
Eksklusif
Netflix dan Bukti Konkret Ekonomi Indonesia Bocor!
Herdaru Purnomo & Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
13 November 2019 09:48

Jadi Indonesia Kebobolan?
"Ya memang, istilahnya ini memang masih lolos. Masih lolos pemajakan kita. Tapi masalah ini, bukan hanya masalah di Indonesia ya. Tapi hampir di semua negara," tegas Hestu.
"Makanya seperti beberapa negara, membuat skema perpajakan tersendiri yang kita sebut unilateral. Seperti Inggris, India, Australia. Tapi Indonesia sementara ini masih menunggu kesepakatan OECD aja dulu. Artinya nanti kita mengikuti sepakati di OECD," terang Hestu.
Omnibus Law Jadi Jawaban?
Lebih jauh Hestu menceritakan. Memang masalah perusahaan dari luar negeri atau Over The Top untuk di Indonesia memang masih punya masalah dengan regulasi.
"Bagaimana kita bisa membuat mereka membayar pajak. Nah, ini bukan hanya masalah di Indonesia, tapi juga masalah di seluruh negara."
"Oleh karena itu perbaikannya ada di regulasi nanti, yang pertama, kami sedang menyusun omnibus law perpajakan itu. Nah disitu nanti kita atur," tambahnya.
Semua demi equal treatment. Hestu menegaskan, perusahaan seperti Netflix ini memang harus berbasis di Indonesia.
"Mereka harus jadi perusahana kena pajak, memungut pajak untuk penjualannya," tegas Hestu.
"Kalau mereka tidak ada di Indonesia, mereka boleh menunjuk perwakilannya untuk memungut PPN itu. Jadi ada equal treatment antara mereka dengan yang perusahaan berbasis di Indonesia. Dari sisi PPN-nya," jelas Hestu.
Sebenarnya banyak layanan seperti ini. Layanan data dan media yang berbasis di AS yang 'berjualan' di Indonesia juga bukan merupakan BUT.
"Nah selama ini BUT definisi kan kehadiran fisik, physical existency begitu. Nah selama ini mereka tidak ada di sini. Makanya kita tidak bisa mengenakan PPh-nya ke mereka atas penghasilan dari Indonesia."
Oleh karena itu, sambung Hestu, di omnibus law akan me-redefinisi kembali BUT itu.
"Jadi pengertiannya nggak hanya harus adanya kehadirian fisik, tapi seperti subtansial economic presence, kalau mereka dapat penghasilan dari Indonesia, konsumennya di Indonesia itu kita anggap sebagai punya economic presence di Indonesia. Nah sehingga kita masukan sebagai BUT. Sehingga bisa kita pajaki di Indonesia." (aji)
"Ya memang, istilahnya ini memang masih lolos. Masih lolos pemajakan kita. Tapi masalah ini, bukan hanya masalah di Indonesia ya. Tapi hampir di semua negara," tegas Hestu.
"Makanya seperti beberapa negara, membuat skema perpajakan tersendiri yang kita sebut unilateral. Seperti Inggris, India, Australia. Tapi Indonesia sementara ini masih menunggu kesepakatan OECD aja dulu. Artinya nanti kita mengikuti sepakati di OECD," terang Hestu.
Lebih jauh Hestu menceritakan. Memang masalah perusahaan dari luar negeri atau Over The Top untuk di Indonesia memang masih punya masalah dengan regulasi.
"Bagaimana kita bisa membuat mereka membayar pajak. Nah, ini bukan hanya masalah di Indonesia, tapi juga masalah di seluruh negara."
"Oleh karena itu perbaikannya ada di regulasi nanti, yang pertama, kami sedang menyusun omnibus law perpajakan itu. Nah disitu nanti kita atur," tambahnya.
Semua demi equal treatment. Hestu menegaskan, perusahaan seperti Netflix ini memang harus berbasis di Indonesia.
"Mereka harus jadi perusahana kena pajak, memungut pajak untuk penjualannya," tegas Hestu.
"Kalau mereka tidak ada di Indonesia, mereka boleh menunjuk perwakilannya untuk memungut PPN itu. Jadi ada equal treatment antara mereka dengan yang perusahaan berbasis di Indonesia. Dari sisi PPN-nya," jelas Hestu.
Sebenarnya banyak layanan seperti ini. Layanan data dan media yang berbasis di AS yang 'berjualan' di Indonesia juga bukan merupakan BUT.
"Nah selama ini BUT definisi kan kehadiran fisik, physical existency begitu. Nah selama ini mereka tidak ada di sini. Makanya kita tidak bisa mengenakan PPh-nya ke mereka atas penghasilan dari Indonesia."
Oleh karena itu, sambung Hestu, di omnibus law akan me-redefinisi kembali BUT itu.
"Jadi pengertiannya nggak hanya harus adanya kehadirian fisik, tapi seperti subtansial economic presence, kalau mereka dapat penghasilan dari Indonesia, konsumennya di Indonesia itu kita anggap sebagai punya economic presence di Indonesia. Nah sehingga kita masukan sebagai BUT. Sehingga bisa kita pajaki di Indonesia." (aji)
Next Page
Gebrakan Johnny Plate: Netflix!
Pages
Most Popular