
Masih Bisa Senyum Para Menteri Lihat Fakta Ekonomi RI Suram?
Herdaru Purnomo & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
24 October 2019 09:28

Terakhir, potret suram ekonomi Indonesia bisa didapati dari struktur ekonomi yang kian tak proporsional dari tahun ke tahun. Perlu diketahui bahwa perekonomian terdiri dari dua sektor, yaitu sektor tradable dan sektor non-tradable.
Sektor tradable berisikan industri-industri yang output-nya diperdagangkan secara internasional serta melibatkan proses produksi yang konvensional. Agrikultur, pertambangan, dan manufaktur termasuk ke dalam sektor ini. Pada umumnya, sektor tradable memerlukan banyak tenaga kerja berpendidikan rendah, buruh pabrik misalnya.
Sementara itu, sektor non-tradable pada umumnya terdiri dari sektor-sektor jasa seperti jasa telekomunikasi, transportasi, dan keuangan. Sektor ini memerlukan lebih sedikit tenaga kerja, namun dengan kualifikasi tingkat pendidikan yang lebih tinggi, biasanya dimulai dari jenjang S1 ke atas atau setidaknya diploma.
Terhitung sejak Jokowi mengambil alih posisi RI-1 dari tangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2014 silam, perekonomian Indonesia sudah dikuasai oleh sektor non-tradable. Berdasarkan perhitungan Tim Riset CNBC Indonesia, sektor non-tradable menguasai sebesar 54,8% dari perekonomian Indonesia, sementara porsi dari sektor tradable adalah sebesar 45,2%.
Namun, tahun demi tahun terlewati, sektor non-tradable kian menguasai perekonomian tanah air. Pada tahun 2018, sektor non-tradable menguasai sebesar 57% dari perekonomian Indonesia, sementara porsi dari sektor tradable adalah sebesar 43%. Per akhir semester I-2019, porsi dari sektor non-tradable terhadap perekonomian Indonesia kembali naik menjadi 57,2%, sementara porsi dari sektor tradable menciut menjadi 42,8%.
Kenaikan porsi sektor non-tradable tidak lain didorong oleh pesatnya pertumbuhan di sektor tersebut, mengalahkan sektor tradable.
Sekilas, tentu menjadi hal yang menggembirakan ketika sektor terbesar dalam ekonomi Indonesia mencatatkan pertumbuhan yang tinggi. Namun di sisi lain, lemahnya pertumbuhan sektor tradable membuat penciptaan lapangan kerja di sektor ini menjadi lambat.
Dalam periode Maret 2016 hingga Februari 2019, sektor tradable menciptakan sebanyak 2,13 juta lapangan kerja, sementara sektor non-tradable menciptakan jauh lebih banyak lapangan kerja, yakni 6,58 juta. Penciptaan lapangan kerja oleh sektor non-tradable mencapai tiga kali lipat lebih dari penciptaan lapangan kerja sektor tradable.
Padahal, lapangan kerja di sektor tradable adalah yang relatif mudah diakses oleh masyarakat Indonesia yang mayoritas berpendidikan rendah.
Memang, sejauh ini pemerintah tertolong karena maraknya permintaan atas jasa dari aplikator ride hailing seperti Gojek dan Grab yang pada akhirnya membuat masyarakat berpendidikan rendah bisa mendapatkan pekerjaan sebagai driver Ojol (ojek online).
Namun, pemerintah harus betul-betul mewaspadai fenomena ini. Pasalnya, alih-alih masuk ke lapangan kerja yang formal, masyarakat Indonesia malah mengandalkan lapangan kerja informal guna menghidupi dirinya dan keluarganya.
Untuk diketahui, yang membedakan lapangan kerja formal dan informal adalah terkait dengan pembayaran pajak ke pemerintah. Tenaga kerja formal merupakan tenaga kerja yang membayarkan pajak kepada pemerintah. Biasanya, tenaga kerja formal merupakan seorang profesional seperti guru, dosen, dokter, wartawan, dan Aparatur Sipil Negara (ASN).
Sementara itu, tenaga kerja informal merupakan tenaga kerja yang tidak membayarkan pajak kepada pemerintah, walaupun sejatinya penghasilannya masuk ke dalam kategori yang dikenakan pajak penghasilan (PPh). Tenaga kerja informal biasanya diasosiasikan dengan tenaga kerja yang banyak mengandalkan kekuatan fisik (blue collar) seperti Pedagang Kaki Lima (PKL), kuli bangunan, dan tukang ojek.
Dalam beberapa waktu terakhir, kontribusi sektor informal terhadap total pasar tenaga kerja Indonesia terus mendekati level 60%.
Membludaknya tenaga kerja informal patut diwaspadai lantaran akan membuat amunisi pemerintah untuk menggenjot pembangunan menjadi terbatas (karena para pekerjanya tak membayar PPh).
Belum lagi jika berbicara mengenai model bisnis dari perusahaan-perusahaan ride hailing itu sendiri. Seperti yang sama-sama diketahui, perusahaan-perusahaan ride hailing mengandalkan promo besar-besaran guna menarik minat masyarakat menggunakan layanannya.
Kehadiran pemodal kelas kakap macam SoftBank membuat perusahaan-perusahaan ride hailing seakan tak pernah kehabisan dana untuk menggeber promonya.
Namun pertanyaannya, apa yang akan terjadi jika pemodal-pemodal kelas kakap sudah tak tertarik lagi menyuntikkan dananya ke bisnis ride hailing?
Ditakutkan, kenaikan tarif menjadi sesuatu yang tak terhindarkan dan permintaan dari masyarakat akan dibuat turun karenanya. Apalagi, di saat yang bersamaan pemerintah diketahui tengah gencar membangun moda transportasi masal seperti LRT dan MRT.
Ketika permintaan dari masyarakat turun, bisa terjadi shock yang besar di kalangan driver Ojol. Bisa terjadi kepanikan untuk mencari lapangan kerja baru lantaran penghasilan dari menjadi driver Ojol turun dengan drastis.
Jadi, jelas sudah bagaimana suramnya perekonomian Indonesia. Dibutuhkan terobosan-terobosan di periode kedua pemerintahan Jokowi jika ingin mengembalikan perekonomian Indonesia ke jalur yang benar.
TIM RISET CNBC INDONESIA (dru)
Sektor tradable berisikan industri-industri yang output-nya diperdagangkan secara internasional serta melibatkan proses produksi yang konvensional. Agrikultur, pertambangan, dan manufaktur termasuk ke dalam sektor ini. Pada umumnya, sektor tradable memerlukan banyak tenaga kerja berpendidikan rendah, buruh pabrik misalnya.
Sementara itu, sektor non-tradable pada umumnya terdiri dari sektor-sektor jasa seperti jasa telekomunikasi, transportasi, dan keuangan. Sektor ini memerlukan lebih sedikit tenaga kerja, namun dengan kualifikasi tingkat pendidikan yang lebih tinggi, biasanya dimulai dari jenjang S1 ke atas atau setidaknya diploma.
Namun, tahun demi tahun terlewati, sektor non-tradable kian menguasai perekonomian tanah air. Pada tahun 2018, sektor non-tradable menguasai sebesar 57% dari perekonomian Indonesia, sementara porsi dari sektor tradable adalah sebesar 43%. Per akhir semester I-2019, porsi dari sektor non-tradable terhadap perekonomian Indonesia kembali naik menjadi 57,2%, sementara porsi dari sektor tradable menciut menjadi 42,8%.
Kenaikan porsi sektor non-tradable tidak lain didorong oleh pesatnya pertumbuhan di sektor tersebut, mengalahkan sektor tradable.
Sekilas, tentu menjadi hal yang menggembirakan ketika sektor terbesar dalam ekonomi Indonesia mencatatkan pertumbuhan yang tinggi. Namun di sisi lain, lemahnya pertumbuhan sektor tradable membuat penciptaan lapangan kerja di sektor ini menjadi lambat.
