
Jokowi Mau Bangun 2.500 Km Tol Baru, Duitnya dari Mana Nih?
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
31 October 2019 13:56
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah memperkirakan total akan ada 4.700-5.200 Km tol beroperasi pada 2024. Untuk mewujudkannya pemerintah membutuhkan dukungan swasta, namun sampai saat ini keterlibatan swasta masih rendah karena satu dan lain hal.
Pemerintah merencanakan pembangunan jalan tol baru sepanjang 2.500 Km hingga 2024. Estimasi biaya investasi yang dibutuhkan untuk proyek tersebut mencapai Rp 250-375 triliun.
Rencananya pemerintah akan menggunakan pembiayaan dari investasi bahan usaha maupun dari Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU). Artinya partisipasi swasta punya peran penting dalam proyek pembangunan jalan tol ini.
Namun dalam periode Jokowi 2015-2019, keterlibatan swasta dalam proyek infrastruktur masih minim dan jauh dari target di tengah masifnya pembangunan infrastruktur.
Ekonom Faisal Basri mengatakan bahwa partisipasi swasta dalam proyek infrastruktur lima tahun terakhir hanya 9% dari target RPJMN 37%.
Kebutuhan dana untuk membangun infrastruktur hingga 2024 diperkirakan mencapai Rp 6.445 triliun atau naik 34% dari periode sebelumnya. Pemerintah juga tak tanggung-tanggung mematok target peran swasta mencapai 42%.
Tentu ini berat, karena 37% saja masih jauh di bawah target. Perlu diketahui ada beberapa alasan mengapa swasta masih enggan untuk masuk ke proyek infrastruktur.
Pertama terkait dengan pemberian proyek kepada BUMN terutama BUMN-BUMN karya. Dominansi BUMN dalam proyek konstruksi ini tentu tidak hanya membuat peran swasta menurun, tapi juga membuat konstruksi swasta lokal babak belur dan bahkan gulung tikar.
Menurut Ketua Komisi Tetap Pembiayaan Infrastruktur Kadin Indonesia, Diding Sudirdja Anwar menyatakan ada 37.000 pengusaha yang gulung tikar selama periode I Jokowi menjabat.
Tentu pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan yang BUMN sentris ini. Sungguh ironi karena di tengah gegap gempita pembangunan infrastruktur di negeri ini malah banyak usaha konstruksi yang gulung tikar.
BERLANJUT KE HALAMAN 2 >> Poin kedua yang menyebabkan keterlibatan swasta masih rendah adalah ketersediaan proyek yang bankable dan sesuai dengan profil risiko dan return yang diharapkan swasta.
Beberapa masalah terkait pendanaan proyek infrastruktur yang terjadi di kawasan Asia terutama Indonesia bukan karena tidak adanya dana melainkan lebih ke arah ketersediaan proyek yang bankable. Beberapa proyek dinilai masih susah untuk dikalkulasi keterukuran pendapatannya.
Hal tersebut juga terkait dengan proyek yang sesuai dengan profil risiko dan imbal hasil yang diinginkan oleh swasta.
Dari pengalaman lima tahun ini, swasta lebih tertarik ke proyek yang sudah jadi atau setengah jadi (brownfield) ketimbang yang baru mulai dari nol (greenfield) karena dinilai risikonya lebih rendah.
Salah satu risiko yang dihadapi oleh swasta ketika mengerjakan proyek infrastruktur yang dimulai dari nol adalah masalah seperti pembebasan lahan.
Menurut studi yang dilakukan oleh Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), isu pembebasan lahan menyumbang 30% dari seluruh masalah pembangunan infrastruktur.
Tentu profil risiko dan imbal hasil jadi pertimbangan penting bagi swasta mengingat proyek infrastruktur merupakan proyek yang menelan dana besar dengan imbal hasil yang lama.
Hingga saat ini investasi di jalan tol masih jadi primadona karena tingkat pengembaliannya terukur dengan jelas dibanding dengan proyek infrastruktur lain seperti pembangkit listrik. Karena setiap dua tahun sekali tarif tol naik dan berbanding terbalik dengan tarif listrik yang tidak tentu.
Ini semua ujung-ujungnya masalah aturan. Ke depan pemerintah perlu membuat racikan kebijakan yang lebih mendorong swasta untuk dapat berpartisipasi dengan cara lelang tender terbuka agar lebih kompetitif dan efisien.
Pemerintah juga perlu meninjau dan memastikan proyek-proyek yang ditawarkan merupakan proyek dengan nilai komersialisasi yang tinggi. Tidak hanya itu, stimulus yang diberikan seperti availability payment, viability gap fund serta project development fund juga harus dioptimalkan efektivitasnya.
Sumber pendanaan alternatif yang tidak membebani APBN pun perlu dilakukan karena selama ini pos anggaran infrastruktur naik terus dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.
