedua belah pihak sehingga risiko tidak hanya Pertamina saja yang menanggung. Belum lagi ditambah keunggulan Aramco yang mampu menyediakan pasokan minyak mentah.
Jika diskusi dengan Aramco benar-benar buntu metode ini juga dapat ditawarkan ke investor strategis lainnya. Namun pertanyaannya adalah apakah investor lainnya juga memiliki keunggulan seperti Aramco? Itu pertanyaan besarnya.
Praktisi migas dari Bimasena Energy Team yang juga eks bos Pertamina, Ari Soemarno, mengatakan sangat berisiko bagi Indonesia jika kerja sama ini dibatalkan. "Kalau Aramco batal masuk, bisa-bisa proyek kilang tidak jadi dibangun. Ini adalah kunci, untuk melihat progres kilang lainnya."
(gus/wed) Next Article Ini Curhat Jokowi Soal 30 Tahun Tak Ada Kilang Baru
"Kenapa 30 tahun lebih kita tidak bangun satu kilang pun, padahal kilang ini ada produk turunannya. Masak sih kita masih impor terus. Ini ada apa? Ini gede banget kalau kita bisa membangun kilang," tutur Jokowi di Istana Negara pada 2 Desember 2019 lalu.
Proyek pengembangan kilang dan pembangunan kilang baru sebenarnya sudah digagas dan masuk dalam proyek strategis nasional sejak Jokowi menjabat sebagai presiden 2014 lalu. Namun 5 tahun berjalan pemerintahannya, rencana pembangunan kilang masih mentok di atas kertas.
Dengan revitalisasi ini, kilang Cilacap akan naik kapasitasnya menjadi 400 ribu barel per hari. Saudi Aramco, perusahaan minyak raksasa asal Arab, sudah berniat dan melirik investasi di proyek ini sejak 2014 lalu. Tapi, masih tarik ulur sampai saat ini.
Investasi kilang Cilacap memang masih menanti hitungan pasti yang sedang diaudit oleh lembaga audit. Ada selisih nilai valuasi antara PT Pertamina (Persero) dan calon investor raksasa Saudi Aramco. Nilai awal, investasi diperkirakan bisa mencapai US$ 5,6 miliar atau setara Rp 78,4 triliun dengan asumsi kurs Rp 14.000/US$.
Selisih ini artinya ada kemajuan di lobi beberapa waktu ini. Semula valuasi nilai yang diajukan adalah US$ 5,6 miliar lalu ditawar oleh Saudi Aramco menjadi US$ 2,8 miliar, artinya ada perbedaan nilai 2 kali lipat. Jika tersisa selisih US$ 1,5 miliar dari valuasi, artinya lobi sudah digenjot ke angka US$ 4,1 miliar.
Tapi, angka ini masih belum juga memuaskan Pertamina dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan.
Menurut Luhut, selisih US$ 1,5 miliar ini sangat disayangkan. "Kan sayang, Pertamina sudah masuk US$ 1 miliar ya udah nanti Pertamina dengan siapa saja kerjainnya. Nanti Aramco proyek yang lain," ujar Luhut di kantornya kemarin.
Kalau memang diskusi ini harus berakhir buntu dan Pertamina harus jalan sendiri tentu sangat disayangkan dan tentunya memberatkan. Risiko yang ditanggung Pertamina ketika berjalan sendiri bukanlah risiko yang kecil, baik dari segi risiko finansial maupun risiko lainnya. Potensi risiko yang ditanggung Pertamina itu harus jadi poin pertimbangannya.
Kerja sama yang ditawarkan ke Aramco merupakan metode pembiayaan berbasis ekuitas Joint Venture Development Agreement (JVDA). Pembiayaan dengan JVDA memungkinkan adanya risk sharing antara kedua belah pihak sehingga risiko tidak hanya Pertamina saja yang menanggung. Belum lagi ditambah keunggulan Aramco yang mampu menyediakan pasokan minyak mentah.
Jika diskusi dengan Aramco benar-benar buntu metode ini juga dapat ditawarkan ke investor strategis lainnya. Namun pertanyaannya adalah apakah investor lainnya juga memiliki keunggulan seperti Aramco? Itu pertanyaan besarnya.
Praktisi migas dari Bimasena Energy Team yang juga eks bos Pertamina, Ari Soemarno, mengatakan sangat berisiko bagi Indonesia jika kerja sama ini dibatalkan. "Kalau Aramco batal masuk, bisa-bisa proyek kilang tidak jadi dibangun. Ini adalah kunci, untuk melihat progres kilang lainnya."
(gus/wed) Next Article Ini Curhat Jokowi Soal 30 Tahun Tak Ada Kilang Baru
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular