
Tanpa Aramco, Pertamina Tak Kuat Bangun Kilang Sendiri
Gustidha Budiartie & Tirta Citradi, CNBC Indonesia
20 November 2019 12:36

Kalau memang diskusi ini harus berakhir buntu dan Pertamina harus jalan sendiri tentu sangat disayangkan dan tentunya memberatkan. Risiko yang ditanggung Pertamina ketika berjalan sendiri bukanlah risiko yang kecil, baik dari segi risiko finansial maupun risiko lainnya. Potensi risiko yang ditanggung Pertamina itu harus jadi poin pertimbangannya.
Kerja sama yang ditawarkan ke Aramco merupakan metode pembiayaan berbasis ekuitas Joint Venture Development Agreement (JVDA). Pembiayaan dengan JVDA memungkinkan adanya risk sharing antara kedua belah pihak sehingga risiko tidak hanya Pertamina saja yang menanggung. Belum lagi ditambah keunggulan Aramco yang mampu menyediakan pasokan minyak mentah.
Jika diskusi dengan Aramco benar-benar buntu metode ini juga dapat ditawarkan ke investor strategis lainnya. Namun pertanyaannya adalah apakah investor lainnya juga memiliki keunggulan seperti Aramco? Itu pertanyaan besarnya.
Walau memiliki arus kas yang sehat tetap saja investasi sebesar itu membutuhkan sumber pendanaan lain agar tidak mengganggu arus kas.
Pada semester pertama 2019, posisi arus kas Pertamina tercatat mencapai US$ 7,4 miliar atau setara dengan Rp 103,6 triliun.
Tahun depan diperkirakan belanja modal Pertamina naik hingga 211% dari tahun ini menjadi US$ 9 miliar. Jumlah tersebut dianggarkan untuk kebutuhan pengembangan kilang yang sudah mulai berjalan tahun 2020. Pertanyaan selanjutnya adalah dari mana sumber dana untuk belanja modal tersebut?
Selain metode berbasis ekuitas, metode pembiayaan lain yang dapat digunakan berupa pembiayaan berbasis utang.
Bisa dengan kredit sindikasi bisa juga melalui penerbitan surat utang. Namun, pembiayaan berbasis utang juga harus memperhatikan banyak hal mengingat pembiayaan melalui utang dikenakan bunga atau kupon pada obligasi.
Terkait dengan penerbitan obligasi, perlu diperhatikan juga berapa besarnya,bagaimana kemampuan bayarnya dan dampaknya terhadap rating utang Pertamina. Sampai akhir Juni tahun ini jumlah utang obligasi Pertamina mencapai US$ 11,1 miliar dengan peringkat utang BBB dengan outlook stable.
Untuk kredit sindikasi perlu dipertimbangkan kondisi perekonomian global yang tengah dalam ketidakpastian yang membuat harga komoditas terutama minyak menjadi rentan berfluktuasi. Hal ini tentu menjadi risiko yang juga dipertimbangkan perbankan karena Pertamina melakukan aktivitas impor minyak. Perlu dicatat, impor minyak mentah Pertamina bisa mencapai 339.000 bpd.
Faktor lain yang juga harus diperhatikan adalah appetite perbankan serta kemampuan perbankan dalam menyalurkan kredit sindikasi dengan jumlah yang besar di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi dan kredit serta rasio kredit macet yang naik.
Kalau Aramco batal teken investasi dengan Pertamina (amit-amit), jangan sampai ini menghalangi pengembangan kilang minyak tanah air. Pasalnya kilang minyak jadi salah satu solusi untuk menekan defisit neraca migas yang jadi penyakit kronis RI selama bertahun-tahun. Suatu bentuk kedaulatan energi tanah air yang perlu diperjuangkan!
Praktisi migas dari Bimasena Energy Team yang juga eks bos Pertamina, Ari Soemarno, mengatakan sangat berisiko bagi Indonesia jika kerja sama ini dibatalkan. "Kalau Aramco batal masuk, bisa-bisa proyek kilang tidak jadi dibangun. Ini adalah kunci, untuk melihat progres kilang lainnya."
Arie memaparkan, kondisi finansial Pertamina saat ini tidak memungkinkan untuk membangun kilang sendiri. Apalagi Pertamina kini juga tengah membangun kilang Balikpapan yang menggunakan ekuitas sendiri. "Secara finansial Pertamina tidak akan mampu," tegasnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA (twg/gus)
Kerja sama yang ditawarkan ke Aramco merupakan metode pembiayaan berbasis ekuitas Joint Venture Development Agreement (JVDA). Pembiayaan dengan JVDA memungkinkan adanya risk sharing antara kedua belah pihak sehingga risiko tidak hanya Pertamina saja yang menanggung. Belum lagi ditambah keunggulan Aramco yang mampu menyediakan pasokan minyak mentah.
Jika diskusi dengan Aramco benar-benar buntu metode ini juga dapat ditawarkan ke investor strategis lainnya. Namun pertanyaannya adalah apakah investor lainnya juga memiliki keunggulan seperti Aramco? Itu pertanyaan besarnya.
Pada semester pertama 2019, posisi arus kas Pertamina tercatat mencapai US$ 7,4 miliar atau setara dengan Rp 103,6 triliun.
Tahun depan diperkirakan belanja modal Pertamina naik hingga 211% dari tahun ini menjadi US$ 9 miliar. Jumlah tersebut dianggarkan untuk kebutuhan pengembangan kilang yang sudah mulai berjalan tahun 2020. Pertanyaan selanjutnya adalah dari mana sumber dana untuk belanja modal tersebut?
Selain metode berbasis ekuitas, metode pembiayaan lain yang dapat digunakan berupa pembiayaan berbasis utang.
Bisa dengan kredit sindikasi bisa juga melalui penerbitan surat utang. Namun, pembiayaan berbasis utang juga harus memperhatikan banyak hal mengingat pembiayaan melalui utang dikenakan bunga atau kupon pada obligasi.
Terkait dengan penerbitan obligasi, perlu diperhatikan juga berapa besarnya,bagaimana kemampuan bayarnya dan dampaknya terhadap rating utang Pertamina. Sampai akhir Juni tahun ini jumlah utang obligasi Pertamina mencapai US$ 11,1 miliar dengan peringkat utang BBB dengan outlook stable.
Outlook Utang Pertamina ![]() |
Untuk kredit sindikasi perlu dipertimbangkan kondisi perekonomian global yang tengah dalam ketidakpastian yang membuat harga komoditas terutama minyak menjadi rentan berfluktuasi. Hal ini tentu menjadi risiko yang juga dipertimbangkan perbankan karena Pertamina melakukan aktivitas impor minyak. Perlu dicatat, impor minyak mentah Pertamina bisa mencapai 339.000 bpd.
Faktor lain yang juga harus diperhatikan adalah appetite perbankan serta kemampuan perbankan dalam menyalurkan kredit sindikasi dengan jumlah yang besar di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi dan kredit serta rasio kredit macet yang naik.
Kalau Aramco batal teken investasi dengan Pertamina (amit-amit), jangan sampai ini menghalangi pengembangan kilang minyak tanah air. Pasalnya kilang minyak jadi salah satu solusi untuk menekan defisit neraca migas yang jadi penyakit kronis RI selama bertahun-tahun. Suatu bentuk kedaulatan energi tanah air yang perlu diperjuangkan!
Praktisi migas dari Bimasena Energy Team yang juga eks bos Pertamina, Ari Soemarno, mengatakan sangat berisiko bagi Indonesia jika kerja sama ini dibatalkan. "Kalau Aramco batal masuk, bisa-bisa proyek kilang tidak jadi dibangun. Ini adalah kunci, untuk melihat progres kilang lainnya."
Arie memaparkan, kondisi finansial Pertamina saat ini tidak memungkinkan untuk membangun kilang sendiri. Apalagi Pertamina kini juga tengah membangun kilang Balikpapan yang menggunakan ekuitas sendiri. "Secara finansial Pertamina tidak akan mampu," tegasnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA (twg/gus)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular