Dear Menteri ESDM Baru, Ini Tiga Kunci Perbaikan Energi RI

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
30 October 2019 07:45
Hilirisasi Jangka Menengah, Diversifikasi Jangka Panjang
Foto: Arifin Tasrif (CNBC Indonesia/Annisatul Ummah)

Sementara eksplorasi minyak digenjot, pemerintah tak boleh melupakan dua hal lain jika tak ingin terlalu bergantung pada cadangan minyak yang tak terbarukan (kian menipis), yakni hilirisasi dan juga diversifikasi sumber energi.

Sejak republik ini berdiri, Indonesia hanya memiliki enam kilang. Terakhir, Indonesia membangun kilang minyak pada 1995 (sebelum krisis moneter) yakni kilang minyak Sorong yang memiliki kapasitas produksi 10.000 bph.

Seserius apa sih pembangunan kilang? Llihat saja data impor hasil olahan minyak di bawah ini, di mana impor produk minyak (utamanya BBM) menurut data BPS melejit di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan bertahan di era Jokowi.

Jika sebelum krisis (tahun 1996) defisit impor produk olahan minyak kita hanya  US$ 560 juta dalam setahun, maka angka ini membengkak dan menyentuh rekor senilai US$16,7 miliar di era SBY. Kini (tahun 2018) defisit neraca hasil minyak mencapai US$ 16 miliar, alias tak berubah. Jika dirata-rata, Indonesia mengimpor BBM senilai Rp 615 miliar, per hari.

Tanpa kilang, maka kebutuhan impor BBM tersebut terus membesar karena konsumsi BBM mencapai 1,7 juta bph, sedangkan kapasitas terpasang kilang minyak Indonesia hanya 1,1 juta bph, atau hanya 800.000 bph secara efektif. Di tengah kondisi demikian, enam kilang yang direncanakan dibangun sampai saat ini masih sebatas janji politik.

PT Pertamina memang telah memprakarsai proyek pengembangan kilang di tempat yang sudah. Istilahnya adalah Refinery Development Master Plan (RDMP). Targetnya, Indonesia bisa menghasilkan BBM 2 juta bph jika semuanya sudah selesai. Namun, teknis pembangunan kilang tersebut sangat lambat. Di sinilah fungsi Menteri ESDM yang pro-hilirisasi diperlukan.

Jangan lupakan fakta bahwa republik ini mengimpor 70% dari konsumsi gas liquefied petroleum gas (LPG) yang mencapai 7,3 juta metrik ton per tahun. Artinya, setiap tahun Pertamina mengimpor gas LPG 5,11 juta metrik ton, setara 2,12 juta meter kubik gas.

Untuk itu, PT Bukit Asam Tbk menggarap proyek gasifikasi batu bara, senilai Rp 81,2 triliun, yang akan mengubah batu bara menjadi gas pengganti LPG. Proyek ini ditargetkan tuntas 2022 atau 2023.

Beberapa raksasa swasta juga tengah menggarap proyek serupa seperti misalnya PT Bumi Resources Tbk, dengan nilai Rp 22,4 triliun. Namun jika tanpa pengawalan dan bantuan insentif dari pemerintah, siap-siap saja melihat pelaksanaan pembangunan yang berlarut-larut.

Ketiga, Indonesia tidak boleh ketinggalan gerbong dengan mendiversifikasi sumber energinya ke sumber yang terbarukan (nonfosil) untuk keperluan jangka panjang. Kementerian ESDM sendiri telah memproyeksikan bahwa potensi sumber energi terbarukan Indonesia mencapai 441.700 megawatt (MW). Dari situ, yang dimanfaatkan baru hanya 2,1% saja (setara 9,2 GW).

Namun celakanya, saat ini tidak banyak insentif yang disediakan oleh pemerintah, setelah penggantian skema feed in tariff (FIT) dengan skema biaya pokok pembangkitan (BPP) listrik. Demikian juga harga jual listrik berbasis surya terhadap PLN yang hanya 85% dari BPP.

Sejarah bakal melihat, apakah Menteri Arifin bakal menjadi bagian dari masalah energi nasional dengan memicu kenaikan impor BBM, ataukah menyelesaikan persoalan energi di negeri yang berlimpah akan sumber daya energi baru dan terbarukan (EBT).

TIM RISET CNBC INDONESIA 

(ags/ags)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular