Bikin Jengkel Jokowi, Ini 5 Modus Monopoli Tol Laut

Muhammad Choirul Anwar, CNBC Indonesia
01 November 2019 16:02
Ada dugaan monopoli bisnis angkutan barang di program tol laut.
Foto: Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi meninjau kapal tol laut di Pelabuhan Tenau, di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). (dok. Kemenhub)
Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tengah menelusuri indikasi monopoli yang terjadi pada program Tol Laut. Dari hasil penelusuran, didapati dugaan monopoli terjadi karena ada permasalahan pada ekosistem logistik. Soal monopoli tol laut khususnya di wilayah Indonesia Timur sempat membuat Presiden Jokowi jengkel.

Demikian disampaikan Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut Ditjen Perhubungan Laut Kemenhub, Wisnu Handoko. Ekosistem itu, lanjutnya, meliputi perusahaan pelayaran, pengirim, penerimaan dan jasa pengurusan.

"Di ekosistem ini, itulah kalau terdapat subsidi memang harus kita lihat penggunaan oleh ekosistem ini. Makanya ada isu barang dimonopoli, atau jenis barang atau komoditi," ujarnya di Kantor Kemenhub, Jumat (1/11/2019).



Dia menjelaskan, praktik monopoli bisa ditelusuri melalui sistem informasi muatan dan ruang kapal (IMRK). Sistem tersebut sudah dibangun Kemenhub sejak pertengahan 2018 silam.

"Kita bisa data shipper (pengirim) siapa, consignee (penerima), jasa pengurusan transportasi siapa, pengangkutnya siapa," urainya.

Monopoli itu pasti terjadi, menurutnya sebagian besar karena ada pihak yang dapat order container paling banyak. Padahal, dalam IMRK seharusnya sudah otomatis terdesain adanya pembatasan.

"Kita mensinyalir ini ada yang menggunakan nama beda tapi shipper-nya sama saja. Ini kan jadi menyebabkan monopoli."

"Kemudian jasa pengurusan transportasi gitu juga. Dia ikut kontribusi terhadap biaya logistik. Seharusnya kan harga kompetitif, tapi kok ini kita amati walau sudah banyak jasanya tetap tinggi juga harganya," urainya.

Singkatnya, dari analisa IMRK itu, terdapat 5 celah sebagai modus monopoli sebagai berikut:

  1. Shipper atau forwarder menguasai booking order container. Bisa pakai nama berbeda tapi pelakunya sama saja.
  2. Forwarder bisa bersamaan jadi consignee/penerima. Otomatis ada korelasi menggunakan jasa itu-itu saja.
  3. Pada satu perusahaan operator, yang melayani forwarder hanya beberapa saja. Kecenderungan kalau itu-itu saja, harga jadi tinggi karena tak ada pilihan lagi.
  4. Hanya ada koperasi TKBN (tenaga kerja bongkar muat) yang melayani satu pelabuhan. Hal itu membuat tak adanya kompetisi sehingga biaya menjadi tinggi. TKBN bisa minta biaya tambahan, bisa di luar cargo handling dan sebagainya yang membuat harga bengkak hingga Rp 1 juta.
  5. Consignee yang sudah dapat barang banyak seharusnya jual harga murah karena sudah disubsidi. Namun, untuk conseignee yang memborong, selama ini dia tidak menjual dengan harga lebih rendah dari harga pasar.

(hoi/hoi) Next Article Waduh! Jokowi Kecewa Lagi ke Menteri, Kali Ini Soal Tol Laut

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular