
Mengapa Jokowi Tak Mau RI Seperti Hong Kong, Chile & Bolivia?
Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
13 November 2019 16:11

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan tidak mau ekonomi Indonesia bernasib sama seperti Hong Kong, Chile, dan Bolivia. Itu dikarenakan ekonomi negara-negara ini mengalami kekacauan akibat demo berkepanjangan yang dipicu berbagai hal berbeda.
Hal ini ia sampaikan saat pidato di acara peresmian pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Indonesia Maju Pemerintah Pusat dan Forkopimda 2019, di Sentul, Bogor, Rabu (13/11/2019).
Dalam kesempatan itu, Jokowi juga menghimbau jajaran TNI dan Polri agar berhati-hati dalam menangani setiap peristiwa, meskipun skalanya kecil.
"Interaksi komunikasi sosial antar manusia antar orang sekarang ini betul-betul sangat mudahnya lewat WA, lewat SMS begitu sangat gampangnya. Banyak terjadi perubahan-perubahan perilaku manusia karena perubahan interaksi sosial dan komunikasi. Oleh sebab itu hati-hati dalam menangani setiap peristiwa sekecil apapun, saya titip terutama untuk jajaran TNI dan Polri," kata Jokowi.
Jadi, apa yang sebenarnya terjadi di tiga negara yang disebutkan itu sehingga Jokowi tidak mau Indonesia seperti mereka?
Ekonomi Hong Kong telah terjerat resesi. Pertama kali sejak krisis keuangan global tahun 2009.
Seperti diketahui, pada Kamis (31/10/2019) lalu Departemen Sensus dan Statistik Hong Kong merilis pembacaan awal untuk data pertumbuhan ekonomi periode kuartal III-2019. Hasilnya, pada kuartal ini ekonomi melambat 3,2% secara kuartalan (quarter-on-quarter/QoQ). Sebelumnya pada kuartal II-2019 perekonomian Hong Kong sudah berkontraksi sebesar 0,4%.
Resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan,negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Salah satu penyebab turunnya angka pertumbuhan ini adalah demo anti-pemerintah yang sudah berlangsung selama enam bulan terakhir di pusat keuangan Asia itu, seperti yang disampaikan Menteri Keuangan Hong Kong Paul Chan.
"Dampak (dari aksi demonstrasi) terhadap perekonomian kita signifikan," tulis Chan dalam sebuah postingan di blog.
Demo yang terjadi di Hong Kong ini awalnya dipicu oleh rencana pemerintahnya untuk menerapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi pelaku kriminal ke daratan China. Namun kini, unjuk rasa yang berlangsung telah berubah menjadi demo anti-pemerintah.
Hingga kini belum ada tanda-tanda demo di kota yang masih jadi bagian China ini akan berakhir.
Situasi di negara Amerika Latin ini tidak jauh berbeda dengan Hong Kong. Chile dilanda demo berkepanjangan yang dipicu oleh keputusan pemerintah untuk menaikkan ongkos transportasi umum di negara itu. Padahal kenaikannya hanya sebesar 30 peso (US$ 0,04).
Namun, gara-gara hal itu Chile jadi dilanda demo terburuk pertamanya sejak negara itu kembali menganut demokrasi pada tahun 1990. Presiden Sebastian Pinera bahkan telah menyatakan keadaan darurat dan meminta pasukan pengaman untuk bersiaga. Akibat demo, Pinera juga telah membatalkan kenaikan tarif yang diusulkan.
Sayangnya, demo masih terus berlanjut, dan tuntutan pendemo berkembang menjadi tentang kenaikan biaya pendidikan, perawatan kesehatan, transportasi, serta rendahnya tunjangan pensiun.
Kekacauan yang terjadi di Chile ini tentunya sangat mengejutkan, mengingat negara ini merupakan salah satu negara dengan ekonomi terbaik di Amerika Latin. Chile juga memiliki banyak warga kelas menengah dan merupakan negara dengan rata-rata pendapatan yang tinggi.
Mengutip laporan Bank Dunia (World Bank), Chile telah berhasil mengurangi tingkat kemiskinan dari 30% pada tahun 2000 menjadi 6,4% pada tahun 2017. Ekonominya juga mencatatkan pertumbuhan 4% pada tahun 2018.
Demo di Chile telah memasuki hari ke-26 pada hari ini, Rabu (13/11/2019). Selain memiliki dampak pada ekonomi, demo juga telah memakan korban jiwa hingga puluhan orang. Akibatnya, acara KTT kerjasama ekonomi Asia Pasifik (APEC) batal digelar di negara itu. Pertemuan itu seharusnya diadakan pada akhir pekan ini.
Demo telah berlangsung selama tiga pekan terakhir di Bolivia. Akibat demo, bukan hanya ekonomi negara yang menjadi kacau, tapi juga membuat presiden Evo Morales menyatakan mengundurkan diri pada Senin lalu.
"Saya mengundurkan diri dari jabatan saya sebagai presiden," kata pria yang sudah memimpin Bolivia selama 14 tahun itu dalam pidato yang disiarkan televisi.
Selain Morales, Wakil Presiden Alvaro Garcia Linera juga turut mengundurkan diri.
Awal dari demonstrasi yang terjadi di negara ini adalah hasil pemilihan umum presiden pada 20 Oktober lalu, yang menyatakan Morales kembali memenangkan pemilu. Namun, pihak oposisi menuduh ada kecurangan dalam penghitungan suara. Sejak itu, massa turun ke jalan untuk melakukan demonstrasi.
Demonstrasi yang berlangsung selama tiga pekan itu seringkali berakhir ricuh dan telah memakan tiga korban, dan ratusan lainnya luka-luka. Para komandan militer dan kepolisian bahkan ikut bergabung untuk menyerukan pengunduran diri Morales.
Hingga saat ini belum jelas siapa yang akan menggantikan Morales sebagai presiden negara itu.
(sef/sef) Next Article Jokowi Bertemu Kepala Administrasi Hong Kong, Bahas Apa?
Hal ini ia sampaikan saat pidato di acara peresmian pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Indonesia Maju Pemerintah Pusat dan Forkopimda 2019, di Sentul, Bogor, Rabu (13/11/2019).
Dalam kesempatan itu, Jokowi juga menghimbau jajaran TNI dan Polri agar berhati-hati dalam menangani setiap peristiwa, meskipun skalanya kecil.
Jadi, apa yang sebenarnya terjadi di tiga negara yang disebutkan itu sehingga Jokowi tidak mau Indonesia seperti mereka?
Ekonomi Hong Kong telah terjerat resesi. Pertama kali sejak krisis keuangan global tahun 2009.
Seperti diketahui, pada Kamis (31/10/2019) lalu Departemen Sensus dan Statistik Hong Kong merilis pembacaan awal untuk data pertumbuhan ekonomi periode kuartal III-2019. Hasilnya, pada kuartal ini ekonomi melambat 3,2% secara kuartalan (quarter-on-quarter/QoQ). Sebelumnya pada kuartal II-2019 perekonomian Hong Kong sudah berkontraksi sebesar 0,4%.
Resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan,negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Salah satu penyebab turunnya angka pertumbuhan ini adalah demo anti-pemerintah yang sudah berlangsung selama enam bulan terakhir di pusat keuangan Asia itu, seperti yang disampaikan Menteri Keuangan Hong Kong Paul Chan.
"Dampak (dari aksi demonstrasi) terhadap perekonomian kita signifikan," tulis Chan dalam sebuah postingan di blog.
Demo yang terjadi di Hong Kong ini awalnya dipicu oleh rencana pemerintahnya untuk menerapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi pelaku kriminal ke daratan China. Namun kini, unjuk rasa yang berlangsung telah berubah menjadi demo anti-pemerintah.
Hingga kini belum ada tanda-tanda demo di kota yang masih jadi bagian China ini akan berakhir.
Situasi di negara Amerika Latin ini tidak jauh berbeda dengan Hong Kong. Chile dilanda demo berkepanjangan yang dipicu oleh keputusan pemerintah untuk menaikkan ongkos transportasi umum di negara itu. Padahal kenaikannya hanya sebesar 30 peso (US$ 0,04).
Namun, gara-gara hal itu Chile jadi dilanda demo terburuk pertamanya sejak negara itu kembali menganut demokrasi pada tahun 1990. Presiden Sebastian Pinera bahkan telah menyatakan keadaan darurat dan meminta pasukan pengaman untuk bersiaga. Akibat demo, Pinera juga telah membatalkan kenaikan tarif yang diusulkan.
Sayangnya, demo masih terus berlanjut, dan tuntutan pendemo berkembang menjadi tentang kenaikan biaya pendidikan, perawatan kesehatan, transportasi, serta rendahnya tunjangan pensiun.
Kekacauan yang terjadi di Chile ini tentunya sangat mengejutkan, mengingat negara ini merupakan salah satu negara dengan ekonomi terbaik di Amerika Latin. Chile juga memiliki banyak warga kelas menengah dan merupakan negara dengan rata-rata pendapatan yang tinggi.
Mengutip laporan Bank Dunia (World Bank), Chile telah berhasil mengurangi tingkat kemiskinan dari 30% pada tahun 2000 menjadi 6,4% pada tahun 2017. Ekonominya juga mencatatkan pertumbuhan 4% pada tahun 2018.
Demo di Chile telah memasuki hari ke-26 pada hari ini, Rabu (13/11/2019). Selain memiliki dampak pada ekonomi, demo juga telah memakan korban jiwa hingga puluhan orang. Akibatnya, acara KTT kerjasama ekonomi Asia Pasifik (APEC) batal digelar di negara itu. Pertemuan itu seharusnya diadakan pada akhir pekan ini.
Demo telah berlangsung selama tiga pekan terakhir di Bolivia. Akibat demo, bukan hanya ekonomi negara yang menjadi kacau, tapi juga membuat presiden Evo Morales menyatakan mengundurkan diri pada Senin lalu.
"Saya mengundurkan diri dari jabatan saya sebagai presiden," kata pria yang sudah memimpin Bolivia selama 14 tahun itu dalam pidato yang disiarkan televisi.
Selain Morales, Wakil Presiden Alvaro Garcia Linera juga turut mengundurkan diri.
Awal dari demonstrasi yang terjadi di negara ini adalah hasil pemilihan umum presiden pada 20 Oktober lalu, yang menyatakan Morales kembali memenangkan pemilu. Namun, pihak oposisi menuduh ada kecurangan dalam penghitungan suara. Sejak itu, massa turun ke jalan untuk melakukan demonstrasi.
Demonstrasi yang berlangsung selama tiga pekan itu seringkali berakhir ricuh dan telah memakan tiga korban, dan ratusan lainnya luka-luka. Para komandan militer dan kepolisian bahkan ikut bergabung untuk menyerukan pengunduran diri Morales.
Hingga saat ini belum jelas siapa yang akan menggantikan Morales sebagai presiden negara itu.
(sef/sef) Next Article Jokowi Bertemu Kepala Administrasi Hong Kong, Bahas Apa?
Most Popular