Karena Kashmir, Kisruh CPO India-Malaysia Makin Panas

Wangi Sinintya Mangkuto, CNBC Indonesia
28 October 2019 07:55
Karena Kashmir, Kisruh CPO India-Malaysia Makin Panas
Foto: Pekerja mengangkut hasil panen kelapa Sawit di kebun Cimulang, Bogor, Jawa Barat, Jumat (15/3). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Sektor minyak kelapa sawit Malaysia tengah menghadapi ancaman baru, setelah sebelumnya India menghentikan pembelian kelapa sawit mereka dari Malaysia akibat pertikaian diplomatik atas Kashmir.

Pertikaian ini terjadi sejak pidato Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad di Majelis Umum PBB bulan lalu, di mana ia mengatakan New Delhi "menyerbu dan menduduki" Kashmir. Ucapan tersebut memicu reaksi di India yang dapat berdampak buruk terhadap sektor ini.


Sebagian besar muslim di Malaysia menaruh simpati pada Kashmir, pasalnya pemerintah nasionalis Hindu di New Delhi mencabut otonomi daerah mayoritas Muslim di daerah itu pada Agustus lalu. Kashmir telah terpecah antara India dan Pakistan sejak 1947, dan telah memicu perang dan berbagai pertikaian kecil antara kedua negara.

Pemberontakan bersenjata melawan pemerintahan India telah berlangsung di tempat itu sejak 1989. Komentar yang Mahathir sampaikan melalui pidato itu membuat orang-orang India menghindari produk-produk Malaysia.


Bukan hanya itu, baru-baru ini juga pengguna media sosial membuat tagar #BoycottMalaysia dibarengi dengan ucapan kemarahan. Sementara rumor yang beredar di New Delhi justru mungkin akan menaikkan tarif minyak kelapa sawit Malaysia.

Awal pekan ini, sebuah badan perdagangan minyak nabati utama India meminta 875 anggotanya untuk menghindari membeli minyak kelapa sawit dari Malaysia.
"Demi kepentingan anda sendiri dan juga sebagai tanda solidaritas dengan negara kami, kami harus menghindari pembelian dari Malaysia untuk sementara waktu," kata Atul Chaturvedi, presiden Asosiasi Pelarut Extractors di India, sebagaimana dilansir dari Channel News Asia, Senin (28/10/2019).

Tindakan Malaysia ini merupakan pukulan telak bagi Malaysia, karena India adalah pasar minyak kelapa sawit dan produk minyak sawit terbesar ketiga di negara itu. Pada 2018, perdagangan tercatat cukup besar dengan nilai 6,84 miliar ringgit (US$ 1,63 miliar).

Teresa Kok, menteri yang mengawasi komoditas itu, berjuang untuk meredakan ketegangan ini, menggambarkan langkah India tersebut sebagai "kemunduran besar". Ia mengatakan Malaysia sedang melihat peningkatan impor gula dan daging kerbau dari India.

Perselisihan itu menjadi pukulan lebih lanjut bagi Malaysia pada sektor ini. Setelah Uni Eropa mengumumkan rencana mereka untuk menghentikan penggunaan minyak kelapa sawit dalam bahan bakar nabati pada 2030 mendatang.

Malaysia dan Indonesia telah berjanji untuk melawan langkah tersebut, dengan mengatakan hal itu dapat merusak mata pencaharian jutaan petani skala kecil.
Meskipun ada upaya oleh beberapa pejabat Malaysia untuk menenangkan pertikaian, namun seruan terus meningkat di India agar pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi mengurangi impor minyak sawit.

Langkah seperti itu akan menandakan bahwa "negara-negara yang secara ekonomi terbantu oleh India tidak memiliki kebebasan lagi mengkritik negara tersebut secara politis," Neelam Deo, direktur Gateway House, mengatakan kepada AFP.

[Gambas:Video CNBC]


BERLANJUT KE HAL 2>>>>
Ketegangan juga meningkat antara India dan Turki, setelah Presiden Recep Tayyip Erdogan mengatakan kepada Majelis Umum PBB bahwa Kashmir yang dikelola India "dikepung". Setelah komentar tersebut, Modi membatalkan kunjungannya ke Turki dan mengancam bahwa India dapat mengurangi pesanan senilai US$ 2,3 miliar dalam perkapalan Turki.

New Delhi belum mengambil langkah-langkah formal apa pun terhadap Malaysia atau Turki, tetapi pekan lalu dikabarkan bahwa India mempertimbangkan untuk membatasi impor dari kedua negara, menurut Bloomberg News mengutip orang-orang yang mengetahui masalah ini.

"Kami berbicara ... pikiran kami dan kami tidak menarik kembali ucapan itu dan berubah," kata Mahathir kepada wartawan.

"Kadang-kadang apa yang kita katakan disukai oleh sebagian orang, dan tidak disukai oleh yang lain," tambah pria berusia 94 tahun yang terkenal vokal itu.

Dan dengan meningkatnya kemarahan nasionalistis di India, pertikaian tampaknya belum akan segera berakhir.

"Ini bukan murni masalah minyak kelapa sawit. Itu terkait dengan ego ... dan nasionalisme,"kata James Chin, seorang ahli Malaysia di University of Tasmania, kepada AFP.
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular