Maaf Nih, Potensi Minyak 7,5 Miliar Barel RI Cuma Angin Surga

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
14 October 2019 13:30
Maaf Nih, Potensi Minyak 7,5 Miliar Barel RI Cuma Angin Surga

Jakarta, CNBC Indonesia - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) menyatakan bahwa Indonesia memiliki potensi cadangan migas sebesar 7,5 miliar barel yang belum diproduksi. Angin surga, yang mau tidak mau harus dibumikan segera jika tak ingin Indonesia menghadapi neraka dunia.

Dalam pernyataannya baru-baru ini, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan bahwa Indonesia memiliki 128 cekungan migas, di mana hanya 54 di antaranya yang sudah dieksplorasi.

Dari hasil ekplorasi itu, baru 18 cekuang yang telah berproduksi dan bisa menyumbang cadangan sebesar 3,5 miliar barel. Sisanya, alias 36 cekungan, memiliki potensi kandungan migas sebesar 7,5 miliar barel.

Sesignifikan apa tambahan potensi tersebut bisa mengubah posisi Indonesia dalam peta dunia? Dan bagaimana cara mengubahnya agar tidak hanya berakhir sebagai potensi, melainkan bisa menambah produksi migas nasional? Dan apa jadinya jika gagal? Berikut ini ulasan Tim Riset CNBC Indonesia.

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan konsumsi minyak Indonesia berada di kisaran 1,7 juta barel per hari (bph), sementara produksi hanya berkisar 750.000 bph. Dus, cadangan minyak 3,5 miliar barel itu diestimasikan habis dalam 10 tahun ke depan dengan asumsi produksi tetap dan tak ada temuan minyak baru.

Jika semua migas bisa diekstraksi hanya dalam waktu setahun, cadangan minyak Indonesia akan mencapai 10,43 miliar barel pada akhir 2020. Angka ini berasal dari 7,5 miliar barel cadangan baru, ditambah dengan cadangan sekarang sebanyak 2,93 miliar barel.

Cadangan sekarang dihitung hanya 2,93 miliar karena angka sebelumnya yakni 3,2 miliar barel harus dikurangi produksi minyak Indonesia (2020) sebesar 273,75 juta bph, yang merupakan besar volume penyedotan minyak setiap tahunnya.

Secara pari passu, dengan asumsi produksi Indonesia flat 750.000 bph, maka tambahan potensi cadangan tambahan yang disebutkan SKK Migas-sekali lagi dengan asumsi bisa digarap semua secara langsung, bakal memperpanjang umur produksi minyak Indonesia menjadi 38 tahun.

Namun jika ingin produksi naik menjadi 1,8 juta bph, mengimbangi angka konsumsi saat ini di angka tersebut, maka cadangan 10,43 miliar barel itu akan habis dalam 8 tahun. Umur cadangan migas Indonesia bakal tetap pendek.

Artinya, sekalipun ada lonjakan cadangan minyak dengan skala seperti yang disebutkan SKK Migas, Indonesia masih masih rentan dengan risiko gonjang-ganjing harga minyak dunia dalam 1 dekade ke depan selama tidak mampu mengurangi konsumsi, atau tak mampu menggenjot produksi minyak baru, atau gagal mendiversifikasi sumber energi.

NEXT

Jika diperbandingkan dengan cadangan negara-negara lain, angka 10,43 miliar barel tersebut akan membawa Indonesia melaju ke 20 besar daftar negara dengan cadangan minyak terbukti terbesar, atau tepatnya di posisi ke-17 jika mengacu pada data BP Statistics (2019).

Namun secara persentase, tak akan banyak mengubah posisi Indonesia. Saat ini cadangan minyak Indonesia (3,2 miliar barel) setara dengan 0,2% cadangan minyak dunia, sedangkan angka 10,43 miliar barel setara dengan 0,7% total cadangan minyak dunia.

Lalu bagaimana membuat potensi cadangan 7,5 miliar barel itu benar-benar nyata, dan bukan hanya mimpi di siang bolong? Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Informasi data cadangan minyak dari Dwi Soetjipto tersebut bisa dibilang sebatas janji surga.

Perlu diketahui, dalam industri migas ada tiga jenis kategori cadangan minyak. Yang pertama adalah cadangan terbukti (proven reserve) di mana sebuah cekungan minyak memiliki 90% kemungkinan sukses produksi. Cadangan jenis inilah yang masuk dalam statistik BP di atas.

Kedua, cadangan terkira (probable reserve) di mana sebuah cekungan minyak masih memiliki peluang 50:50 bisa menghasilkan atau bisa dibor dan disedot. Peluang investasinya terbuka, meski masih kurang menarik.

Ketiga, cadangan terduga (possible reserve) di mana alat ukur inderaja bisa menemukan potensi adanya kandungan minyak di perut bumi, tetapi peluang untuk bisa disedot masih di bawah 50%, alias tidak layak sama sekali dalam perhitungan investasi migas.

Secara sederhana, 'cadangan terbukti' berarti 'secara teknis minyak bisa diekstraksi berdasarkan kondisi sekarang dengan perhitungan ekonomi layak." AS misalnya, hanya 20% dari potensi minyaknya yang melewati tahap proven reserves, dan 80% sisanya belum terbukti.

Dwi sendiri mengakui bahwa angka potensi 7,5 miliar barel itu bukanlah cadangan terbukti yang siap sedot. "Kita butuh investor yang memiliki kemampuan finansial cukup karena memang bergerak di bidang oil and gas ini waktunya cukup panjang eksplorasi saja kadang waktunya sampai 10 tahun ya. Belum nanti eksekusi dari hasil eksplorasi," katanya.

NEXT


Mayoritas minyak di permukaan bumi saat ini merupakan cadangan yang belum terbukti. Maksudnya, alat inderaja bisa menemukan cadangan tersebut, tetapi infrastrukturnya belum ada. Atau, cadangan tersebut tidak bisa diproduksi karena perlu investasi yang sangat besar.

Jadi, ada baiknya kita tidak senang dulu. Harus dilihat satu per satu kondisi geo lokasi titik-titik cadangan minyak tersebut, apakah di laut dalam yang perlu dana besar untuk ekstraksi? Jika mengutip pernyataan Dwi Soetjipto, maka besar kemungkinan bahwa yang dimaksud adalah minyak di laut dalam.

Dwi mengatakan akan ada perubahan dalam tren penemuan migas ke depannya. Dari yang mulanya di darat (onshore) menjadi di laut (offshore). "Saya kira kita bangun optimisme ini, mungkin ini bisa jadi hal sangat penting adalah era keemasan kedua migas Indonesia," kata Dwi.

Jika benar demikian, maka adakah dana pemerintah yang tersedia untuk menggarap itu? Harap dicatat, pengeboran di laut lepas Indonesia Timur (di mana cekungan minyak Indonesia banyak berdiam) membutuhkan investasi 20 kali lipat dari pengeboran di darat.

Mengutip Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sammy Hamzah, pengeboran di laut lepas Indonesia Timur butuh dana US$ 40 juta sampai US$ 200 juta per sumur, setara dengan Rp 520 miliar sampai Rp 2,6 triliun.

"Satu sumur bisa US$ 40-200 juta. Kalau gagal dapat minyak ya hilang uang segitu," kata Sammy sebagaimana dikutip detikFinance, Selasa (7/2/2017).

Dibanding pengeboran minyak di darat (onshore), biaya di laut lepas (offshore) bisa lebih mahal. Untuk pengeboran minyak di tempat-tempat yang infrastrukturnya sudah relatif bagus seperti Pulau Jawa dan Sumatera hanya butuh US$ 2 juta- US$ 6 juta per sumur atau setara dengan Rp 26 miliar - Rp 78 miliar per sumur.

Jika demikian kasusnya, maka adakah insentif yang disiapkan pemerintah untuk menarik investor menggarap potensi itu? Jika hanya berdiam saja, bukan tidak mungkin, angka 7,5 miliar itu akan berakhir seperti 80% cadangan minyak AS--yang berakhir tak terbukti.

Untuk itu, pemerintah harus memastikan bahwa potensi 7,5 miliar barel itu mulai dibuktikan dan digarap tahun ini juga. Dengan masa eksplorasi yang bisa sampai 10 tahun, maka Indonesia akan memasuki krisis minyak pada 2029, mengingat cadangan sekarang (3,2 miliar barel) bakal habis dalam 10 tahun ke depan.

Bisakah anda membayangkan apa jadinya jika potensi 7,5 miliar minyak itu gagal dibuktikan, sementara konsumsi minyak masih terus meningkat sampai sekarang, dan tak ada diversifikasi energi yang berarti (terutama ke energi terbarukan)?

Bayangkan berapa juta dolar dana APBN yang bakal tersedot untuk mengimpor BBM guna memasok 100% konsumsi minyak domestik? Dan berapa kilometer antrian yang tercipta di SPBU-SPBU jika pemerintah terlambat mengimpor dan memasok bensin karena kesulitan pendanaan?

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular