Revisi UU Bikin KPK Sekeren ICAC Hong Kong? Lha Serius?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
14 October 2019 13:33
KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi, Apa Pawang Korupsi?
Foto: Malam renungan #ReformasiDikorupsi di Lobbi depan kantor KPK, Jakarta, Jumat, (11/10). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Korupsi pada dasarnya adalah praktik jasa (haram). Jasa untuk membantu memenangkan tender, jasa untuk memuluskan proposal di kementerian, jasa untuk membantu agar agenda satu pihak mendapat prioritas pembahasan di rapat kerja DPR, dengan motivasi memperkaya diri (lewat mark-up proyek, menarik fee ilegal dan lain-lain).

Di negara berkembang, di mana birokrasi, transparansi dan kepastian berusaha masih rendah, mereka yang berada di kursi lembaga negara memiliki posisi tawar yang besar untuk berbisnis “jasa” haram. Ada banyak peluang jasa untuk "membantu" pelaku bisnis mengambil jalur pintas guna melewati segala kelokan birokrasi dan kepastian usaha.

Profesor Kebijakan Publik Universitas Amsterdam Leo W.J.C. Huberts dalam penelitian berjudul "Anti-corruption Strategies: The Hong Kong Model in International Context" mengatakan orientasi pemberantasan korupsi antara negara maju dan negara berkembang harus dibedakan.

Sebanyak 42,4% panel ahli yang terlibat dalam penelitian Huberts percaya bahwa korupsi dan fraud di negara berkembang lebih banyak terjadi di institusi publik (lembaga negara dan pemerintahan), dan hanya 9,1% yang menilai pelanggaran itu lebih banyak dipicu entitas bisnis.

Sementara untuk negara maju, mayoritas (44,5% dari mereka) menilai bahwa korupsi dan fraud ada di sektor bisnis, dan hanya 9,1% yang menilai terjadi di pemerintahan. Artinya, semakin maju sebuah negara maka perilaku koruptif aparat pun menurun karena regulasi yang kian pasti dan birokrasi yang kian efisien membuat pasar “jasa haram” mengecil.

Dalam kasus Hong Kong, misalnya, kita bisa melihat bahwa di era-era awal pemberantasan korupsi, mayoritas yang terjerat adalah aparat kepolisian dan pemerintahan. Kini, setelah ekonomi mereka bertransformasi menjadi kian maju dan efisien, yang banyak terjerat justru adalah pebisnis.


Penelitian yang terbit di jurnal Public Integrity (2016) itu menilai pemberantasan korupsi di negara maju (berpendapatan per kapita tinggi) lebih efektif jika berorientasi pada pencegahan. Namun di negara berkembang (pendapatan per kapita rendah), semestinya lebih berorientasi penindakan.

Sebanyak 82,8% para ahli kebijakan publik (dalam penelitian tersebut) mengakui sanksi berat alias penindakan lebih efektif dijalankan di negara berkembang untuk mengatasi persoalan korupsi, dan 72,1% menilai perlu ada lembaga anti-korupsi yang kuat.

“Ini mengimplikasikan bahwa investigasi dan penindakan seharusnya mendapatkan prioritas yang utama di negara dengan pendapatan per kapita yang rendah,” tulis Huberts dalam jurnal Public Integrity (2019: 222).

Penindakan yang tegas membuat aparat semakin taat hukum sehingga tingkat korupsi mereka turun. KPK harus mengedepankan penindakan (mengingat masih kuatnya perilaku korup di lembaga negara kita). Data Anti-Corruption Clearing House (ACCH) menyebutkan mayoritas tipikor dilakukan anggota DPR, diikuti pengusaha dan pejabat pemerintah.


Di tengah masih terbatasnya jumlah pegawai KPK (1.557 pegawai, jauh dibandingkan ICAC Hong Kong dengan 5.000 pegawai), maka penindakan semestinya menjadi fokus utama KPK, agar tak sekadar menjadi "pawang" para calon koruptor dengan berceramah dan sosialisasi berharap mereka tak merugikan negara.

Mereka yang meneriakkan pentingnya KPK mengedepankan aspek pencegahan lupa bahwa kita telah memiliki banyak lembaga lain yang melakukan itu mulai dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Inspektorat Jenderal (Irjen), hingga Kementerian Agama, lewat seminar, lokakarya, simposium, atau kajian agama pencegahan perilaku korup.

Terlalu banyak yang berceramah, terlalu sedikit yang bertindak. Itulah persoalan klasik di negeri (+62). Dan itu jugalah kenapa KPK harus menjadi “penindak”, bukan menjadi satu dari beberapa “pawang" yang sudah ada dalam pengendalian korupsi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(ags/ags)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular