Ekonomi Australia Membaik, Tapi Apakah Bebas Risiko Resesi?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 December 2019 12:08
Ekonomi Australia Membaik, Tapi Apakah Bebas Risiko Resesi?
Gedung Opera Sydney, Australia (REUTERS/John Mair)
Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah negara menunjukkan perbaikan dalam performa ekonomi mereka. Namun, bukan berarti ancaman perlambatan ekonomi bahkan resesi sudah pergi.

Teranyar, Australia mengumumkan data pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019 sebesar 1,7% year-on-year. Lebih baik dibandingkan kuartal sebelumnya yang tumbuh 1,4%.

Selepas kuartal II-2018, pertumbuhan ekonomi Negeri Kanguru terus melambat. Dari yang awalnya bisa tumbuh di kisaran 3%, ekonomi Australia tumbuh melambat ke kisaran 1%. Puncak (atau dasar) terjadi pada kuartal II-2019, di mana ekonomi Australia hanya tumbuh 1,4%, terendah sejak kuartal III-2009.


 

Namun pada kuartal III-2019, akhirnya ekonomi Australia terakselerasi. Ini memunculkan harapan bahwa perlambatan ekonomi di sana sudah mencapai dasar dan mulai terangkat (bottoming out).

Salah satu faktor yang menopang pertumbuhan ekonomi Australia adalah kenaikan harga batu bara. Meski harga si batu hitam masih dalam tren turun, tetapi pada Juli-September 2019 mencatat kenaikan 6,69% point-to-point.



Batu bara adalah komoditas andalan ekspor Australia. Pada 2018, ekspor bahan bakar mineral (yang didominasi batu bara) Australia adalah US$ 87,7 miliar. Angka ini menyumbang 34,6% dari total ekspor.

Akan tetapi, bukan berarti Australia bisa berleha-leha. Ke depan, tantangan masih berat terutama terkait batu bara.

Bank Dunia memperkirakan rata-rata harga batu bara tahun ini adalah US$ 79/metrik ton. Tahun depan, harga diperkirakan turun menjadi rata-rata US$ 71/metrik ton dan pada 2021 kembali turun ke US$ 69,8/metrik ton.

"Konsumsi batu bara turun drastis di negara-negara maju, karena upaya pengurangan emisi. Di Amerika Serikat (AS), konsumsi batu bara turun 17% YoY pada kuartal II-2019, setelah turun 6% pada periode yang sama tahun sebelumnya. Harga gas alam yang murah mendorong percepatan perpindahan dari batu bara untuk pembangkit listrik," sebut laporan Bank Dunia.


Awal Oktober lalu, lembaga pemeringkat Fitch Ratings memperkirakan ekonomi Australia pada 2020 sebesar 2,5%. Kalau sampai kejadian, maka akan menjadi laju terlemah selama delapan tahun terakhir.


Australia memang belum resesi, tetapi perlambatan ekonomi sudah terpampang nyata. Kalau ini terjadi, bagaimana dampaknya terhadap Indonesia?

Sepanjang Januari-September 2019, nilai ekspor Indonesia ke Australia adalah US$ 1,75 miliar. Dengan total ekspor yang mencapai US$ 124,17 miliar, porsi Australia hanya 1,41%.

Dari sisi investasi, Penanaman Modal Asing (PMA) dari Australia sepanjang Januari-September 2019 adalah US$ 264,63 juta. Australia menjadi investor nomor 11, tidak masuk 10 besar.

Kalau melihat angka ekspor dan PMA, Australia memang insignifikan. Ekspor dan investasi negara lain punya peran yang lebih besar.

Akan tetapi, pelaku pasar tentu panik kalau Australia sampai terserang resesi. Pasalnya, Australia adalah pemegang rekor negara dengan fase pertumbuhan ekonomi terlama di dunia.

Ekonomi Australia selalu tumbuh dalam 27 tahun terakhir, tidak pernah kontraksi. Padahal 34 negara anggota Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) setidaknya pernah mengalami resesi (dua kali kontraksi ekonomi dalam tahun yang sama) sejak 1991. Sebagian besar anggota OECD bahkan pernah dua kali terjerat resesi yaitu pada 2001 gara-gara dotcom bubble dan 2008 karena krisis keuangan dunia.

Jadi kalau Australia sampai resesi, maka dampaknya bakal luar biasa. Apabila negara yang begitu kuat, persisten, dan tahan seperti Australia saja bisa resesi, apa kabar negara-negara lain yang lebih rapuh?

Ini tentu akan menjadi sentimen negatif di pasar, yang membuat investor menghindari aset-aset berisiko di negara berkembang. Akibatnya, pasar keuangan Indonesia akan tertekan.

Kalau sektor keuangan bermasalah, maka tinggal menunggu waktu tekanan itu akan menular ke sektor riil. Sebab, akses pembiayaan akan semakin terbatas sehingga ekspansi sektor riil menjadi seret.


TIM RISET CNBC INDONESIA



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular