Masih Bisa Senyum Para Menteri Lihat Fakta Ekonomi RI Suram?

Herdaru Purnomo & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
24 October 2019 09:28
Masih Bisa Senyum Para Menteri Lihat Fakta Ekonomi RI Suram?
Jakarta, CNBC Indonesia - Kabinet Indonesia Maju sudah ditetapkan. SK pun sudah didapatkan 38 orang yang kini berjuang bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wapres Ma'ruf Amin.

Saatnya kembali ke dunia nyata. Para menteri yang diklaim 'dream team' ini harus menghadapi sederet fakta yang suram.

Apalagi bicara soal ekonomi. Mari disimak terlebih dahulu. Apakah senyuman masih bisa muncul dari para menteri ini melihat fakta di bawah?



Halaman Selanjutnya >> Fakta Pertama (NEXT)

Tak heran kalau ekonomi Indonesia gagal meroket seperti yang dijanjikan oleh Jokowi di periode pertama.

Bagaimana ekonomi mau meroket kalau nyatanya Indonesia makin tak kompetitif jika dibandingkan beberapa tahun yang lalu? Melansir publikasi The Global Competitiveness Report edisi 2014-2015, kala itu Indonesia berada di peringkat 34 dari 144 negara.

Sekedar mengingatkan, 7% merupakan target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan Jokowi kala berkompetisi melawan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam gelaran pemilihan presiden (Pilpres) 2014.

Nyaris tuntas periode pertamanya sebagai pemimpin tertinggi di negara ini, tak ada ceritanya janji manis itu terealisasi. Tak usahlah kita berbicara mengenai pertumbuhan ekonomi sebesar 7%, wong keluar dari batas bawah 5% saja kita tidak bisa.

Melansir data Refinitiv, pada tahun 2015 atau tahun pertama di mana Jokowi menjabat penuh sebagai presiden, pertumbuhan ekonomi justru longsor ke angka 4,79%. Selepas itu, pertumbuhan ekonomi selalu nyaman berada di batas bawah 5%.

Teranyar, pada awal Agustus, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal II-2019. Sepanjang tiga bulan kedua tahun 2019, BPS mencatat perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh melambat dibandingkan capaian kuartal II-2018 kala perekonomian mampu tumbuh sebesar 5,27%.

Pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua tahun 2019 juga melambat jika dibandingkan capaian pada kuartal I-2019 yang sebesar 5,07%. Untuk periode semester I-2019, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,06% YoY.

Oh ya, pertumbuhan ekonomi di era Jokowi juga kerap kali berada di bawah target yang dicanangkan di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ataupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) yang jauh lebih konservatif ketimbang janji manisnya kala berkampanye yang sebesar 7%.

Sedikit mundur ke tahun 2017, perekonomian ditargetkan tumbuh sebesar 5,1% dalam APBN. Pemerintah kemudian seakan menyombongkan diri dengan menaikkan targetnya menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Padahal, biasanya target pertumbuhan ekonomi dalam APBNP justru diturunkan. Realisasinya, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,07% pada tahun 2017.

Pada tahun 2018, perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,17%. Padahal, pemerintah mematok target sebesar 5,4%. Ada selisih yang sangat jauh antara target dan realisasi.

Untuk diketahui, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing kini memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019.

Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.

BERLANJUT KE HALAMAN SELANJUTNYA-> Investor Asing Ogah Masuk ke Tanah Air? (NEXT)


Seiring dengan tak kompetitifnya perekonomian Indonesia, investor asing menjadi kian enggan untuk menanamkan modalnya di negara ini. Pada akhirnya, seperti yang sudah dijelaskan di halaman dua, pertumbuhan ekonomi menjadi loyo.

Kalau berbicara mengenai tarik-menarik dana asing di pasar modal, Indonesia bisa dibilang jago. Melansir data yang dipublikasikan Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), per September 2019 pemodal asing tercatat memiliki 50,6% dari saham yang tercatat di KSEI.

Di pasar obligasi, melansir data yang dipublikasikan Direktoral Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, per 8 Oktober 2019, investor asing menguasai senilai Rp 1.030,68 triliun dari total obligasi pemerintah Indonesia yang dapat diperdagangkan atau setara dengan 38,64%.

Tapi, kalau berbicara mengenai investasi riil (membangun pabrik), ceritanya menjadi berbeda. Untuk diketahui, jika berbicara mengenai investasi riil, yang terpenting bagi Indonesia adalah penanaman modal asing (PMA) atau foreign direct investment, bukan penanaman modal dalam negeri (PMDN) atau domestic direct investment.

Pasalnya, dari total penanaman modal di tanah air, lebih dari 50% disumbang oleh PMA. Karena nilainya lebih besar, tentu pertumbuhan PMA yang signifikan akan lebih terasa bagi perekonomian ketimbang pertumbuhan PMDN.

Celakanya, pertumbuhan realisasi PMA di era Jokowi sangatlah mengecewakan. Pada tahun 2014, realisasi PMA tercatat tumbuh 13,54% jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2013. Pada tahun 2015, pertumbuhannya sempat naik menjadi 19,22%. Dalam dua tahun berikutnya (2016-2017), PMA hanya tumbuh di kisaran satu digit. Pada tahun 2018, PMA bahkan tercatat ambruk hingga 8,8%.

Kalau dilihat kinerjanya secara kuartalan, selama empat kuartal beruntun (sejak kuartal II-2018 hingga kuartal I-2019) realisasi PMA membukukan kontraksi secara tahunan. Barulah pada kuartal II-2019 PMA bisa mencetak pertumbuhan, yakni sebesar 9,61%.

Namun, pertumbuhan realisasi PMA pada tiga bulan kedua tahun ini perlu diwaspadai. Pasalnya, salah satu penyebab kenaikan realisasi PMA pada kuartal II-2019 adalah low-base effect.

Realisasi PMA pada kuartal II-2018 terbilang rendah sehingga tak sulit untuk membukukan pertumbuhan pada kuartal II-2019. Pada kuartal II-2018, realisasi PMA tercatat senilai Rp 95,7 triliun. Realisasi PMA tersebut merupakan realisasi PMA kuartal II terendah sejak tahun 2015.

Pada kuartal I-2019 dan kuartal II-2019, investasi (bagian dari perhitungan PDB menggunakan pendekatan pengeluaran) tercatat tumbuh masing-masing sebesar 5,03% dan 5,01% secara tahunan. Pertumbuhan yang hanya di batas bawah 5% tersebut jauh merosot jika dibandingkan capaian pada periode yang sama tahun lalu. Pada kuartal I-2018 dan kuartal II-2018, investasi tercatat tumbuh masing-masing sebesar 7,95% dan 5,87% secara tahunan.

Pada kuartal III-2019, ada kemungkinan bahwa pertumbuhan pos investasi justru akan melorot ke bawah level 5%. Pasalnya, aktivitas sektor manufaktur Indonesia diketahui selalu membukukan kontraksi pada bulan Juli, Agustus, dan September.

Melansir data yang dipublikasikan oleh Markit, Manufacturing PMI Indonesia pada bulan Juli, Agustus, dan September berada masing-masing di level 49,6, 49, dan 49,1.

Sebagai informasi, angka di atas 50 berarti aktivitas manufaktur membukukan ekspansi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, sementara angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi.

Dengan aktivitas manufaktur yang terus terkontraksi, dunia usaha akan cenderung menahan investasinya sehingga sangat mungkin pertumbuhan pos investasi akan melorot ke bawah 5%.

Selain karena aktivitas manufaktur dalam negeri yang selalu terkontraksi pada kuartal III-2019, patut diwaspadai bahwa lemahnya realisasi PMA akan kembali didapati di tiga bulan ketiga tahun ini, seiring dengan kondisi di tanah air yang memanas.

Seperti yang diketahui, Indonesia memanas menjelang akhir bulan September seiring dengan gelombang demo yang terjadi di berbagai daerah terkait dengan beberapa isu. Isu-isu yang dimaksud di antaranya revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang belum lama ini sudah disahkan oleh parlemen.

Disahkannya revisi UU KPK dipandang oleh banyak pihak sebagai upaya yang sistematis untuk melemahkan posisi KPK, sebuah lembaga yang memiliki rekam jejak oke dalam hal pemberantasan korupsi di Indonesia.

Selain revisi UU KPK, aksi demo juga digelar guna menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Lebih lanjut, ada RUU Permsayarakatan, RUU Ketenagakerjaan, dan juga RUU Minerba yang lagi-lagi meresahkan masyarakat.

HALAMAN SELANJUTNYA >> Ekonomi Tak Proporsional (NEXT)


Terakhir, potret suram ekonomi Indonesia bisa didapati dari struktur ekonomi yang kian tak proporsional dari tahun ke tahun. Perlu diketahui bahwa perekonomian terdiri dari dua sektor, yaitu sektor tradable dan sektor non-tradable.

Sektor tradable berisikan industri-industri yang output-nya diperdagangkan secara internasional serta melibatkan proses produksi yang konvensional. Agrikultur, pertambangan, dan manufaktur termasuk ke dalam sektor ini. Pada umumnya, sektor tradable memerlukan banyak tenaga kerja berpendidikan rendah, buruh pabrik misalnya.

Sementara itu, sektor non-tradable pada umumnya terdiri dari sektor-sektor jasa seperti jasa telekomunikasi, transportasi, dan keuangan. Sektor ini memerlukan lebih sedikit tenaga kerja, namun dengan kualifikasi tingkat pendidikan yang lebih tinggi, biasanya dimulai dari jenjang S1 ke atas atau setidaknya diploma.

Terhitung sejak Jokowi mengambil alih posisi RI-1 dari tangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2014 silam, perekonomian Indonesia sudah dikuasai oleh sektor non-tradable. Berdasarkan perhitungan Tim Riset CNBC Indonesia, sektor non-tradable menguasai sebesar 54,8% dari perekonomian Indonesia, sementara porsi dari sektor tradable adalah sebesar 45,2%.

Namun, tahun demi tahun terlewati, sektor non-tradable kian menguasai perekonomian tanah air. Pada tahun 2018, sektor non-tradable menguasai sebesar 57% dari perekonomian Indonesia, sementara porsi dari sektor tradable adalah sebesar 43%. Per akhir semester I-2019, porsi dari sektor non-tradable terhadap perekonomian Indonesia kembali naik menjadi 57,2%, sementara porsi dari sektor tradable menciut menjadi 42,8%.

Kenaikan porsi sektor non-tradable tidak lain didorong oleh pesatnya pertumbuhan di sektor tersebut, mengalahkan sektor tradable.

Sekilas, tentu menjadi hal yang menggembirakan ketika sektor terbesar dalam ekonomi Indonesia mencatatkan pertumbuhan yang tinggi. Namun di sisi lain, lemahnya pertumbuhan sektor tradable membuat penciptaan lapangan kerja di sektor ini menjadi lambat.

Dalam periode Maret 2016 hingga Februari 2019, sektor tradable menciptakan sebanyak 2,13 juta lapangan kerja, sementara sektor non-tradable menciptakan jauh lebih banyak lapangan kerja, yakni 6,58 juta. Penciptaan lapangan kerja oleh sektor non-tradable mencapai tiga kali lipat lebih dari penciptaan lapangan kerja sektor tradable.

Padahal, lapangan kerja di sektor tradable adalah yang relatif mudah diakses oleh masyarakat Indonesia yang mayoritas berpendidikan rendah.

Memang, sejauh ini pemerintah tertolong karena maraknya permintaan atas jasa dari aplikator ride hailing seperti Gojek dan Grab yang pada akhirnya membuat masyarakat berpendidikan rendah bisa mendapatkan pekerjaan sebagai driver Ojol (ojek online).

Namun, pemerintah harus betul-betul mewaspadai fenomena ini. Pasalnya, alih-alih masuk ke lapangan kerja yang formal, masyarakat Indonesia malah mengandalkan lapangan kerja informal guna menghidupi dirinya dan keluarganya.

Untuk diketahui, yang membedakan lapangan kerja formal dan informal adalah terkait dengan pembayaran pajak ke pemerintah. Tenaga kerja formal merupakan tenaga kerja yang membayarkan pajak kepada pemerintah. Biasanya, tenaga kerja formal merupakan seorang profesional seperti guru, dosen, dokter, wartawan, dan Aparatur Sipil Negara (ASN).

Sementara itu, tenaga kerja informal merupakan tenaga kerja yang tidak membayarkan pajak kepada pemerintah, walaupun sejatinya penghasilannya masuk ke dalam kategori yang dikenakan pajak penghasilan (PPh). Tenaga kerja informal biasanya diasosiasikan dengan tenaga kerja yang banyak mengandalkan kekuatan fisik (blue collar) seperti Pedagang Kaki Lima (PKL), kuli bangunan, dan tukang ojek.

Dalam beberapa waktu terakhir, kontribusi sektor informal terhadap total pasar tenaga kerja Indonesia terus mendekati level 60%.

Membludaknya tenaga kerja informal patut diwaspadai lantaran akan membuat amunisi pemerintah untuk menggenjot pembangunan menjadi terbatas (karena para pekerjanya tak membayar PPh).

Belum lagi jika berbicara mengenai model bisnis dari perusahaan-perusahaan ride hailing itu sendiri. Seperti yang sama-sama diketahui, perusahaan-perusahaan ride hailing mengandalkan promo besar-besaran guna menarik minat masyarakat menggunakan layanannya.

Kehadiran pemodal kelas kakap macam SoftBank membuat perusahaan-perusahaan ride hailing seakan tak pernah kehabisan dana untuk menggeber promonya.

Namun pertanyaannya, apa yang akan terjadi jika pemodal-pemodal kelas kakap sudah tak tertarik lagi menyuntikkan dananya ke bisnis ride hailing?

Ditakutkan, kenaikan tarif menjadi sesuatu yang tak terhindarkan dan permintaan dari masyarakat akan dibuat turun karenanya. Apalagi, di saat yang bersamaan pemerintah diketahui tengah gencar membangun moda transportasi masal seperti LRT dan MRT.

Ketika permintaan dari masyarakat turun, bisa terjadi shock yang besar di kalangan driver Ojol. Bisa terjadi kepanikan untuk mencari lapangan kerja baru lantaran penghasilan dari menjadi driver Ojol turun dengan drastis.

Jadi, jelas sudah bagaimana suramnya perekonomian Indonesia. Dibutuhkan terobosan-terobosan di periode kedua pemerintahan Jokowi jika ingin mengembalikan perekonomian Indonesia ke jalur yang benar.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(dru) Next Article Kabinet Separuh Zaken Ala Jokowi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular