Pak Jokowi, Kok KPK 'Dicuekin' di Penyusunan Kabinet?

Redaksi, CNBC Indonesia
15 October 2019 06:00
Pak Jokowi, Kok KPK 'Dicuekin' di Penyusunan Kabinet?
Foto: Gedung KPK (Ahmad Bil Wahid/detikcom)
Jakarta, CNBC IndonesiaPresiden Republik Indonesia terpilih 2019-2024 Joko Widodo tidak melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam pemilihan sosok menteri yang bakal mengisi Kabinet Kerja II. Hal itu disampaikan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di gedung Pusat Edukasi Antikorupsi, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Senin (14/10/2019).

"Kita tidak diikutkan tetapi kita berharap bahwa yang ditunjuk oleh presiden adalah orang-orang yang mempunyai rekam jejak yang bagus," kata Laode seperti dilansir dari pemberitaan detik.com.

"Bila dimintai (masukan), kita akan berikan masukan. Kalau tidak, tidak apa-apa. Bahwa itu saja kita berharap bahwa beliau cukup paham untuk mengetahui mana calon menteri yang mempunyai rekam jejak yang baik atau tidak," lanjutnya.

Situasi ini tentu berbeda dengan situasi pada 2014 lalu. Ketika itu, Jokowi meminta saran dari KPK dan juga Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri rekam jejak kandidat menteri dalam Kabinet Kerja.

"Nama-nama menteri sudah diserahkan ke KPK dan PPATK. Ini early warning dari KPK dan PPATK. Kalau ada hal yang tidak kami dapatkan dari ruang publik," ujar mantan Deputi Kepala Staf Kantor Transisi Andi Widjajanto di Kantor Transisi, Jalan Situbondo, Jakarta Pusat, Jumat (17/10/2014).

Andi menuturkan, nama-nama calon menteri yang diserahkan kepada KPK dan PPATK sudah final. Walaupun demikian, perubahan masih bisa terjadi bila ditemukan kecurigaan dari kedua lembaga tersebut.

Kemudian, tibalah waktu pengumuman menteri Kabinet Kerja. Bertempat di halaman belakang Istana Negara, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Minggu (26/10/2014) sore, Jokowi mengumumkan 34 nama menteri pengisi Kabinet Kerja.

Saat itu, Juru Bicara KPK Johan Budi memastikan tak ada satupun menteri yang memiliki label merah dan kuning. Pelabelan itu merupakan pertanda apakah yang bersangkutan berpotensi berurusan dengan hukum.

Kendati demikian, dalam pemerintahannya, ada dua menteri yang tersangkut kasus korupsi di KPK. Mereka adalah eks Menteri Sosial Idrus Marham dan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi.

[Gambas:Video CNBC]

Keputusan Jokowi tak melibatkan KPK dalam penyusunan Kabinet Kerja II tentu menimbulkan pertanyaan. Apakah ini lantaran hubungan Jokowi dengan KPK periode sekarang tak baik seiring revisi UU KPK?

Seperti diketahui, DPR RI periode 2019-2024 mengesahkan revisi beleid itu. Revisi tersebut tak lepas dari restu Jokowi yang juga menugaskan Menteri Hukum dan HAM saat itu, yakni Yasonna Laoly. Kurang dari sebulan, revisi UU KPK pun disahkan.

Langkah itu menuai protes dari berbagai kalangan, termasuk mahasiswa. Mereka pun memberikan ultimatum kepada Jokowi. Jika kepala negara tidak mengeluarkan Perppu KPK sampai 14 Oktober 2019, mereka berjanji akan menggelar aksi demo dengan skala lebih besar.

Sampai dengan kemarin, Jokowi masih bungkam perihal penerbitan perppu itu. Pun Sekretaris Kabinet Pramono yang enggan berbicara lebih jauh perihal kapan Jokowi akan mengeluarkan Perppu KPK. Ia bahkan belum mengetahui kabar terbaru terkait hal itu.

Terlepas dari dinamika itu, Jokowi memang tidak perlu melibatkan KPK dalam memilih menteri untuk mengisi kabinetnya. Detik.com menuliskan, UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang pada pasal 22 ayat (2) telah mengatur syarat-syarat seseorang dapat diangkat sebagai menteri, yaitu:

1. Warga negara Indonesia;
2. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3. Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita proklamasi kemerdekaan;
4. Sehat jasmani dan rohani;
5. Memiliki integritas dan kepribadian yang baik; dan
6. Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.



Ahli Hukum Tata Negara Bayu Dwi Anggono mengatakan pengangkatan menteri merupakan hak prerogatif presiden. Khusus untuk syarat memiliki integritas dan kepribadian yang baik untuk dapat diangkat menjadi menteri, parameternya tidak diatur oleh UU Kementerian Negara.

"Dengan demikian kembali kepada makna hak prerogatif tadi, yaitu penilaian apakah seseorang memiliki integritas dan kepribadian yang baik sehingga dapat diangkat sebagai menteri sepenuhnya kewenangan Presiden," ujarnya, Senin (14/10/2019), seperti dilansir detik.com.

"Mengingat pembentukan kabinet adalah kewenangan presiden yang akan dipertanggungjawabkan kepada publik maka jika kabinet ternyata diisi oleh orang-orang yang integritasnya diragukan oleh publik, maka tentunya akan merugikan presiden karena kepercayaan publik kepada presiden dan kabinetnya di awal pemerintahan baru sudah rendah. Padahal dalam sistem presidensial kepercayaan rakyat adalah modal dasar bagi suksesnya jalannya pemerintahan," lanjut Bayu.

Guru Besar Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Prof M Fauzan, mengatakan, dalam melaksanakan kewenangan untuk mengangkat menteri sebagaimana tersebut dalam UUD 1945, Presiden menerima masukan dan pertimbangan dari berbagai pihak termasuk KPK.

"Itu hanya teknik dan cara Presiden untuk memperoleh calon-calon menteri yang benar-benar bagus dan memiliki kapasitas dan kapabilitas serta integritas yang sempurna. Itu tidak masalah dan saya rasa baik dan tidak melanggar peraturan," kata M Fauzan.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular