Dear Menteri ESDM Baru, Ini Tiga Kunci Perbaikan Energi RI

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
30 October 2019 07:45
Dear Menteri ESDM Baru, Ini Tiga Kunci Perbaikan Energi RI
Foto: Ilustrasi: Minyak mengalir keluar dari semburan dari sumur 1859 asli Edwin Drake yang meluncurkan industri perminyakan modern di Museum dan Taman Drake Well di Titusville, Pennsylvania AS, 5 Oktober 2017. REUTERS / Brendan McDermid / File Foto

Jakarta, CNBC Indonesia - Memasuki periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo sejumlah pekerjaan rumah dan tantangan di sektor hulu minyak dan gas bumi sudah menanti. Defisit migas yang berlarut-larut, produksi migas yang menurun, dan cadangan menipis.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru-baru ini menyoroti defisit neraca perdagangan yang dipicu melebarnya impor minyak mentah dan produk minyak, dibandingkan tingkat produksi dalam negeri yang terus menurun.

Persoalan yang telah berlangsung sejak periode pertama pemerintahannya tersebut sempat mereda pada periode 2016, tetapi belum juga terselesaikan dan malah menunjukkan tren kenaikan dua tahun terakhir seperti terlihat dalam tabel tersebut di atas.

Apa yang terjadi dalam dua tahun terakhir? Program BBM Satu Harga, yang dijalankan sejak 17 Oktober 2016, diikuti program wajib pasok premium di Jawa, Madura, dan Bali (Jamali) setelah sebelumnya dihapuskan di tiga wilayah tersebut. Inilah pemicu pembengkakan konsumsi BBM.

Dari sisi produksi, Indonesia mengalami persoalan pelik karena produksi terus menurun hingga menyentuh level 700.000 barel per hari (bph), sementara konsumsi kini telah mencapai nyaris tiga kali lipatnya mencapai 1,8 juta bph.



Karena itu, jika kita bicara pekerjaan berat terkait energi, jawabannya jelas di depan mata: lonjakan konsumsi BBM dan anjloknya produksi minyak mentah. Inilah yang harus diselesaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif.

Harus diakui, Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya energi terbarukan (non fosil) seperti energi bayu, energi air, energi surya, hingga biomassa. Namun, secara bersamaan sistem supply chain energi masih didominasi energi fosil (minyak, batu bara, dan gas).

Untuk mengatasi persoalan tersebut, Tim Riset CNBC Indonesia mencatat setidaknya ada tiga simpul yang harus segera diurai. Ketiganya terkait dengan kebijakan di sektor hulu dan hilir energi.

Pertama, dongkrak produksi energi sekarang (dengan eksplorasi); kedua, hilirisasi dalam arti olah energi primer yang ada untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (lewat kilang dan gasifikasi); dan ketiga, kurangi ketergantungan energi fosil alias diversifikasi ke energi nonfosil.

NEXT

Produksi minyak mau tidak mau harus ditingkatkan karena bauran energi saat ini masih cukup bergantung dengan produksi minyak. Meski penggunaan batu bara sudah meningkat, tetapi lebih pada penyediaan energi listrik dan bukan energi untuk transportasi.

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan sektor transportasi menjadi pengguna utama bahan bakar minyak (BBM) yaitu sekitar 82,9% (2017), menyumbang kenaikan konsumsi BBM sebesar 5% per tahun atau setara dengan pertumbuhan ekonomi.

Namun sayangnya, jika bicara kenaikan produksi minyak, temuan sumur-sumur minyak sangat terbatas, karena aktivitas eksplorasi yang melesu di tengah pelemahan harga minyak mentah dunia yang kini di kisaran US$ 60 per barel (anjlok dari posisi 2013 di level US$100 per barel).


Jika melihat potensi yang ada, investasi migas di Indonesia sebenarnya masih menarik dengan 70 basin atau cekungan minyak yang belum dieksplorasi. Hanya saja, kebanyakan dari itu berlokasi di laut dalam (Indonesia deepwater development/IDD).

Mengutip Direktur Indonesian Petroleum Association (IPA) Nanang Abdul Manaf, basin tersebut perlu dieksplorasi dengan teknologi baru. Investor asing bakal tertarik jika secara komersial layak dikembangkan.

“Potensi geologis yang sangat besar ini tidak dapat dipisahkan dari sisi komersial dan kebijakan fiskal yang ada, sehingga dapat menarik minat investor untuk melakukan eksplorasi,” ujarnya dalam pernyataan resmi, baru-baru ini.

Menurut IPA, proyeksi kebutuhan minyak pada 2025 sesuai Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) mencapai 2 juta bph. Untuk mencapai target itu, perlu penemuan cadangan migas baru sebanyak 10 kali Lapangan Cepu atau investasi sebesar US$ 12 miliar.

Meski eksplorasi dijalankan hari ini atau masuk program jangka pendek, hasilnya baru bisa dinikmati 5 hingga 10 tahun ke depan, karena prosesnya yang memang lama dan berbelit. Karenanya, harus dimulai dari sekarang.

NEXT


Sementara eksplorasi minyak digenjot, pemerintah tak boleh melupakan dua hal lain jika tak ingin terlalu bergantung pada cadangan minyak yang tak terbarukan (kian menipis), yakni hilirisasi dan juga diversifikasi sumber energi.

Sejak republik ini berdiri, Indonesia hanya memiliki enam kilang. Terakhir, Indonesia membangun kilang minyak pada 1995 (sebelum krisis moneter) yakni kilang minyak Sorong yang memiliki kapasitas produksi 10.000 bph.

Seserius apa sih pembangunan kilang? Llihat saja data impor hasil olahan minyak di bawah ini, di mana impor produk minyak (utamanya BBM) menurut data BPS melejit di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan bertahan di era Jokowi.

Jika sebelum krisis (tahun 1996) defisit impor produk olahan minyak kita hanya  US$ 560 juta dalam setahun, maka angka ini membengkak dan menyentuh rekor senilai US$16,7 miliar di era SBY. Kini (tahun 2018) defisit neraca hasil minyak mencapai US$ 16 miliar, alias tak berubah. Jika dirata-rata, Indonesia mengimpor BBM senilai Rp 615 miliar, per hari.

Tanpa kilang, maka kebutuhan impor BBM tersebut terus membesar karena konsumsi BBM mencapai 1,7 juta bph, sedangkan kapasitas terpasang kilang minyak Indonesia hanya 1,1 juta bph, atau hanya 800.000 bph secara efektif. Di tengah kondisi demikian, enam kilang yang direncanakan dibangun sampai saat ini masih sebatas janji politik.

PT Pertamina memang telah memprakarsai proyek pengembangan kilang di tempat yang sudah. Istilahnya adalah Refinery Development Master Plan (RDMP). Targetnya, Indonesia bisa menghasilkan BBM 2 juta bph jika semuanya sudah selesai. Namun, teknis pembangunan kilang tersebut sangat lambat. Di sinilah fungsi Menteri ESDM yang pro-hilirisasi diperlukan.

Jangan lupakan fakta bahwa republik ini mengimpor 70% dari konsumsi gas liquefied petroleum gas (LPG) yang mencapai 7,3 juta metrik ton per tahun. Artinya, setiap tahun Pertamina mengimpor gas LPG 5,11 juta metrik ton, setara 2,12 juta meter kubik gas.

Untuk itu, PT Bukit Asam Tbk menggarap proyek gasifikasi batu bara, senilai Rp 81,2 triliun, yang akan mengubah batu bara menjadi gas pengganti LPG. Proyek ini ditargetkan tuntas 2022 atau 2023.

Beberapa raksasa swasta juga tengah menggarap proyek serupa seperti misalnya PT Bumi Resources Tbk, dengan nilai Rp 22,4 triliun. Namun jika tanpa pengawalan dan bantuan insentif dari pemerintah, siap-siap saja melihat pelaksanaan pembangunan yang berlarut-larut.

Ketiga, Indonesia tidak boleh ketinggalan gerbong dengan mendiversifikasi sumber energinya ke sumber yang terbarukan (nonfosil) untuk keperluan jangka panjang. Kementerian ESDM sendiri telah memproyeksikan bahwa potensi sumber energi terbarukan Indonesia mencapai 441.700 megawatt (MW). Dari situ, yang dimanfaatkan baru hanya 2,1% saja (setara 9,2 GW).

Namun celakanya, saat ini tidak banyak insentif yang disediakan oleh pemerintah, setelah penggantian skema feed in tariff (FIT) dengan skema biaya pokok pembangkitan (BPP) listrik. Demikian juga harga jual listrik berbasis surya terhadap PLN yang hanya 85% dari BPP.

Sejarah bakal melihat, apakah Menteri Arifin bakal menjadi bagian dari masalah energi nasional dengan memicu kenaikan impor BBM, ataukah menyelesaikan persoalan energi di negeri yang berlimpah akan sumber daya energi baru dan terbarukan (EBT).

TIM RISET CNBC INDONESIA 



(ags/ags) Next Article Rencana Penyesuaian Tarif Listrik Masih Perlu Verifikasi Data

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular