Di Balik Misteri 'Desa Setan' yang Diungkap Sri Mulyani

Chandra Gian Asmara & Muhammad Choirul Anwar, CNBC Indonesia
20 November 2019 06:21
Di Balik Misteri 'Desa Setan' yang Diungkap Sri Mulyani
Foto: Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC IndonesiaBelakangan, frasa 'desa fiktif', 'desa siluman', hingga 'desa fiktif', mengemuka hingga jadi perbincangan publik. Frasa itu mengacu kepada desa yang tidak memiliki penduduk, namun menerima Dana Desa.

Hal itu diungkapkan Sri Mulyani dalam rapat kerja antara Komisi XI DPR RI dengan Kementerian Keuangan di Gedung DPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/11/2019).


Saat itu, Sri Mulyani mengatakan, walaupun dana desa diberikan setiap tahun, masih ada sekitar 20 ribu desa tertinggal.

"Karena transfer yang ajek dari APBN, muncul desa-desa baru yang gak ada penduduknya. Karena mereka lihat adanya jumlah yang ditransfer setiap tahunnya," kata Sri Mulyani.

Pernyataan Sri Mulyani tak ayal memicu diskusi di ranah publik. Sampai-sampai, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar ikut berkomentar.

Ia membantah apabila ada 'desa setan' penerima dana desa. Hal itu disampaikannya ketika ditemui di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (8/11/2019).

"Iya. Sejauh ini belum ada," ujarnya.

Politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu menegaskan, tidak ada 'desa setan' penerima dana desa di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Sebab, di desa-desa tersebut, ada penduduk dan sudah mendapat manfaat dana desa.

"Ada. Ada pertanggung jawabannya," kata Abdul Halim.

Di Balik Misteri 'Desa Setan' yang Diungkap Sri MulyaniFoto: Abdul Halim (CNBC Indonesia/Tri Susilo)


Lebih lanjut, kakak kandung Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar itu mengatakan, persepsi pemahaman terkait 'desa setan' harus disamakan.

"Karena kalau yang dimaksud fiktif itu sesuatu yang gak ada, kemudian dikucuri dana dan dana gak bisa dipertanggung jawabkan, itu gak ada. Karena desanya ada, penduduknya ada, pemerintahan ada, dana dikucurkan iya, pertanggung jawaban ada, pencairan juga ada, sehingga saya bingung yang namanya fiktif namanya bagaimana," ujar Abdul Halim.

Kurang dari sepekan kemudian, Sri Mulyani kembali mengutarakan 'desa setan' pada acara Sosialisasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa Tahun Anggaran 2020 di Auditorium Chakti Buddhi Bhakti (CBB), Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kamis (14/11/2019).

"Hari-hari ini kita dengar tentang desa fiktif. Saya tidak peduli dengan jumlahnya. Ini menggambarkan fenomena. Jadi, kita semua harus hati-hati," kata dia.

Sri Mulyani menambahkan, pemerintah menaikkan Dana Desa 2020 menjadi sebesar Rp 72 triliun, naik Rp 2 triliun dari tahun 2019 dengan perhitungan alokasi berdasarkan jumlah desa. Oleh karena itu, Sri Mulyani menekankan pemerintah akan terus menertibkan desa yang tidak memenuhi syarat tersebut.

[Gambas:Video CNBC]

Merespons kondisi yang ada, Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa telah merampungkan investigasi tentang keberadaan desa fiktif alias 'desa setan'.

Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan Kemendagri di Kabupaten Konawe - salah satu yang disebut desa fiktif - empat desa di wilayah tersebut dinyatakan tidak fiktif keberadaannya.

"Tidak fiktif, kita garis bawahi tidak fiktif, desa tersebut ada," kata Direktur Jenderal Bina Pemerintah Desa Nata Irawan melalui keterangan tertulis, Senin (18/11/2019).

Meski demikian, pemerintah tak memungkiri tata kelola pemerintahan di empat desa tersebut tidak optimal karana cacat hukum. Namun, Nata membantah keras bahwa desa di wilayah Konawe fiktif.

"Kami lihat di lapangan, desa tersebut ada dan tidak fiktif. Hasil temuan yang kami dapat, ternyata desa tersebut ada tetapi tidak berjalan tata kelola pemerintahannya secara optimal," kata Nata.

Hasil verifikasi kondisi riil di lapangan baik secara historis dan sosiologis dipastikan bahwa 56 desa tersebut ada.

Namun tim investigasi mendapatkan data dan informasi penetapan Peraturan Daerah (Perda) 7/2011 Tentang Perubahan atas Perda Kabupaten Konawe 2/2011 Tentang Pembentukan dan Pendefinitifan Desa-Desa dalam Wilayah Kabupatan Konawe tidak melalui mekanisme dan tahapan di DPRD.

"Kami sepakat betul perda yang dilakukan Bupati Konawe cacat hukum karena tidak melalui mekanisme dari DPRD. Oleh karenanya harus kita perbaiki, benahi administrasinya," ujarnya.

Register perda di Sekretariat DPRD Kabupaten Konawe, yakni Perda Nomor 7 tahun 2011 tersebut adalah Perda Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2010.

Oleh karena itu, 56 desa yang tercantum dalam perda tersebut secara yuridis dikatakan cacat hukum dan diduga bermasalah dan berpotensi menimbulkan kerugian negara.



Atas temuan tersebut, maka 56 desa yang dimaksud baik kepala desa maupun perangkat desa telah dimintai keterangan dan didalami lebih lanjut oleh pihak yang berwajib, yaitu Polda Sulawesi Tenggara.

"Sesuai MoU antara Mendagri dan Kapolri, kalau menyangkut aspek hukum, maka akan dilakukan proses hukum," kata Nata. Kalau dalam waktu 60 hari telah ditangani APIP, seandainya ada cacat hukum dan administrasi maka sepenuhnya atas izin Mendagri, Aparat Penegak Hukum (APH) dapat mengambil langkah," lanjutnya.

Fakta yang didapatkan dari klarifikasi dan pendalaman keterangan dari pihak yang berwajib terdapat 34 desa memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai desa, selanjutnya 18 desa masih perlu pembenahan dalam aspek administrasi dan kelembagaan serta kelayakan sarana dan prasaran desa.

Sedangkan empat desa, yaitu Desa Arombu Utama Kecamatan Latoma, Desa Lerehoma Kecamatan Anggaberi, Desa Wiau Kecamatan Routa, dan Desa Napooha Kecamatan Latoma ditemukan dalam proses pendalaman hukum lebih lanjut dikarenakan empat desa tersebut terdapat inkonsistensi data jumlah penduduk dan luas wilayah desa.

Hasil kelanjutan pendalaman dari empat desa tersebut, dua desa yaitu Desa Wiau Kecamtan Routa dan Desa Napooha Kecamatan Latoma masih perlu dilakukan pendalaman secara intensif.

Dalam diskusi di Kementerian Komunikasi dan Informatika, Selasa (19/11/2019), Direktur Fasilitasi Keuangan dan Aset Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri, Benny Irwan, menegaskan bahwa desa fiktif tidak benar adanya. Yang ada adalah malaadministrasi dari sebuah penyelenggaraan pedesaan.

"Jadi desa fiktif nggak ada. Memang ada beberapa desa yang perlu kita buatkan pembinaan administrasinya," ungkap Benny.

Kesalahan administrasi tersebut, menurut, dia tidak lepas dari kondisi beragam desa-desa di Indonesia. Ia lantas menyebut, 60% aparatur desa adalah lulusan SMA.

"Lebih 21% itu tidak lulus pendidikan formal, hanya lulus SD dan SMP. Itu untuk tingkat pendidikan aparatur di desa. Sebanyak 10 ribu desa tak punya kantor desa. Itu data BPS (Badan Pusat Statistik)," bebernya.

Selain itu, dia juga menjelaskan bahwa kurang lebih 14.000 desa belum menikmati aliran listrik. Ditambah lagi, angka penduduk miskin di desa juga tergolong tinggi.

Dengan kondisi demikian, perangkat desa juga harus berhubungan dengan 18 kementerian/lembaga yang semuanya punya urusan langsung dengan desa.

"Saya pikir mulai dari lahir sampai mati diurus oleh desa. Dengan penyelenggaran pemerintahan daerah dengan desa, yang daerah sudah ada urusan ini itu semua bertumpu kepada kondisi pemerintah desa tadi yang beragam," urainya.


(miq/sef) Next Article Kemenkeu Ancam Cabut Dana yang Sudah Diterima Desa Fiktif

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular