Revisi UU Bikin KPK Sekeren ICAC Hong Kong? Lha Serius?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
14 October 2019 13:33
Revisi UU Bikin KPK Sekeren ICAC Hong Kong? Lha Serius?
Suasana renungan malam di Gedung KPK, beberapa waktu lalu (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah penolakan atas revisi Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), beberapa kalangan menyebutkan bahwa langkah itu diambil untuk membuat lembaga rasuah Indonesia tersebut se-ideal di Hong Kong.

Anggota Komisi III DPR RI Masinton Pasaribu, dalam diskusi 'Mata Najwa', menyebutkan bahwa revisi UU KPK membuat lembaga anti-korupsi nasional ini sama seperti Independent Commission Against Corruption (ICAC) Hong Kong yang juga memiliki dewan pengawas.

Sebelumnya, Kepala Staf Kepresidenan Jenderal TNI (Purn) Moeldoko menyatakan kewenangan KPK versi pra-revisi UU menghambat investasi di Tanah Air karena kurang "memberikan kepastian hukum" seperti ketiadaan mekanisme penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3).

Namun, di sisi ring yang lain, KPK menilai revisi tersebut memangkas berbagai kewenangannya, terutama terkait dengan penyidikan. KPK bahkan merilis 26 daftar pelemahan yang bakal menanti lembaga itu setelah revisi UU KPK.

Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) senada dengan KPK. Terbit akhir pekan lalu, survei itu menunjukkan bahwa 70,9% responden menilai revisi UU KPK melemahkan lembaga anti-korupsi tersebut. Yang menilai sebaliknya hanya 18%, sedangkan 11,1% sisanya memilih netral.

Untuk mengupas persoalan ini, Tim Riset CNBC Indonesia membuat perbandingan kondisi KPK sebelum dan sesudah revisi, dengan kondisi obyektif ICAC.

Sebagaimana diketahui, ICAC Hong Kong lahir pada 1974 ketika kawasan di bawah persemakmuran Inggris itu menghadapi problem korupsi sistemik yang menjangkiti hingga aparat kepolisian.

Sebelum ICAC berdiri, Hong Kong bukanlah pusat keuangan yang maju di Asia Pasifik, melainkan hanya pusat industri manufaktur. Nilai produk domestik bruto (PDB) flat di angka US$ 3 miliar sejak 1960.

Namun, sejak ICAC didirikan pada 1974, nilai PDB Kawasan tersebut tumbuh sangat drastis sebagaimana terlihat di bawah ini, mengindikasikan bahwa ekonomi terakselerasi berkali-kali lipat karena semakin efisien dan tidak lagi menjadi high cost economy akibat korupsi.

Revisi UU Bikin KPK Sekeren ICAC Hong Kong? Dari Hong Kong??Sumber: Bank Dunia

Kunci yang dilakukan ICAC saat itu adalah penindakan, dengan berani menangkapi aparat korup, termasuk kepolisian, hingga terjadi insiden penyerbuan kantor ICAC oleh massa kepolisian yang merasa marwahnya digerogoti lembaga tersebut. Bagaimana kondisi ICAC? Mari kita cek.

NEXT

Whatever I have done, looked like peanuts,” demikian kata David Ipp, Ketua ICAC New South Wales, Australia, saat mendengar sepak-terjang KPK pada sebuah konferensi internasional mengenai pemberantasan korupsi pada 2011.

Awalnya, sebagaimana diceritakan Editor The Sydney Morning Herald (SMH) Peter Hatcher, Ipp sudah pede dengan prestasinya di negeri Down Under itu dan memandang rendah KPK, karena berasal dari negeri dengan tingkat korupsi yang tinggi versi Transparency International (saat itu di posisi 100 dari 189 negara, dan kini di posisi 89).

Namun, demikianlah akhirnya. Ipp dibuat melongo dan minder melihat keberhasilan KPK menggasak tidak hanya kasus-kasus korupsi cecemere, melainkan juga kasus yang melibatkan anggota DPR, menteri, dan pihak yang dekat dengan penguasa.

Kini, kekuatan KPK itu dikhawatirkan redup, meski menurut pemerintah dan DPR, justru KPK sedang diperkuat agar seperti ICAC Hong Kong. Mari kita lihat langsung sistem check and balance KPK dengan ICAC guna melihat sistem kontrol kekuasaan di dua lembaga anti korupsi tersebut.


Dari situ terlihat bahwa pada dasarnya mekanisme check and balance KPK sudah sama dengan ICAC. Bedanya, ICAC tidak memiliki wewenang penuntutan (yang saat ini dimiliki oleh KPK).

Perubahan mendasar revisi UU KPK dalam struktur check and balance terletak pada keberadaan Dewan Pengawas, yang menggantikan Komite Etik. KPK pernah membentuk Komite Etik yang berisi gabungan unsur internal dan eksternal.

Di ICAC juga ada lembaga semacam dewan pengawas, yakni Komite Penasihat berisikan masyarakat sipil (eksternal). 
Namun, Dewan Pengawas di KPK yang baru memiliki fungsi dan kewenangan lebih besar dari Komite Penasihat ICAC. Di Hong Kong, ICAC tak perlu minta izin Komite ini untuk menyadap sebagaimana yang kini berlaku di Dewan Pengawas KPK.


Jika dilihat dari tabel tersebut, terlihat bahwa kewenangan KPK berkurang, terutama melalui keberadaan lembaga pengawas eksternal. Daya keunggulannya untuk melakukan operasi senyap dan operasi tangkap tangan (OTT) harus menjalani proses filter pihak eksternal, alias berpeluang bocor.

Padahal, kekuatan demikianlah yang membuat ICAC sekuat ini. Lembaga anti-rasuah Hong Kong tersebut sukses mencokok praktik korupsi karena keberadaan Satuan Hantu (Ghost Squad) yang beroperasi dalam pekat, hanya perlu izin atasan mereka di ICAC, selama sejalan dengan prinsip Interception of Communication and Surveillance Ordinance (ICSO).

Lalu apa signifikansinya jika KPK tak lagi memiliki kewenangan khusus demikian?

NEXT


Korupsi pada dasarnya adalah praktik jasa (haram). Jasa untuk membantu memenangkan tender, jasa untuk memuluskan proposal di kementerian, jasa untuk membantu agar agenda satu pihak mendapat prioritas pembahasan di rapat kerja DPR, dengan motivasi memperkaya diri (lewat mark-up proyek, menarik fee ilegal dan lain-lain).

Di negara berkembang, di mana birokrasi, transparansi dan kepastian berusaha masih rendah, mereka yang berada di kursi lembaga negara memiliki posisi tawar yang besar untuk berbisnis “jasa” haram. Ada banyak peluang jasa untuk "membantu" pelaku bisnis mengambil jalur pintas guna melewati segala kelokan birokrasi dan kepastian usaha.

Profesor Kebijakan Publik Universitas Amsterdam Leo W.J.C. Huberts dalam penelitian berjudul "Anti-corruption Strategies: The Hong Kong Model in International Context" mengatakan orientasi pemberantasan korupsi antara negara maju dan negara berkembang harus dibedakan.

Sebanyak 42,4% panel ahli yang terlibat dalam penelitian Huberts percaya bahwa korupsi dan fraud di negara berkembang lebih banyak terjadi di institusi publik (lembaga negara dan pemerintahan), dan hanya 9,1% yang menilai pelanggaran itu lebih banyak dipicu entitas bisnis.

Sementara untuk negara maju, mayoritas (44,5% dari mereka) menilai bahwa korupsi dan fraud ada di sektor bisnis, dan hanya 9,1% yang menilai terjadi di pemerintahan. Artinya, semakin maju sebuah negara maka perilaku koruptif aparat pun menurun karena regulasi yang kian pasti dan birokrasi yang kian efisien membuat pasar “jasa haram” mengecil.

Dalam kasus Hong Kong, misalnya, kita bisa melihat bahwa di era-era awal pemberantasan korupsi, mayoritas yang terjerat adalah aparat kepolisian dan pemerintahan. Kini, setelah ekonomi mereka bertransformasi menjadi kian maju dan efisien, yang banyak terjerat justru adalah pebisnis.


Penelitian yang terbit di jurnal Public Integrity (2016) itu menilai pemberantasan korupsi di negara maju (berpendapatan per kapita tinggi) lebih efektif jika berorientasi pada pencegahan. Namun di negara berkembang (pendapatan per kapita rendah), semestinya lebih berorientasi penindakan.

Sebanyak 82,8% para ahli kebijakan publik (dalam penelitian tersebut) mengakui sanksi berat alias penindakan lebih efektif dijalankan di negara berkembang untuk mengatasi persoalan korupsi, dan 72,1% menilai perlu ada lembaga anti-korupsi yang kuat.

“Ini mengimplikasikan bahwa investigasi dan penindakan seharusnya mendapatkan prioritas yang utama di negara dengan pendapatan per kapita yang rendah,” tulis Huberts dalam jurnal Public Integrity (2019: 222).

Penindakan yang tegas membuat aparat semakin taat hukum sehingga tingkat korupsi mereka turun. KPK harus mengedepankan penindakan (mengingat masih kuatnya perilaku korup di lembaga negara kita). Data Anti-Corruption Clearing House (ACCH) menyebutkan mayoritas tipikor dilakukan anggota DPR, diikuti pengusaha dan pejabat pemerintah.


Di tengah masih terbatasnya jumlah pegawai KPK (1.557 pegawai, jauh dibandingkan ICAC Hong Kong dengan 5.000 pegawai), maka penindakan semestinya menjadi fokus utama KPK, agar tak sekadar menjadi "pawang" para calon koruptor dengan berceramah dan sosialisasi berharap mereka tak merugikan negara.

Mereka yang meneriakkan pentingnya KPK mengedepankan aspek pencegahan lupa bahwa kita telah memiliki banyak lembaga lain yang melakukan itu mulai dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Inspektorat Jenderal (Irjen), hingga Kementerian Agama, lewat seminar, lokakarya, simposium, atau kajian agama pencegahan perilaku korup.

Terlalu banyak yang berceramah, terlalu sedikit yang bertindak. Itulah persoalan klasik di negeri (+62). Dan itu jugalah kenapa KPK harus menjadi “penindak”, bukan menjadi satu dari beberapa “pawang" yang sudah ada dalam pengendalian korupsi.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular