Dilarang Ekspor, Penambang Minta Komitmen Smelter Nikel

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
13 November 2019 15:29
Usai rujuk dengan mediasi BKPM, penambang minta komitmen smelter nikel untuk menyerap kuota ekspor.
Foto: BKPM (CNBC Indonesia/Nisatul Ummah)
Jakarta, CNBC Indonesia - Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertambangan Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey menyebut pemerintah tidak konsisten dalam membuat aturan larangan ekspor bijih nikel.

Mulanya pelarangan tahun 2022, kemudian maju jadi 1 Januari 2020, dan kembali dipercepat yang disebut melalui kesepatan (28/10) dan berlaku esoknya (29/10).

Meidy mengaku memberikan dukungan kepada pemerintah untuk hilirisasi. Namun malah pemerintah tidak kosisten dengan aturannya, smelter-smelter di dalam negeri dipaksa menyerap nikel yang semestinya diekspor. Dirinya menyebut kemungkinan adanya kartel.

"Pemerintah tahu kita fair, pengusaha kecil hidup di sini sejak diterbitkan banyak aturan. Kenapa asing banyak fasilitas yang diberikan buat kami nggak ada. Kami hanya minta harga yang layak dan smelter untung. Cadangan banyak nggak ada eksplorasi, boro-boro eksplorasi untung saja nggak ada," terangnya Rabu, (13/10/2019).



Kepala BKPM sebelumnya menyebut pemerintah dan pengusaha sepakat untuk menetapkan harga jual nikel yang akan diserap dalam negeri dengan harga US$ 30 per metrik ton dengan kadar di bawah 1,7. Meidy mengaku akan mematuhi aturan tersebut.

Namun yang menjadi pertanyaan adalah komitmen smelter yang ada di dalam negeri untuk menyerap kuota nikel. Penambang menekankan harus ada solusi agar ada kepastian penyerapan di masa depan.

Terkait kekhawatiran ini, dirinya menyeahkan sepenuhnya pada pemerintah. "Mana nih smelter yang mau menyerap, tinggal 1,5 bulan nggak gampang dan kuota masih banyak. Ada 9 perusahaan yang silahkan lanjut sampai 31 Desember, bagaimana dengan yang lain pemerintah fasilitasi kargo diambil domestik," terangnya.

Menurutnya inkonsistensi pemerintah dalam membuat aturan larangan ekpor berdampak pada kerugian. Dengan penghentian sementara denda atas sewa tongkang atau demurrage satu tongkang bisa sampai Rp. 50 juta, lalu vessel bisa sampai Rp. 300 juta, sehingga totalnya bisa ratusan miliar. "Yang mau ganti siapa," tegasnya.

Permasalahan lain yang dirinya keluhkan adalah surveyor. Hasil survey terkait kadar berbeda dengan saat dilakukan pengiriman. Sehingga ada denda yang harus dibayar, sementara untuk mengangkut barang kembali costnya lebih mahal. "Mengangkut kembali nggak mampu cost lagi kongkag ngangkut kembali yaudah tinggal mereka dapat barang gratis," kesalnya.

[Gambas:Video CNBC]


(gus/gus) Next Article Gegara Larangan Ekspor, Penambang Nikel Rugi Rp 300 Juta/Hari

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular