
Penjualan Ritel Lesu Pertanda AS Bakal Resesi? Nanti Dulu...
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
17 October 2019 11:28

Jakarta, CNBC Indonesia - Dini hari tadi waktu Indonesia, ada rilis data terbaru di Amerika Serikat (AS) yaitu penjualan ritel. Hasilnya kurang memuaskan, sehingga awan mendung resesi di Negeri Paman Sam kembali bergelayut.
Pada September, penjualan ritel turun 0,3% dibandingkan bulan sebelumnya. Di bawah pencapaian Agustus yang naik 0,6% month-on-month (MoM) juga konsensus pasar yang dihimpun Trading Economics yaitu naik 0,3% MoM.
Ini menjadi kali pertama penjualan ritel negatif sejak Februari. Penyebabnya adalah penjualan kendaraan bermotor, material bangunan, dan alat-alat kesenangan/hobi yang menurun.
Akibat data ini, pelaku pasar kembali yakin bahwa Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) akan menurunkan suku bunga acuan bulan ini. Berdasarkan CME Fedwatch, probabilitas penurunan Federal Funds Rate dalam rapat The Fed 30 Oktober mencapai 87,1%. Kemarin, angkanya masih 73,8% dan sepekan lalu 80,2%.
Penjualan ritel yang turun menandakan tekanan inflasi di AS masih 'jinak', belum bisa menyentuh target The Fed yaitu 2% dalam jangka menengah. Artinya, ada kelesuan di tingkat konsumen dan oleh karenanya butuh 'suntikan adrenalin' berupa penurunan suku bunga acuan.
Apabila situasi terus memburuk, maka bukan tidak mungkin AS kembali jatuh ke jurang resesi seperti saat krisis keuangan sekira satu dekade lalu.
Namun, apakah AS memang sudah begitu dekat dengan resesi?
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Definisi resesi adalah kontraksi ekonomi atau pertumbuhan negatif (negative growth) selama dua kuartal beruntun pada tahun yang sama. Tahun ini AS hampir pasti tidak masuk resesi, karena pertumbuhan ekonomi masih positif meski melambat.
Pada kuartal I-2019, ekonomi AS tumbuh 3,1% secara kuartalan yang disetahunkan (annualized), dan pada kuartal berikutnya mencatatkan pertumbuhan 2%. Sementara pada kuartal III-2019, Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) cabang Atlanta memperkirakan pertumbuhan ekonomi sebesar 1,8%. Sepertinya tidak akan ada kontraksi ekonomi dua kuartal beruntun pada 2019.
Bagaimana dengan 2020?
Komite Penyusun Kebijakan The Fed (Federal Market Open Committee/FOMC) dalam proyeksi September 2019 memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS tahun depan berada di kisaran 1,7-2,3% atau median 2%. Masih positif kok, belum resesi.
Sementara The Fed cabang New York memperkirakan risiko resesi terjadi pada September 2020 sebesar 34,8%. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 37,93%.
Tidak hanya di New York, The Fed cabang Cleveland juga menurunkan proyeksi risiko resesi. Pada Agustus 2020, risiko resesi masih berada di kisaran 40% tetapi kemudian turun ke level 30%.
Â
Kemudian, indikator lain yang kerap menjadi penanda resesi adalah imbal hasil (yield) obligasi tenor dua dan 10 tahun. Kala yield tenor pendek lebih tinggi ketimbang yang tenor panjang alias inversi (inverted yield) dan itu terjadi dalam waktu lama, maka risiko resesi semakin tinggi. Sebab saat investor menilai risiko dalam jangka pendek lebih tinggi dibandingkan jangka panjang, maka kemungkinan besar akan terjadi apa-apa dalam waktu dekat.
Yield obligasi dua tenor ini sempat mengalami inversi, yang kemudian memicu kekhawatiran akan resesi. Namun kini kecemasan itu boleh dikurangi, karena inversi sudah tidak terjadi lumayan lama.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Bagaimana dengan data-data ekonomi Negeri Adidaya? Bukankah penjualan ritel turun? Nanti dulu...
Walau data penjualan ritel turun, tetapi ingat itu adalah pertumbuhan bulanan. Data bulanan biasanya banyak mengandung unsur musiman (seasonality) sehingga kurang mencerminkan tren. Terlalu banyak noise.
Pada September, penjualan ritel di AS masih tumbuh 4,1% year-on-year (YoY). Data perubahan tahunan lebih menggambarkan tren, lebih bisa dipegang.
Selain itu, data-data ekonomi AS lainnya masih oke kok. Pembacaan awal indeks sentimen konsumen versi University of Michigan periode Oktober menunjukkan angka 96. Naik ketimbang September yang sebesar 93,2 dan menjadi yang tertinggi sejak Juli.
Kemudian pada pekan yang berakhir 5 Oktober, jumlah klaim tunjangan pengangguran di AS turun 10.000 dibandingkan pekan sebelumnya menjadi 210.000. Klaim tunjangan pengangguran berada di titik terendah sejak pertengahan September.
Oleh karena itu, sepertinya masih terlalu awal untuk khawatir AS bakal mengalami resesi. Sejauh ini performa ekonomi AS masih lumayan bagus.
Akan tetapi, bukan berarti semua boleh berleha-leha. Oke, The Fed New York dan Cleveland menurunkan proyeksi terjadinya resesi. Namun kans sekitar 30% tidak bisa dipandang sebelah mata, jangan dianggap remeh.
Khawatir berlebihan memang tidak perlu. Namun bukan berarti kita boleh santai...
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji) Next Article Kalau AS Resesi Emang Kenapa? Apa Ngaruhnya untuk RI?
Pada September, penjualan ritel turun 0,3% dibandingkan bulan sebelumnya. Di bawah pencapaian Agustus yang naik 0,6% month-on-month (MoM) juga konsensus pasar yang dihimpun Trading Economics yaitu naik 0,3% MoM.
Ini menjadi kali pertama penjualan ritel negatif sejak Februari. Penyebabnya adalah penjualan kendaraan bermotor, material bangunan, dan alat-alat kesenangan/hobi yang menurun.
Akibat data ini, pelaku pasar kembali yakin bahwa Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) akan menurunkan suku bunga acuan bulan ini. Berdasarkan CME Fedwatch, probabilitas penurunan Federal Funds Rate dalam rapat The Fed 30 Oktober mencapai 87,1%. Kemarin, angkanya masih 73,8% dan sepekan lalu 80,2%.
Penjualan ritel yang turun menandakan tekanan inflasi di AS masih 'jinak', belum bisa menyentuh target The Fed yaitu 2% dalam jangka menengah. Artinya, ada kelesuan di tingkat konsumen dan oleh karenanya butuh 'suntikan adrenalin' berupa penurunan suku bunga acuan.
Apabila situasi terus memburuk, maka bukan tidak mungkin AS kembali jatuh ke jurang resesi seperti saat krisis keuangan sekira satu dekade lalu.
Namun, apakah AS memang sudah begitu dekat dengan resesi?
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Definisi resesi adalah kontraksi ekonomi atau pertumbuhan negatif (negative growth) selama dua kuartal beruntun pada tahun yang sama. Tahun ini AS hampir pasti tidak masuk resesi, karena pertumbuhan ekonomi masih positif meski melambat.
Pada kuartal I-2019, ekonomi AS tumbuh 3,1% secara kuartalan yang disetahunkan (annualized), dan pada kuartal berikutnya mencatatkan pertumbuhan 2%. Sementara pada kuartal III-2019, Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) cabang Atlanta memperkirakan pertumbuhan ekonomi sebesar 1,8%. Sepertinya tidak akan ada kontraksi ekonomi dua kuartal beruntun pada 2019.
Bagaimana dengan 2020?
Komite Penyusun Kebijakan The Fed (Federal Market Open Committee/FOMC) dalam proyeksi September 2019 memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS tahun depan berada di kisaran 1,7-2,3% atau median 2%. Masih positif kok, belum resesi.
Sementara The Fed cabang New York memperkirakan risiko resesi terjadi pada September 2020 sebesar 34,8%. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 37,93%.
Tidak hanya di New York, The Fed cabang Cleveland juga menurunkan proyeksi risiko resesi. Pada Agustus 2020, risiko resesi masih berada di kisaran 40% tetapi kemudian turun ke level 30%.
Â
Kemudian, indikator lain yang kerap menjadi penanda resesi adalah imbal hasil (yield) obligasi tenor dua dan 10 tahun. Kala yield tenor pendek lebih tinggi ketimbang yang tenor panjang alias inversi (inverted yield) dan itu terjadi dalam waktu lama, maka risiko resesi semakin tinggi. Sebab saat investor menilai risiko dalam jangka pendek lebih tinggi dibandingkan jangka panjang, maka kemungkinan besar akan terjadi apa-apa dalam waktu dekat.
Yield obligasi dua tenor ini sempat mengalami inversi, yang kemudian memicu kekhawatiran akan resesi. Namun kini kecemasan itu boleh dikurangi, karena inversi sudah tidak terjadi lumayan lama.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Bagaimana dengan data-data ekonomi Negeri Adidaya? Bukankah penjualan ritel turun? Nanti dulu...
Walau data penjualan ritel turun, tetapi ingat itu adalah pertumbuhan bulanan. Data bulanan biasanya banyak mengandung unsur musiman (seasonality) sehingga kurang mencerminkan tren. Terlalu banyak noise.
Pada September, penjualan ritel di AS masih tumbuh 4,1% year-on-year (YoY). Data perubahan tahunan lebih menggambarkan tren, lebih bisa dipegang.
Selain itu, data-data ekonomi AS lainnya masih oke kok. Pembacaan awal indeks sentimen konsumen versi University of Michigan periode Oktober menunjukkan angka 96. Naik ketimbang September yang sebesar 93,2 dan menjadi yang tertinggi sejak Juli.
Kemudian pada pekan yang berakhir 5 Oktober, jumlah klaim tunjangan pengangguran di AS turun 10.000 dibandingkan pekan sebelumnya menjadi 210.000. Klaim tunjangan pengangguran berada di titik terendah sejak pertengahan September.
Oleh karena itu, sepertinya masih terlalu awal untuk khawatir AS bakal mengalami resesi. Sejauh ini performa ekonomi AS masih lumayan bagus.
Akan tetapi, bukan berarti semua boleh berleha-leha. Oke, The Fed New York dan Cleveland menurunkan proyeksi terjadinya resesi. Namun kans sekitar 30% tidak bisa dipandang sebelah mata, jangan dianggap remeh.
Khawatir berlebihan memang tidak perlu. Namun bukan berarti kita boleh santai...
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji) Next Article Kalau AS Resesi Emang Kenapa? Apa Ngaruhnya untuk RI?
Most Popular