Dalam periode Maret 2016 hingga Februari 2019, sektor tradable menciptakan sebanyak 2,13 juta lapangan kerja, sementara sektor non-tradable menciptakan jauh lebih banyak lapangan kerja, yakni 6,58 juta. Penciptaan lapangan kerja oleh sektor non-tradable mencapai tiga kali lipat lebih dari penciptaan lapangan kerja sektor tradable.
Padahal, lapangan kerja di sektor tradable adalah yang relatif mudah diakses oleh masyarakat Indonesia yang mayoritas berpendidikan rendah.
Memang, sejauh ini pemerintah tertolong karena maraknya permintaan atas jasa dari aplikator ride hailing seperti Gojek dan Grab yang pada akhirnya membuat masyarakat berpendidikan rendah bisa mendapatkan pekerjaan sebagai driver Ojol (ojek online).
Namun, pemerintah harus betul-betul mewaspadai fenomena ini. Pasalnya, alih-alih masuk ke lapangan kerja yang formal, masyarakat Indonesia malah mengandalkan lapangan kerja informal guna menghidupi dirinya dan keluarganya.
Untuk diketahui, yang membedakan lapangan kerja formal dan informal adalah terkait dengan pembayaran pajak ke pemerintah. Tenaga kerja formal merupakan tenaga kerja yang membayarkan pajak kepada pemerintah. Biasanya, tenaga kerja formal merupakan seorang profesional seperti guru, dosen, dokter, wartawan, dan Aparatur Sipil Negara (ASN).
Sementara itu, tenaga kerja informal merupakan tenaga kerja yang tidak membayarkan pajak kepada pemerintah, walaupun sejatinya penghasilannya masuk ke dalam kategori yang dikenakan pajak penghasilan (PPh). Tenaga kerja informal biasanya diasosiasikan dengan tenaga kerja yang banyak mengandalkan kekuatan fisik (blue collar) seperti Pedagang Kaki Lima (PKL), kuli bangunan, dan tukang ojek.
Dalam beberapa waktu terakhir, kontribusi sektor informal terhadap total pasar tenaga kerja Indonesia terus mendekati level 60%.
Membludaknya tenaga kerja informal patut diwaspadai lantaran akan membuat amunisi pemerintah untuk menggenjot pembangunan menjadi terbatas (karena para pekerjanya tak membayar PPh).
Belum lagi jika berbicara mengenai model bisnis dari perusahaan-perusahaan ride hailing itu sendiri. Seperti yang sama-sama diketahui, perusahaan-perusahaan ride hailing mengandalkan promo besar-besaran guna menarik minat masyarakat menggunakan layanannya.
Kehadiran pemodal kelas kakap macam SoftBank membuat perusahaan-perusahaan ride hailing seakan tak pernah kehabisan dana untuk menggeber promonya.
Namun pertanyaannya, apa yang akan terjadi jika pemodal-pemodal kelas kakap sudah tak tertarik lagi menyuntikkan dananya ke bisnis ride hailing?
Ditakutkan, kenaikan tarif menjadi sesuatu yang tak terhindarkan dan permintaan dari masyarakat akan dibuat turun karenanya. Apalagi, di saat yang bersamaan pemerintah diketahui tengah gencar membangun moda transportasi masal seperti LRT dan MRT.
Ketika permintaan dari masyarakat turun, bisa terjadi shock yang besar di kalangan driver Ojol. Bisa terjadi kepanikan untuk mencari lapangan kerja baru lantaran penghasilan dari menjadi driver Ojol turun dengan drastis.
Jadi, jelas sudah bagaimana suramnya perekonomian Indonesia. Dibutuhkan terobosan-terobosan di periode kedua pemerintahan Jokowi jika ingin mengembalikan perekonomian Indonesia ke jalur yang benar.
TIM RISET CNBC INDONESIA (dru)
Pages
Most Popular