BERLANJUT KE HALAMAN 3 >> Beberapa opsi pendanaan alternatif lain yang dapat ditempuh untuk membiayai proyek infrastruktur seperti :
Sekuritisasi Aset (Efek Beragun Aset)
Produk ini merupakan instrumen yang membungkus aset-aset yang tidak likuid sehingga dapat dijual sehingga mampu memberikan dana segar kepada pemilik aset tadi dan dapat mendukung operasional perusahaan.
Proses pembungkusan dan menjadikan aset tidak likuid menjadi likuid tersebut disebut sebagai sekuritisasi. Untuk membangun jalan tol sepanjang 2.500 Km, metode pembiayaan ini laik dicoba dengan menjaminkan pendapatan yang diperoleh dari operasional jalan tol
Reksa Dana Pendapatan Terbatas (RDPT)
Reksa dana penyertaan terbatas, atau biasa disebut juga reksa dana tujuan khusus, adalah wadah yang digunakan untuk pendanaan tertentu yang dibiayai oleh investor atau pemodal profesional (sophisticated investor), terutama proyek sektor riil dan infrastruktur.
Dana investasi infrastruktur (DINFRA)
Dinfra mirip dengan RDPT, karena tujuan investasi dari produk itu adalah infrastruktur. Namun, Dinfra lebih fleksibel karena proyek yang diinvestasikan dapat berupa proyek infrastruktur yang sudah berjalan maupun dari nol (greenfield). Penawaran kepada investor juga dapat dilakukan melakukan penawaran umum maupun penawaran terbatas.
Perpetual Bond
Perpetual bond, atau yang di luar negeri sering disebut 'perp bond' atau 'consol bond', adalah surat utang abadi atau yang tidak memiliki jatuh tempo. Sifat efek tersebut lebih condong seperti efek saham (ekuitas) dibanding efek utang atau obligasi sehingga tidak menambah jumlah utang perusahaan penerbit dalam laporan keuangan.
Dinamakan sebagai obligasi karena membayarkan kupon bunga secara bertahap layaknya surat utang jenis lain hingga waktu yang sebenarnya tidak terbatas. Meskipun sifatnya tidak memiliki jatuh tempo, perusahaan penerbit masih dapat memiliki opsi untuk menariknya dari pasar dengan perjanjian call-able. Biasanya, opsi penarikan lebih dari 5 tahun sejak efek tersebut diterbitkan
Jadi kesimpulannya untuk mewujudkan keberlanjutan pembangunan infrastruktur di periode kedua dengan partisipasi swasta yang tinggi, pemerintah punya PR untuk buat regulasi terutama terkait penunjukan proyek yang lebih adil, memastikan proyek ditawarkan punya nilai ekonomis dan komersial serta juga perlu mendorong mekanisme pendanaan alternatif yang tak memberatkan APBN
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article Pengumuman! Menaker: THR Wajib Dibayarkan H-7 Lebaran
Pemerintah merencanakan pembangunan jalan tol baru sepanjang 2.500 Km hingga 2024. Estimasi biaya investasi yang dibutuhkan untuk proyek tersebut mencapai Rp 250-375 triliun.
Rencananya pemerintah akan menggunakan pembiayaan dari investasi bahan usaha maupun dari Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU). Artinya partisipasi swasta punya peran penting dalam proyek pembangunan jalan tol ini.
Ekonom Faisal Basri mengatakan bahwa partisipasi swasta dalam proyek infrastruktur lima tahun terakhir hanya 9% dari target RPJMN 37%.
Kebutuhan dana untuk membangun infrastruktur hingga 2024 diperkirakan mencapai Rp 6.445 triliun atau naik 34% dari periode sebelumnya. Pemerintah juga tak tanggung-tanggung mematok target peran swasta mencapai 42%.
Tentu ini berat, karena 37% saja masih jauh di bawah target. Perlu diketahui ada beberapa alasan mengapa swasta masih enggan untuk masuk ke proyek infrastruktur.
Pertama terkait dengan pemberian proyek kepada BUMN terutama BUMN-BUMN karya. Dominansi BUMN dalam proyek konstruksi ini tentu tidak hanya membuat peran swasta menurun, tapi juga membuat konstruksi swasta lokal babak belur dan bahkan gulung tikar.
Menurut Ketua Komisi Tetap Pembiayaan Infrastruktur Kadin Indonesia, Diding Sudirdja Anwar menyatakan ada 37.000 pengusaha yang gulung tikar selama periode I Jokowi menjabat.
Tentu pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan yang BUMN sentris ini. Sungguh ironi karena di tengah gegap gempita pembangunan infrastruktur di negeri ini malah banyak usaha konstruksi yang gulung tikar.
BERLANJUT KE HALAMAN 2 >> Poin kedua yang menyebabkan keterlibatan swasta masih rendah adalah ketersediaan proyek yang bankable dan sesuai dengan profil risiko dan return yang diharapkan swasta.
Beberapa masalah terkait pendanaan proyek infrastruktur yang terjadi di kawasan Asia terutama Indonesia bukan karena tidak adanya dana melainkan lebih ke arah ketersediaan proyek yang bankable. Beberapa proyek dinilai masih susah untuk dikalkulasi keterukuran pendapatannya.
Hal tersebut juga terkait dengan proyek yang sesuai dengan profil risiko dan imbal hasil yang diinginkan oleh swasta.
Dari pengalaman lima tahun ini, swasta lebih tertarik ke proyek yang sudah jadi atau setengah jadi (brownfield) ketimbang yang baru mulai dari nol (greenfield) karena dinilai risikonya lebih rendah.
Salah satu risiko yang dihadapi oleh swasta ketika mengerjakan proyek infrastruktur yang dimulai dari nol adalah masalah seperti pembebasan lahan.
Menurut studi yang dilakukan oleh Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), isu pembebasan lahan menyumbang 30% dari seluruh masalah pembangunan infrastruktur.
Tentu profil risiko dan imbal hasil jadi pertimbangan penting bagi swasta mengingat proyek infrastruktur merupakan proyek yang menelan dana besar dengan imbal hasil yang lama.
Hingga saat ini investasi di jalan tol masih jadi primadona karena tingkat pengembaliannya terukur dengan jelas dibanding dengan proyek infrastruktur lain seperti pembangkit listrik. Karena setiap dua tahun sekali tarif tol naik dan berbanding terbalik dengan tarif listrik yang tidak tentu.
Ini semua ujung-ujungnya masalah aturan. Ke depan pemerintah perlu membuat racikan kebijakan yang lebih mendorong swasta untuk dapat berpartisipasi dengan cara lelang tender terbuka agar lebih kompetitif dan efisien.
Pemerintah juga perlu meninjau dan memastikan proyek-proyek yang ditawarkan merupakan proyek dengan nilai komersialisasi yang tinggi. Tidak hanya itu, stimulus yang diberikan seperti availability payment, viability gap fund serta project development fund juga harus dioptimalkan efektivitasnya.
Sumber pendanaan alternatif yang tidak membebani APBN pun perlu dilakukan karena selama ini pos anggaran infrastruktur naik terus dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.
BERLANJUT KE HALAMAN 3 >> Beberapa opsi pendanaan alternatif lain yang dapat ditempuh untuk membiayai proyek infrastruktur seperti :
Sekuritisasi Aset (Efek Beragun Aset)
Produk ini merupakan instrumen yang membungkus aset-aset yang tidak likuid sehingga dapat dijual sehingga mampu memberikan dana segar kepada pemilik aset tadi dan dapat mendukung operasional perusahaan.
Proses pembungkusan dan menjadikan aset tidak likuid menjadi likuid tersebut disebut sebagai sekuritisasi. Untuk membangun jalan tol sepanjang 2.500 Km, metode pembiayaan ini laik dicoba dengan menjaminkan pendapatan yang diperoleh dari operasional jalan tol
Reksa Dana Pendapatan Terbatas (RDPT)
Reksa dana penyertaan terbatas, atau biasa disebut juga reksa dana tujuan khusus, adalah wadah yang digunakan untuk pendanaan tertentu yang dibiayai oleh investor atau pemodal profesional (sophisticated investor), terutama proyek sektor riil dan infrastruktur.
Dana investasi infrastruktur (DINFRA)
Dinfra mirip dengan RDPT, karena tujuan investasi dari produk itu adalah infrastruktur. Namun, Dinfra lebih fleksibel karena proyek yang diinvestasikan dapat berupa proyek infrastruktur yang sudah berjalan maupun dari nol (greenfield). Penawaran kepada investor juga dapat dilakukan melakukan penawaran umum maupun penawaran terbatas.
Perpetual Bond
Perpetual bond, atau yang di luar negeri sering disebut 'perp bond' atau 'consol bond', adalah surat utang abadi atau yang tidak memiliki jatuh tempo. Sifat efek tersebut lebih condong seperti efek saham (ekuitas) dibanding efek utang atau obligasi sehingga tidak menambah jumlah utang perusahaan penerbit dalam laporan keuangan.
Dinamakan sebagai obligasi karena membayarkan kupon bunga secara bertahap layaknya surat utang jenis lain hingga waktu yang sebenarnya tidak terbatas. Meskipun sifatnya tidak memiliki jatuh tempo, perusahaan penerbit masih dapat memiliki opsi untuk menariknya dari pasar dengan perjanjian call-able. Biasanya, opsi penarikan lebih dari 5 tahun sejak efek tersebut diterbitkan
Jadi kesimpulannya untuk mewujudkan keberlanjutan pembangunan infrastruktur di periode kedua dengan partisipasi swasta yang tinggi, pemerintah punya PR untuk buat regulasi terutama terkait penunjukan proyek yang lebih adil, memastikan proyek ditawarkan punya nilai ekonomis dan komersial serta juga perlu mendorong mekanisme pendanaan alternatif yang tak memberatkan APBN
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article Pengumuman! Menaker: THR Wajib Dibayarkan H-7 Lebaran
Most Popular